Click these menus!

Pages

Wednesday, 31 August 2016

Gunung Guntur || Menelusuri Indahnya Persahabatan di Jalur Berpasir

Guntur 2016

Gunung Guntur pada tahun 2013
Foto di atas adalah keadaan panorama Gunung Guntur yang saya ambil tepat di tiga tahun lalu dibulan Agustus. Kala itu, saya dan teman-teman satu tim sedang melakukan kegiatan kerja praktek di Pertamina Geothermal Energy Area Kamojang, Garut, Jawa Barat. Itu adalah kali pertama saya melihat Gunung Guntur. First impression saya terhadap gunung tersebut saat itu adalah takjub karena punggungan gunung dan segala garis-garis kontur puncaknya sangat terlihat dari segala penjuru kota Garut. "Gilaaaaaa, ini gunung kelihatan amet kemiringannya, gede amet!" takjubku. Gunung tersebut kala itu yang terlihat sangatlah besar, miring, dan membuat bulu kuduk saya merinding saking sangat terlihatnya guratan-guratan dari kejauhan. Bahkan, Gunung Galunggung dan Cikuray yang jauh lebih besar malah saya pandang sebelah mata, lho! Dua gunung tersebut bagus, bagus banget malah! Namun, Guntur adalah gunung pertama di Garut yang membuat saya merinding kala itu.

Bulan Juli 2016, dibulan itu, saya dan Ayub mempunyai rencana akan mendaki ke Gunung Papandayan, Garut, bersama teman-teman kantornya Ayub dibulan Agustus kelak. Hal tersebut membuat saya sangat senang karena udah lama banget saya gak mendaki sejak pendakian terakhir ke Gunung Ijen 2014/2015, itu pun hanya gunung wisata. Gunung terakhir yang saya daki dan summit attack adalah Gunung Gede di tahun 2014 silam.

Singkat cerita, diakhir bulan Juli lalu, saya dan teman-teman dari MPA Aranyacala (namun tidak membawa nama organisasi) mengadakan liburan/pendakian ke Gunung Prau. Saya kira, rencana saya dengan Ayub adalah pendakian pertama saya di 2016. Namun, tenyata enggak! Jadilah Prau sebagai gunung pertama di 2016 ini yang saya pijaki.

Jumat, 12 Agustus 2016, Ayub mengabari saya bahwa pendakian kami ke Gunung Papandayan berubah haluan menjadi ke Gunung Guntur. Seketika itu juga yang terbesit dan yang saya rasakan tiba-tiba deg-degan. Entah mengapa saya deg-degan dan agak khawatir. Namun, tetap dengan senang hati, saya menerima tawaran Ayub untuk mendaki ke Gunung Guntur walau entah apa yang terjadi nanti.

* * *

Siapkan Amunisi!

Persiapan yang matang adalah obat dan faktor utama sebelum saya berangkat ke medan perang. Banyak hal yang selalu saya lakukan dan menjadi kebiasaan saya menjelang pendakian. Karena kali ini saya ke Gunung Guntur, yang saya lakukan sebelumnya yaitu: membuka blog orang-orang atau blogwalking dan melihat catatan perjalanan mereka, membaca berkali-kali soal berapa lama perjalanan dari bawah hingga ke puncak dan jalur serta rintangan apa saja yang terjadi di Guntur, kemudian menonton vlog di youtube mengenai Gunung Guntur, membuka website mengenai ramalan cuaca selama sepekan di gunung (di sini), mengunduh peta topografi Gunung Guntur dari website Kementerian ESDM, mengunduh video mengenai first aid, hipotermia, survival kit, basic survival skills, dll.

Sempat vakum dua tahun dalam kegiatan mendaki, banyak barang-barang saya yang telah hilang entah kemana. Akhirnya, saya menyempatkan diri untuk membeli dan menyiapkan kembali kebutuhan-kebutuhan penting tersebut yang telah saya list, seperti:

1. Perlengkapan Wajib;
  • Sleeping bag;
  • Jaket fleece/polar;
  • Jaket down/bulu angsa;
  • Celana trekking;
  • Matras;
  • Gaiters; dan
  • Sepatu trekking.
2. Obat-obatan (P3K); dan
3. Survival Kit.


Oiah, selama mencari barang-barang diatas, banyak hal seru yang saya alami ketika mencari itu semua (bisa dibaca di sini, guys!). Susah-senang dalam berburu perlengkapan di atas, terbayar sudah ketika melihat indahnya Gunung Guntur. Sungguh terbayar!

* * *

Bertemu Kawan Baru

Jumat, 26 Agustus 2016 (pukul 21:07), sehari sebelum kami berangkat, Ayub mengabari saya bahwa kami akan meeting point di Pasar Rebo dekat shelter busway sekitar jam sembilan malam. Jadilah saya datang tepat waktu kurang lebih pukul 21:07 malam. Orang yang pertama kali saya lihat adalah wanita muda yang lebih tua dari saya memikul carrier kecil disusul dengan penglihatan saya yang tajam saat melihat pria muda dibelakang wanita tersebut. Erik. Ya, ERIK! Haha, sontak saya berseru memanggil dirinya dan hampir saja saya memeluknya karena terlalu semangat dengan liburan kali ini yang juga liburan bersama kami (saya, Ayub, dan Erik) untuk yang kesekian kalinya.

