Click these menus!

Pages

Monday, 21 November 2016

Gunung Arjuno via Lawang || Oleh-oleh Kisah Mistis dari Pos-2 Lawang

Gunung Arjuno 2016



 



* * *

Suatu hari, handphone saya bergetar tanda ada beberapa chat masuk. Sekonyong-konyong, saya pun membuka layar handphone dan membaca salah satu chat dari teman saya yang bernama Hadi. Singkat cerita, Hadi menghubungi saya untuk mengajak hiking lagi (iya lagi, karena beberapa bulan lalu, kami baru saja turun dari Gunung Prau (klik di sini - blog Gn. Prau)) ke gunung yang pernah saya, Hadi, dan Brei wacanakan kala itu.


Yap, saat itu di dalam bus 3/4 saat perjalanan pulang dari Dieng ke Wonosobo, kami sedang mewacanakan untuk pergi ke suatu gunung di daerah Jawa Timur. Sebenarnya belum masuk tahap mewacanakan juga sih ya, malah hanya sekadar basa-basi karena waktu itu Brei dan Hadi sedang membicarakan mengenai kisah mistis gunung tersebut.


Oke, lanjut ke pembahasan chat! Jadi, Hadi mengajak saya hiking ke Gunung Arjuno, Jawa Timur. "Far, 3 November Arjuno, kuy!" sesingkat itu pesannya. Awalnya, saya masih ragu untuk pergi ke sana dikarenakan ada sesuatu hal yang takutnya mengganggu jadwal hiking tersebut. Namun, mendekati bulan November, saya pun akhirnya memutuskan untuk ikut dan langsung memesan beberapa tiket untuk saya dan teman-teman. Awal mula yang berangkat adalah 6 (enam) orang. Tetapi, beberapa hari menjelang hari-H, jadilah tersisa 4 (empat) orang yang pasti ikut termasuk saya.



* * *

Stasiun Pasar Senen - Stasiun Lawang

Rabu, 03 Nobember 2016, masih tersisa satu jam lagi untuk menunggu kereta Jayabaya yang akan berangkat tepat pukul 12.00 siang. Hadi pun belum juga datang bersama temannya Awal, sementara Breiner (Brei) akan bertemu kami bertiga di Pasar Lawang saat kami membeli kebutuhan logistik (bahan masak-memasak) di sana. Kami sengaja tidak membeli bahan makanan dari Jakarta karena satu pastilah berat dan yang kedua, aroma sayur-mayur dan bahan mentah lainnya akan mengaganggu para pengguna kereta lainnya.

Setelah memberitahukan posisi saya ada dibagian print tiket, tidak lama kemudian Hadi datang tanpa bersama Awal. Saya kira Awal akan ikut bersama Hadi. Namun, nyatanya tidak. Mereka berdua berangkat sendir-sendiri. Dan, yeah... 10 menit lagi kereta datang! Kami pun belum masuk bagian pemeriksaan karcis. Saya dan Hadi menunggu Awal di bagian tempat orang-orang mengantri untuk diperiksanya karcis mereka. Panik melanda, sementara Hadi sudah beberapa kali menghubungi Awal dengan balasan "sebentar lagi sampai, ini sudah di lampu merah". Kurang lebihnya 5 (lima) menit berlalu dan batang hidungnya pun belum juga terlihat. Kami yang tadinya memutuskan untuk meninggalkan Awal dan bergegas masuk ke bagian pengecekan, tetiba dari ujung nampaklah seseorang yang kikuk yang sepertinya sedang mencari teman-temannya, sementara Hadi ber- "Naaaaahh!" maksud kalau Awal akhirnya datang juga.

Angin berhembus sejuk siang ini dan langkah kaki kami berlari sekencang mungkin agar kami tidak ketinggalan kereta. Untung saja kami tidak harus melewati lorong bawah tanah untuk menyebrang ke jalur ujung sana, toh lintasannya tepat di belakang bagian pengecekan tiket. Cukup lelah, sehabis berlari-larian dan sempat panik kalau nantinya hanya saya dan Hadi yang berangkat. Tapi, yaa gak apa-apa juga sih.



* * *

Baru saja kami mencari nomor tempat duduk dan menemukannya, kereta pun langsung meninggalkan Ibu Kota. Bak dihempas angin, tanpa sempat saya melihat stasiun Pasar Senen dari jendela, kereta pun bergegas jalan menuju Jawa Timur.