Sekitar dua jam, saya dan Erik menunggu teman-teman Ayub lainnya yang akan meeting point di tempat ini. Saya dan Erik selalu menduga-duga setiap orang yang lewat memakai carrier dipunggungnya. "Rik, kayaknya yang itu tuh! Bawa carrier tuh doi! Eh, apa yang itu ya?" tanya saya kepadanya. Kami kira mereka adalah salah satu bagian tim kami nantinya. Namun, ternyata bukan. Begitu seterusnya, hanya dugaan yang salah. Hingga akhirnya kami melihat si wanita tadi bertemu dengan rombongan teman-temannya yang juga sesuai dengan dikte-an Ayub bahwa ada seorang wanita kecil berjaket pink (teman sekantor Ayub) dan pria yang merupakan suami dari wanita kecil tersebut. Saya dan Erik pun tak ambil pusing langsung menduga bahwa itu pasti Mbak Nunung yang dimaksud Ayub.

Akhirnya, dugaan kami benar. Itu adalah Mbak Nunung beserta suami dan teman-teman bawaannya. Kami langsung berkenalan dan berjabat tangan satu sama lain. Tiga wanita muda berkerudung, yaitu: Mbak Aan, Mbak Yanti, dan Lena, serta satu pria yaitu Bang Gun (suami Mbak Nunung). Ayub dan teman kantornya, Kiat, sempat terjebak macet. Namun, tak lama mereka berdua akhirnya datang. Terkumpul lah kami semua di tempat itu dengan sempurna. Jam menunjukkan hampir pukul 23:00 malam, itu artinya kami harus segera naik bus agar segera sampai lebih cepat di Garut.

Saya lupa bus apa yang membawa kami menuju Garut malam itu. Namun, saya tidak melupakan hal lainnya mengenai bus dan perjalanan kala itu. Bus ekonomi yang kami naiki dihargai Rp 50.000,- dengan kondisi bus yang sesuai dengan harganya. Bus yang biasa-biasa saja desain dan fasilitasnya. Ada AC dengan seat yang lumayan nyaman saja sudah bersyukur. Bus yang melaju kencang ini membawa kami 1 (satu) jam lebih hemat daripada perjalanan ke Garut pada umumnya. Kami hanya menghabiskan waktu 4 (empat) jam saja tanpa macet, sungguh diluar dugaan saya yang saya kira akan sampai pagi hari. Gila, cepet banget, dah!

Sabtu, 27 Agustus 2016 (pukul 03:00), Bang Gun meminta kenek bus untuk menurunkan kami di SPBU Tanjung, Garut. SPBU Tanjung ini berseberangan langsung dengan Indomaret, tempat di mana para pendaki lainnya istirahat sambil membeli kebutuhan logistik lainnya. Di dalam SPBU Tanjung, nampak aula putih yang besar dari kejauhan. Kami diinstruksikan oleh Bang Gun untuk menaruh barang-barang kami dan segera istirahat sejenak di aula tersebut.

Selama beristirahat, ternyata satu teman Mbak Nunung yang ikut rombongan kami ada di aula ini. Ia sudah lebih dulu datang daripada kami. Bang Handy namanya. Kebetulan, Bang Handy baru berkenalan juga dengan satu orang pria muda yang akan mendaki ke Gunung Guntur. Yap, dia lah Kresna yang sengaja datang dari Jakarta sendirian untuk mendaki yang siapa tau di tengah jalan akan bertemu para pendaki lainnya. Jadilah Kresna bertemu Bang Handy, dan Bang Handy memperkenalkan Kresna pada kami.

Pukul 03:45 subuh, setelah kami beristirahat dengan cukup, kami harus segera move to another place yaitu basecamp Gunung Guntur untuk melakukan registrasi dan mendapatkan simaksi di sana. Untuk sampai di basecamp, kami menyewa mobil pick up (bak) yang dilengkapi terpal besar untuk menutupi tas-tas kami dan juga sebagai dudukan di atas mobil. Kami menyewa mobil bak ini dengan harga Rp 15.000,- saja. Hanya butuh waktu setengah jam untuk bisa sampai di basecamp tersebut.

Pukul 05:50 pagi, setelah kami beres dari sarapan pagi dan juga telah selesai me-packing ulang barang bawaan kami, kemudian kami juga sudah membayar simaksi dengan harga Rp 15.000,- untuk tiap-tiap orang, kami pun segera berangkat dengan berjalan santai tanpa terburu-buru di jalan.

Basecamp s.d. Pos 3

Pagi itu sejuk, udaranya enak banget buat diajak jalan, saya gak mau melewatkan perjalanan ini dengan terburu-buru. Jadi, saya sangat menikmati banget setiap langkah dan suasana pepohonan serta rerumputan di kanan-kiri jalan. Saya juga sempat bertemu seorang Bapak membawa dagangannya. Sebelumnya, saya hanya menatapnya lamat-lamat dan memperhatikan barang bawaannya. Segera saya memecahkan keheningan dengan melontarkan sebuah pertanyaan. "Misi, Pak! Itu apa, Pak?" kataku. "Barang dagangan, Neng," jawabnya singkat. "Posnya setengah jam lagi sampai, Neng, dekat kok!" lanjutnya. Dari situ, kami berbincang-bincang seputar keadaan Gunung Guntur mulai dari warga dan para pendaki serta berita-berita terbaru soal pendaki di Gunung Guntur. Perbincangan singkat kami tersebut cukup memberikan informasi mengenai Gunung Guntur. Gunung ini menurut kesimpulan subjektif saya, bukanlah gunung yang rempong dan berat. Gunung Guntur hampir tidak pernah terdengar kabar adanya korban meninggal dan badai yang berarti di atas sana. Kata Bapak, kalaupun ada kecelakaan, itu karena para pendaki atau orang-orangnya bandel! Tapi, untuk memakan korban jiwa, sejauh ini belum tidak ada.

Berfoto dengan latar belakang Puncak 1 Guntur






Dari basecamp, lalu pos registrasi hingga menuju Pos 3, perjalanan yang dibutuhkan hanya memakan waktu 3 (tiga) jam saja. Saya pikir akan berlama-lama di jalan, eeehh tenyata gak! Kami pun sampai di Pos 3 lebih kuranya jam 9 (sembilan) pagi. Karena Pos 3 adalah area terakhir untuk menginap alias area camping ground, jadi selebihnya tidak diperbolehkan untuk mendirikan tenda di atas sana (Puncak 1, 2, 3, dst). Hal tersebut diberlakukan karena kondisi vegetasi Puncak Guntur yang sangat jarang ditemukannya pepohonan tinggi. It's barely to see high trees there. Tak jarang banyak kabar para pendaki tersambar petir saat hujan tiba karena tidak adanya bangunan/tempat tertinggi sebagai sasaran petir.

Oiah, di tengah perjalanan menuju Pos 3, saya dan tim bertemu dengan dua orang pemuda yang akhirnya bergabung dengan tim kami. Mereka adalah Bang Pujo dan Bang Alfi (Bocin/Joni). Niat awal mereka ingin mendirikan tenda agak jauh dan lebih ke atas sedikit dari area camping ground dan niat mereka pun sama dengan tim kami. Setelah berbincang-bincang, Mbak Ucu (Nunung) mengajak mereka untuk ikut menjadi bagian dari tim.

Sampailah kami di sebuah petakan tanah yang cukup untuk mendirikan beberapa tenda di sana. Kami pun membangun tiga buah tenda yang awalnya empat karena Bang Pujo dan Bang Alfi juga mendirikan tendanya sendiri. Namun, Bang Gun menyuruh mereka untuk membenahi tenda mereka, dan bergabung menginap di dalam tenda bersama tim kami supaya lebih bisa saling mengenal.

Setelah tenda didirikan, Mbak Ucu dan para wanita membuat menu masak siang hari yaitu  nasi dengan sop bakso dan nugget, sementara para pria masih terus membenahi sisa tenda dan semua barang bawaan untuk dimasukkan ke dalam tenda, serta membuka fly sheet dan ponco kalau-kalau terjadi hujan deras kelak.


Summit Attack to 2.249 mdpl

Minggu, 28 Agustus 2016 (pukul 03:45 subuh), saya dan tim kecuali Bang Gun dan Mbak Ucu berangkat untuk melakukan pendakian ke puncak 1 dan 2 Gunung Guntur atau istilah kerennya summit attack. Seriously, it made me fear because the contour was very steep. Ada kali kira-kira kemiringannya 50 s.d. 70 derajat. Sampai saya harus merangkak dan memegang rerumputan supaya gak jatuh dan kudu hati-hati banget kalau sampai kejatuhan batu. Eeeeehh, bener dong saya kejatuhan tiga buah batu yang lumayan besar, tapi gak gede banget. Itu karena Mbak Aan sempat jatuh (katanya sih sampai empat kali gulingan) dan diselamatkan oleh Bang Pujo dan Kak Yanti. Mereka menangkap persis di belakang Mbak Aan agar gak terlalu jauh ngegelindingnya.