Diawal perjalanan, hal yang kami lakukan pastilah sama dengan kebanyakan para pengguna jasa kereta api lainnya, yaitu mengobrol sepanjang jalan. Kami tidak membawa alat permainan (kartu remi/UNO) sebagai senjata kebosanan. Sesekali kami tertidur, lalu berbincang-bincang kembali, kemudian memutuskan untuk tidur hingga sore hari.

Kurang lebihnya jam setengah 2 (dua) dini hari, kami bertiga sampai di Stasiun Lawang. Penumpang yang turun tidak seramai di stasiun-stasiun sebelumnya. Mungkin karena sisanya akan turun di stasiun terakhir di Stasiun Malang, kali ya? Keadaan Stasiun Lawang pun sangatlah sepi dan situasi di luar stasiun benar-benar seperti kota mati, gelap tanpa aktifitas (yaiyalah, kan jam setengah dua dini hari). Dini hari itu, hanya tersisa kami bertiga dan satpam yang bertugas jaga malam. Kebayang yaaa sepinya!


Kami belum sempat makan malam di kereta, dan kami pun juga sudah kehabisan bekal. Hadi dan Awal sepakat mencari makanan di luar sana. Siapa tahu masih ada warung makan yang buka (atau mungkin baru dibuka dan malah 24 jam tidak tutup-tutup haha). Tinggalah saya seorang diri di ruang tunggu, sementara satpam sedang pergi entah kemana. Yomaaaann, sendiri banget lhoo saya! Yang saya lakukan selama sendirian hanyalah bermain handphone dan me-setting ulang mirrorless Samsung NX mini. Sejujurnya, yang saya khawatirkan bukanlah sesosok "mantan". Namun, saya lebih waspada jika ada orang jahat menghampiri saya. Ngeri, yaaa!


Kurang lebihnya setengah jam sampai 45 menit kemudian Hadi dan Awal datang membawa 2 (dua) kantong plastik hitam (bungkusan) yang berisi dua soto ayam dan dua nasi. Kami bertiga langsung menyantap bungkusan tersebut dengan semangat karena saking laparnya. Singkat cerita, seusai makan, kami langsung bergegas ke posisi tidur kami masing-masing. Yap! Kami tidur sebentar menunggu subuh (lebih tepatnya hingga stasiun ini buka, yaitu pukul 04.30 subuh). Banyak bangku panjang di sini. Jadi, kami bisa memilih mau tidur di sebelah mana nantinya.



Menuju Pasar Lawang

Subuh hari, setelah kami semua dibangunkan oleh satpam penjaga (sebelumnya kami meminta tolong satpam agar dibangunkan apabila stasiun hendak dibuka), kami langsung berbenah diri dan merapihkan barang-barang karena kami akan pergi menuju Pasar Lawang, tempat di mana kami akan berbelanja kebutuhan masak-memasak dan logistik lainnya, serta yang tak kalah penting adalah meeting point kami dengan Breiner. Di Pasar Lawang ini jugalah, start kami menuju basecamp Perkebunan Teh Wonosari di mana area tersebut adalah jalur menuju Gunung Arjuno via Lawang.

Untuk menuju Pasar Lawang dari stasiun, kami hanya perlu berjalan kaki sebentar karena jaraknya hanya 1 km saja. Nantinya, kami akan berbelanja kebutuhan logistik seperti sayur mayur, bahan pokok nasi, dan membuat kudapan-kudapan ringan untuk mengganjal perut disela-sela istirahat berupa pudding cokelat dan jelly. Pasti mantap, ya, apabila disajikan di atas gunung kelak?


Pagi itu amat sejuk, apalagi berjalan kaki di sini membuat badan ini kembali segar setelah seharian duduk pegal di kereta Jayabaya. Yap, seperti biasa, menaiki kereta dengan kelas ekonomi memiliki "keunikannya" tersendiri, yaitu senderan yang tegak. Maka dari itu, pagi itu berbelanja di pasar adalah kegiatan yang menyenangkan karena bisa menghirup udara segar dan juga bisa mengobrol dengan para penjual di sana.


Setelah berbelanja berbagai macam kebutuhan bahan makanan, akhirnya Brei pun tiba di pasar bersama mobil travel yang kami sewa untuk menuju basecamp. Pukul 06.00 WIB kala itu, kami berangkat menuju rumah warga untuk melakukan pendaftaran data diri mendaki ke Gunung Arjuno via Lawang.