Kurang lebih 1 jam 30 menit kami sampai dipuncak 1 Gunung Guntur, dan langit sudah memperlihatkan cahaya paginya, tetapi sunrise tidak kami dapati dikarenakan tertutup oleh kabut. But, I really enjoyed that moment. The most important thing was that we had arrived at the top of the mountain safely, without an accident and rainstorm. After we had arrived and had a break for a while, we continued to the second top named Puncak 2 Guntur. Di sana terdapat tugu triangulasi persembahan dari jurusan Geodesi ITB tahun 1997. Ini adalah titik GPS di mana kita dapat mengetahui letak ketinggian gunung dan posisi kita di puncak gunung. Ketinggian Gunung Guntur itu sendiri adalah 2.249 mdpl. Bukan termasuk gunung tinggi yang mana masih jauh lebih tinggi gunung Papandayan yaitu 2.665 mdpl. Namun, Guntur untuk ukuran perjalanan dan rintangan malah jauh lebih sulit dari Papandayan.

Setelah puas berfoto-foto di puncak 1 Guntur, kami langsung menanjak kembali menuju puncak 2 Guntur. Tanjakan menuju puncak 2 tidak sesulit puncak 1. Masih agak landai dan saya (insyaAllah) masih bisa menangani jalanan itu sendirian. Saya berjalan lebih dulu dari yang lain, dan mereka lumayan jauh di belakang saya. Dari perjalanan menuju puncak 2, melihat ke arah bawah sana, rasanya indah sekali, I couldn't be happier! Akhirnya bisa senyum-senyum sendiri melihat ciptaan Allah SWT. Bagus banget, paraaahh!


Kami tidak berlama-lama di puncak 2 Guntur karena kami harus segera turun untuk brunch di tenda dan segera bersiap-siap untuk meninggalkan area camping ground untuk turun ke kaki gunung. Naaahh, ini nih sesi terseru kedua setelah sesi paling seru subuh tadi. Sesi terseru kedua ini, saya turun melewati jalur berpasir dan juga berkerikil. Saya gak pake gaiters (yang padahal sempat saya pakai dua kali di pagi dan sore hari) karena saya lupa taruh di mana saat tidur di tenda. Karena gak punya waktu lama, saya tinggal saja gaiters tersebut di tenda.

Turun dengan posisi berdiri, laju dipercepat, serta berlari di atas pasir berkerikil itu seru-seru ngeri (tapi harus saya akui lebih banyak serunya ketimbang ngerinya, sih!). Have you ever seen that people go down from the top at Mt. Semeru or Mt. Rinjani? Nah, kira-kira seperti itu lah gaya saya turun di area berpasir Guntur. Posisi pijakan kaki yang tepat adalah bagian belakang telapak kaki sebagai tumpuan. Jadi, jangan sekali-kali pergunakan tumit kaki saat turun, yang ada malah sakit haha.

Hanya butuh waktu 15 menit dari puncak 2 menuju puncak 1. Seperti biasa, kami mengambil pose kembali untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan puncak. Foto-foto kali ini gak kalah seru dengan sesi foto di tugu puncak 2 Guntur. Kami mempunyai dua tempat sebagai latar belakang foto, yaitu perbukitan dan suasana kota Garut dari atas puncak.

Foto dengan latar belakang perbukitan
Kami pun puas berfoto-foto dan segera memutuskan untuk turun menuju tenda. Sekali lagi, jalur turun kami adalah area pasir berkerikil. Seru banget pas turun dan ini the most exciting thing that I had never felt before. Latihan dulu di Guntur sebelum beneran ke Semeru atau Rinjani, hehe.

Setelah sampai di tenda, Mbak Ucu sudah siap dengan menu brunch-nya dan kami tinggal menyantap hidangan tersebut. Baru kali ini mendaki gunung memiliki menu makanan yang ajiiiiib. Biasanya, menu masakan setiap ke gunung yaa standar, seperti: nugget, sosis, telur, kornet, mie instant, dan nasi. Tapi tidak untuk ini! Kali ini, Mbak Ucu selalu menyediakan menu yang mantap-mantap. Dia lah koki terenak saya dan tim yang sebelumnya saya gak pernah makan seenak ini di gunung. Menu makan kali ini adalah nasi dengan ikan sarden, sop bakso, omelette campur mie, dan nugget. Mantab bener, dah!

Pukul 12:50 siang, kami resmi meninggalkan tempat perkemahan kami menuju pos 3 kemudian pos 2 dan pos 1 hingga pos registrasi di kaki gunung. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di kaki gunung. Waktu yang kami peroleh hanyalah 1 jam 30 menit saja. Benar-benar setengah waktu dari pendakian Sabtu kemaren. Seperti biasa, saya gak serta merta turun ke bawah begitu saja. Saya menikmati pemandangan sepanjang jalan. Bahkan, di akhir perjalanan setelah pos 1, saya terus berjalan seorang diri hingga basecamp. Saya sangat menyukai me time saya ini. Melihat para pendaki lainnya yang lalu lalang, warga setempat yang berdagang serta membawa barang dagangannya, dan juga para wisatawan yang hanya berkunjung ke air terjun Citiis. Hingga akhirnya saya berada di bawah dan berbalik badan, sambil melontarkan senyum hangat nun bahagia ke puncak Guntur yang ada di belakang saya. "Suatu hari nanti, saya ke sini lagi, ya!" gumamku.

Pukul 16:15 sore, kami kembali pulang menuju terminal Garut. Kami telah menyewa kembali mobil bak hitam dengan harga Rp 25.000,- per orang. Kami harus segera berangkat karena hujan sebentar lagi akan mengguyur kota Garut dan sekitarnya. Kebetulan, mobil bagian belakang sudah penuh dengan teman-teman. Jadilah saya dan Kak Aan duduk di seat depan bersama sang supir.

Saya selalu suka mengobrol! Bapak supir itu terus-terusan saya ajak ngobrol. Dia seorang Bapak yang gigih, sayang, dan bertanggung jawab sekali kepada keluarganya. Dengan bangganya ia bercerita pada saya mengenai puterinya yang dianugerahi penghargaan dari Bupati Garut atas kemenangannya dalam kegiatan kesehatan yang diadakan oleh pemerintah kota Garut kala itu. Bapak tersebut antusias sekali dan sangat hapal sekali detail setiap kronologi yang telah ia lewati demi menebus uang sekolah puterinya yang sekarang telah bekerja di kota Cirebon, Jawa Barat.

Pukul 17:10 sore, bus Primajasa yang kami naiki menuju Jakarta (Pasar Rebo/Lebak Bulus) berangkat dengan selamat walau diperjalanan kami terjebak kepadatan. Kami membayar Rp 52.000,- per orang dan perjalanan kali ini tidak secepat ketika kami berangkat. Sampai Jakarta sekitar pukul 22:30 malam. Itu artinya, sekitar 5 jam 30 menit kita berada di dalam bus karena kondisi jalanan yang macet namun tetap bergerak.


* * *

Moral Dari Sebuah Perjalanan

Ya, itulah pengalaman pendakian saya dan tim ke Gunung Guntur Jumat, 26 Agustus s.d. Minggu, 28 Agustus 2016. Suatu pengalaman yang teramat seru bagi saya karena saat itu lah saya gak cuma mendaki tetapi banyak pelajaran-pelajaran baru yang saya temui selama liburan ke sana. Mulai dari bertemu teman baru, berbincang-bincang dengan warga sekitar mengenai Guntur, dan mendapat wejangan hangat dari Bapak yang mengendarai mobil bak hitam.

Wednesday, 3 August 2016

Gunung Prau via Dieng || Melihat 5 Gunung Sekaligus Dari Atas Puncak Prau

Gunung Prau 2016


Mengingat pernah ber-solo travel mengunjungi Dieng - Wonosobo untuk pertama kalinya pada akhir tahun 2015 lalu di artikel Dieng 2015, tak menyangka bahwa pada pertengahan tahun 2016 ini saya dapat mengunjungi desa yang indah dan damai itu untuk kedua kalinya pada Jumat, 22 Juli 2016 lalu. Kali ini, misi kunjungan saya bukanlah berlibur me time sendirian seperti saat itu, namun untuk mendaki seru ke Gunung Prau.


* * *

Awal mula saya bisa ikut summit ke Prau dikarenakan Nisa (teman di pencinta alam kampus - MPA Aranyacala Trisakti) mengajak saya untuk ikut dengannya bersama dua rekan pencinta alam saya yang lain, yaitu: Hadi dan Breiner. Nisa mengajak saya agar ikut berlibur ke sana, tetapi saat itu saya belum dapat memastikan bisa ikut tidaknya karena kondisi pekerjaan kantor dan perizinan dari orang tua.

Liburan mendaki ke Prau kala itu rencananya akan diadakan seminggu setelah lebaran Idul Fitri 2016 tepatnya pada Jum'at, 15 Juli 2016. Namun, karena banyaknya halangan, rencana keberangkatan itu diundur seminggu lagi pada hari Jum'at, 22 Juli 2016. Akhirnya, teman-teman saya menetapkan tanggal tersebut untuk berangkat ke Prau dua minggu setelah lebaran.

Menjelang hari-H, saya masih ragu-ragu banget untuk ikut/tidaknya bersama mereka. Namun, karena saya sudah lama sekali tidak mendaki gunung, ke-keukeuh-an saya tersebut menjadi pendukung utama untuk tetap ikut mereka berlibur ke Gunung Prau.



Menuju Terminal Mendolo - Wonosobo!

Jum'at, 22 Juli 2016, saya izin setengah hari dari kantor untuk pulang lebih cepat karena harus mengepak kembali barang-barang bawaan saya. Saya hanya membawa tas andalan saya yaitu Deuter - Air Contact Woman Series 40 s.d. 50 L untuk mendaki dengan isi tas berupa: raincoat consina woman series dan setelannya, baju 3 buah (sudah termasuk yang dipakai), celana 2 buah (sudah termasuk yang dipakai), topi hangat kesukaan saya - jerapah, yang saya beli di Taman Safari tahun 2010 silam, kemudian perlengkapan kecantikan (teteeeuup!), camilan yang banyak, sleeping bag Berghaus, dan yang terpenting juga membawa kamera DSLR Canon EOS 550D bersama lensa 18-135mm yang saya punya. Setelah semuanya rapih dimasukkan ke dalam carrier, saya segera berangkat menuju Terminal Grogol untuk keberangkatan bus Sinar Jaya Ekonomi AC pukul 16.30 sore.

Jam pun menujukkan pukul 16.30. Bus yang kami naiki menuju Terminal Mendolo, Wonosobo, sudah mulai menyala tanda akan segera berangkat. Para penumpang bus pun sedikit demi sedikit mulai datang, dan pengamen bus juga sudah mendendangkan lagu terbaiknya yang dibuka dengan pantun dan kalimat-kalimat khas darinya mengenai Wonosobo. Kalimat penutup yang saya suka dan langsung menjadi quote di Path saya adalah "Wonosobo ... Kota seribu candi, kota seribu dewa ...".  Tak sabar rasanya, ingin segera sampai di Dieng, tempat di mana saya pernah menghabiskan waktu lebih kurangnya 24 jam di sana sendirian. Yap, sendirian - untuk berlibur!

Harga tiket bus Sinar Jaya Ekonomi AC dengan jurusan Jakarta - Wonosobo kala itu yang kami naiki adalah Rp. 90.000,- dengan waktu hanya 13 jam saja diperjalanan, kami pun sampai dengan selamat dan itu pun sudah termasuk istirahat makan malam di restauran yang berada di daerah Cirebon. Bus melintas dengan kecepatan lumayan tinggi, tidak terlalu ngebut, namun sudah bisa dikategorikan kecepatan tinggi. Sepanjang malam, jujur saja saya tidak tidur. Kalaupun tidur, saya hanya tidur ayam, kemudian terbangun untuk melihat sekeliling jalan, lalu berbincang-bincang disepanjang jalan dengan Nisa. Begitu seterusnya hingga akhirnya kami tiba di Terminal Mendolo di pagi harinya.

Sabtu, 23 Juli 2016 (pukul 05.30 pagi), kami tiba di Terminal Mendolo dengan keadaan yang masih ngantuk namun terbalas dengan suasana sejuk kota Wonosobo yang masih asri banget. Terminal yang saya datangi untuk kedua kalinya ini masih sama seperti dulu saat saya datang pertama kali ke Terminal Mendolo, tak ada yang berubah, masih tetap bersih! Kami menunggu mikro bus untuk melanjutkan perjalanan dari Terminal Mendolo menuju Dieng Plateau. Sambil menunggu, hal yang kami lakukan adalah membuat video dokumentasi perjalanan, sarapan pagi dengan bekal camilan yang kami bawa dan teh hangat yang kami pesan di warung, dan melihat-lihat harga tiket bus untuk pulang ke bagian loket Sinar Jaya.

Pukul 06.40 pagi, kami berangkat menuju Dieng dengan mikro bus yang kami naiki dari Terminal Mendolo. Setelah tawar-menawar harga, dan dengan muka polos juga sedikit kebohongan belaka, We finally got Rp 15.000,-/person lhoooo! Hahaha padahal waktu pertama kali saya ke sini, saya membayar Rp. 20.000,- yang mana menurut saya harganya gak worth aja untuk ukuran mikro bus Wonosobo - Dieng (dengan kata lain it was quite expensive).

Pukul 07.52 pagi, sampailah kami di Dieng Plateau, aaaaahhh! Untuk yang kedua kalinya saya bisa menginjak kaki di sana - di tempat yang membuat saya merasa damai karena keadaan sekeliling Dieng yang sejuk, bersih, damai, dan asri banget. Sesampainya kami di sana, kami segera menuju warung makan yang berada tepat dibelakang penginapan Bu Djoko. Kami ke sana untuk mengepak ulang barang bawaan kami, kemudian saling membantu membetulkan posisi bawaan dan carrier, dan yang pastinya brunch! Kita makan pagi sekaligus ke siang sembari mengepak barang. Saya memesan menu spesial khas Wonosobo yaitu Mie Ongklok. Baru sadar kalau mie ini enak banget karena waktu saya pertama kali datang dan memesan mie ini, yang saya rasakan terhadap mie ini hanya biasa-biasa saja.

Segala peralatan yang kami sewa di tempat penyewaan alat-alat camping dan gunung, kami ambil langsung ke rumah pemilik penyewaan barang. Lokasi rumahnya terletak di belakang Indomaret Dieng (ada gang kecil kemudian masuk terus) hingga bertemu bertemu dengan mushola, lalu belok kiri. Rumahnya gak jauh dari belokan tersebut dan tepat di depan mushola.






Pendakian pun Dimulai

Pukul 11.15 pagi, setelah seluruh perlengkapan selesai diperiksa kembali dan isi perut cukup untuk diajak naik, kami pun segera berangkat naik ke Prau. Dari warung yang menjual Mie Ongklok tersebut, kita ke arah belakang di mana ada tangga di sana dan kita cukup ikuti saja jalur tersebut. Kemudian dengan melewati rumah-rumah penduduk, saya dikejutkan dengan suatu tempat yang membuat saya ngeri-ngeri sedap haha. Ya, kuburan! Setelah melewati perumahan warga terakhir, tempat pertama kali yang dilewati adalah kuburan. Saya kurang begitu tahu, apakah itu tempat pemakaman warga (umum) atau pemakaman keluarga, yang jelas saya sempat kaget saat tahu ada tempat pemakaman menuju hutan dan pegunungan ke arah Gunung Prau.

Sesampainya saya dan teman-teman di tempat registrasi, kami menyempatkan diri untuk berfoto-foto ria dan Brei masuk ke dalam untuk membayar simaksi Gunung Prau. Simaksi yang kami bayar sebesar Rp 10.000,-/orang.

Pos registrasi Gunung Prau
Setelah kami membayar dan mendata diri kami di pos registrasi, kami pun melanjutkan perjalanan ke Pos-1 pendakian via Dieng Kulon. Oiah, by the way, saya lupa memberi tahu, saya dan tim mendaki melewati jalur umum via Dieng Kulon. Awalnya sempat kepikiran via Patak Banteng. Tetapi, Brei bilang lebih baik untuk jalur turun saja, kalau untuk mendaki khawatir pada gak kuat. Jadilah Dieng Kulon kami pilih sebagai jalur untuk mendaki ke Prau.



Gambar di atas merupakan papan welcoming menuju Prau. Papan tersebut terletak sekitar satu jam dari pos registrasi. Untuk sampai di tempat tersebut dari pos registrasi, kami melewati area perkebunan warga Dieng yang enak banget untuk dilihat. Banyak warga yang sedang bekerja sebagai petani kebun. Berbagai macam vegetasi tumbuhan yang ditanam di ketinggian kurang lebih 2000 mdpl tersebut. Pastinya, hanya tanaman yang cocok ditanam di dataran tinggi Dieng lah yang akan tumbuh, hehe.


Jangan meniru saya memakai celana jeans, tidak baik untuk pendakian







Akhirnya setelah berjam-jam kami melewati hutan, jarang sekali ada pinggiran hutan (lebih banyak di dalam hutan), sampai juga saya dan kawan-kawan di puncak Prau di mana terdapat tugu triangulasi pertama dari jalur pendakian Dieng Kulon. Kami berempat tiba sekitar pukul 3 (tiga) sore di puncak pertama di sekitar bukit Teletubbies. Menurut penglihatan dan pengamatan saya setelah melihat suasana pegunungan kala itu, banyak tugu triangulasi di setiap puncak-puncak bukit di Prau. Saya sangat senang, sampai-sampai saya teriak "PRAUUUUUUUUUUUUU!!!" saking sudah lamanya gak mendaki, sekalinya mendaki dikasih keadaan cuaca yang mendukung banget, tanpa kabut dan cerah sekali.




Karena di puncak tersebut sangat sepi dan memang tidak ada orang lain selain kami berempat, kami pun memutuskan untuk terus berjalan menuju camping ground di mana banyak orang-orang lebih memilih tempat tersebut sebagai tempat menginap.

Sekitar pukul 4 (empat) sore setelah berjalan kurang lebihnya satu jam lima belas menit, kami pun tiba di puncak Prau di mana tenda-tenda lebih banyak didirikan daripada tempat peristirahatan yang sempat kami singgahi sebelumnya. Dari sini, segala pemandangan terlihat. Actually, the place that we visited before was also able to see many scenes such as Telaga Warna, Bukit Teletubbies, and Dieng village.

Setelah kami tiba dan puas menikmati pemandangan sebentar, kami segera mencari dataran yang enak untuk mendirikan tenda. Dataran yang gak miring, jalur air yang pas, serta arah angin yang tepat adalah faktor-faktor yang baik untuk membangun tenda.

Sedang mendirikan tenda bersama Breiner
Acara masak-masak



Hari ke-2, Menyambut Mentari Pagi

Cuaca di Dieng bisa dibilang cukup baik, gak bersih-bersih banget karena masih sering datangnya kabut dan hujan deras yang menghampiri tenda dan lahan kami serta gak begitu istimewa banget karena untuk mencari milky way dan taburan bintang-bintang di langit Prau gak kesampean. Kecewa sih enggak, karena saya sih memang sangat mudah untuk datang lagi ke gunung yang pernah saya kunjungi. Yang terpenting bisa melihat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang besarnya aje gileeee aja udah bersyukur banget.

Paginya dihari kedua, saya bangun sekitar pukul setengah lima pagi, sebenarnya dari sejak malam sekitar jam tujuh malam selepas shalat Isya, saya segera tidur dan selalu bangun kemudian tidur, terbangun kembali lalu tidur lagi begitu seterusnya karena dua hal: lapar dan hujan (menjadikan bagian dalam tenda kami agak basah (BUKAN BOCOR) sehingga membuat saya sedikit terganggu dengan lapisan tenda tersebut). Yap, dua hal itu yang membuat saya sering terbangun hingga akhirnya subuh tiba saya memutuskan untuk shalat dan gak tidur lagi.

Membuka retsleting tenda dipagi itu, tiba-tiba disambut baik dengan pemandangan depan tenda kami, Gunung Sindoro dan Sumbing dikala subuh. Yapss, tenda kami terletak di posisi yang tepat untuk bisa melihat pemandangan yang bagus. Walau masih subuh, belum adanya sunrise, gunung-gunung tersebut tetap terlihat karena efek dari sinar rembulan di atasnya. Gak ada kabut subuh itu, that was why I could see the mountains clearly.


* * *

Saya, Brei, dan Nisa segera naik ke atas bukit di belakang tenda kami, sementara Hadi masih tertidur, susah banget dibanguninnya. Kami menunggu matahari terbit di sana bersama para pendaki lainnya. Awalnya masih sepi, lama-lama menjelang pukul 05.00 pagi, para pendaki mulai keluar dari tendanya masing-masing. Sama seperti kami, mereka pun sibuk mengatur tripod, tongsis alias monopod, menyetel kamera sebaik mungkin, melihat angel yang tepat, dan mengutak-atik handphone untuk menangkap sunrise terbaiknya. Akhirnya, sekitar pukul 05.16, saya pun resmi mendapatkan gambar sebuah garis horizon matahari terbit "khas" Jawa Tengah.





Dari sini, kita bisa melihat beberapa gunung, yaitu: Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Kembang, Gunung Merbabu, dan Gunung Merapi. Nahh, yang terlihat jelas sih memang Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang berada di depan, sementara yang jauh di belakang sana itu ada Gunung Merbabu. Pokoknya, yang saya rasain pagi itu adalah I was very excited after seeing sunrise because I've never found it before in every single mountain that I'd ever visited.


Setelah puas mengambil banyak gambar dari sudut yang berbeda-beda, kami pun segera turun menuju tenda untuk menyiapkan bahan-bahan sarapan pagi. Kami gak berlama-lama saat memasak dan sarapan, setelahnya kami langsung berbenah diri dan membereskan tenda untuk segera pulang ke Dieng. Sekitar pukul 11.00 pagi, kami resmi meninggalkan puncak Gunung Prau untuk kembali ke Dieng, namun via Patak Banteng dengan waktu tempuh hanya tiga jam.

Foto terakhir di atas puncak Gunung Prau
Hujan deras menghampiri Dieng sore hari itu. Untungnya, saya dan teman-teman sudah tiba terlebih dahulu sebelum hujan datang mengguyur daerah tersebut. Setelah kami mengembalikan segala perlengkapan yang kami sewa, dan kami telah membersihkan diri kami serta makan kembali, akhirnya kami pulang menuju Wonosobo dengan microbus ke Terminal Mendolo di mana nanti di Terminal Mendolo, Anda bisa mendapatkan banyak bus menuju Jakarta. Jadi, tenang aja, bus banyak banget di sana, yang terpenting jangan kemalaman kalau tiba di terminal.

TIPS nya nih ya, pokoknya gak lebih dari jam 6 (enam) sore, Anda sudah harus sampai di terminal karena kalau lepas jam segitu, bus-bus yang didapat sangat sedikit bahkan hampir gak ada yang menuju ke Jakarta (apabila tujuan ke Jakarta). Pengalaman saya soal Dieng, Wonosobo, dan Purwokerto, daerah-daerah tersebut apabila selepas jam 6 (enam), bahkan kurang dari jam 6 (enam), angkutan umumnya amat-sangat-hampir gak ada, gak akan ada ditemuinya angkot atau bus menuju malam hari. Ngeri kan? Makanya, sebisa mungkin atur jadwal kegiatan Anda agar tidak kemalaman di kota orang - di kota yang bahkan belum pernah Anda datangi.


Ya, foto di atas adalah semacam tugu pertigaan Dieng Plateau yang dapat Anda temui apabila Anda datang dari arah Wonosobo. Tugu ini persis di depan penginapan Ibu Djono ke arah gang masuk Candi Arjuna. Di Tugu ini lah kita bisa menunggu microbus yang berlalu lalang dan tugu tersebut sudah terkenal sekali. Jadi, apabila Anda ingin bertemu dengan teman-teman Anda, tugu ini bisa sebagai tempat pertemuan (patokan) atau penanda di jalan.

* * *

Okay, Guys, itu dulu cerita saya di pendakian ke Gunung Prau. Semoga dengan adanya artikel ini sangat membantu teman-teman dalam hal akomodasi, petunjuk arah, harga-harga tiket, cuaca, atau apapun dalam mempersiapkan itinerary menuju Dieng dan Prau khususnya. Saya sudah menulis segalanya sangat lengkap. So, have a nice vacation, guuuuysss!







* * *