Mulai Mendaki

Segala persiapan InsyaAllah telah matang, logistik dan perlengkapan lainnya pun sudah kami cek satu persatu dan siap untuk mendaki. Kurang lebihnya pukul 09.00 WIB kami start mendaki dari perkebunan teh Wonosari. Pagi yang cerah saat itu. Walau yang terlihat hanyalah tim kami saja yang berangkat pagi itu, namun hal ini tidak menyurutkan niat kami untuk hiking ke atas sana. Angin sepoi-sepoi dan aroma daun teh pun ikut memanggil kami seraya mengucapkan selamat datang dan selamat mendaki ke wilayah Gunung Arjuno - Welirang.

Jalur pendakian menuju Gunung Arjuno via Lawang ini bisa saya kategorikan tidak curam karena jalurnya yang landai dengan melewati perkebunan teh, ladang tumbuhan petani, lalu memasuki kawasan hutan, kemudian hutan selesai dan memasuki area terbuka yang gersang, barulah bertemu padang savana yang luas nan indah setelah pos-2 Lawang.





Pos 1

Setelah 1.5 jam berjalan dari start tadi, kami beristirahat di suatu pondok/gubuk yang besar persis dipertigaan jalan di mana apabila ke kanan dari gubuk ini adalah jalur pendakian. Kami beristirahat sekitar 20 menit saja untuk menyantap camilan roti dan minuman manis dengan ditemani sejuknya udara perkebunan dan wanginya dedaunan pagi itu.

Istirahat selesai, saatnya kami melanjutkan perjalanan kami. Usai area ladang petani, kami memasuki kawasan hutan yang gersang dan rapat. Keadaan hutannya juga bukan hutan yang sejuk. Di sini terasa pengap dan jalurnya lumayan sempit (itu tadi mengapa saya bilang rapat). Banyak sarang laba-laba dan serangga-serangga di mana-mana. Saya akan kasih gambaran area hutan menuju Gunung Prau via Dieng Kulon itu seperti apa luasnya. Nahh, hutan yg ini bukan hutan seperti di Gunung Prau, yang sejuk dan luas serta menyebar. Di sini benar-benar rapat, jadi ruang untuk bernapas dan beristirahat di area ini rasanya tidak cocok karena keadaan hutan yang kurang memungkinkan tadi.

Setelah berjalan hampir 1.5 jam di dalam hutan yang walau alhamdulillah tidak menemukan jalur yang terjal alias landai, akhirnya kami keluar dan memasuki area bukit dan padang ilalang yang luas. Sekali lagi, teriknya matahari membuat kami kelelahan karena hari telah memasuki pukul 12.00 WIB. Siang itu memang gerah dan gersang sekali. Masih tak terlihat adanya pendaki/tim lain yang melewati jalur ini selain tim kami.


Pos 2

Pukul 12.45 WIB kami tiba di pos 2 Lawang. Kami memilih untuk beristirahat sejenak dan membuat makan siang di sini. Pos 2 ini patokannya adalah adanya sebuah rumah tua/gubuk tua besar yang mana juga sekitar sini terdapat sumber mata air (namun, kita harus berjalan cukup jauh untuk mengambil air). Nahh, selepas pos 2 nanti, sumber mata air sudah tidak didapatkan karena pos 2 inilah sumber mata air terakhir yang bisa teman-teman dapatkan. Jadi, saran saya, bawa/isi botol minum kalian sebanyak-banyaknya untuk persediaan pendakian di hari berikutnya.

Di pos 2 pula nantinya ada percabangan menuju jalur pendakian Gunung Arjuno. Teman-teman bisa lewat kanan ke jalur Lincing, atau tetap lurus/agak kiri ke arah padang savana yang luas dan cantik. Oiah, kami melihat ada dua muda-mudi yang sedang berada di bukit savana, di mana sedang asyik saling memotret satu sama lain.

Kami sengaja beristirahat siang ini dan melanjutkan perjalanan dikeesokan pagi. Cuaca sejauh ini alhamdulillah baik dan masih cerah serta udaranya yang enak untuk ngaso sejenak. Makan siang kali ini adalah nasi plus sop bening dengan isi sosis, kentang, kol, wortel, dan nugget. Aaahh, sungguh nikmat setelah jalan sekitar 3.5 jam dari bawah sana.








Usai menyantap makan siang, kami beberes dan segera mendirikan tenda. Pukul 14.30 WIB kala itu. Di pos 2 ini, udara masih stabil (alhamdulillah, suhu tidak dingin sama sekali), jadi segala perlengkapan pakaian hangat belum saya dan teman-teman keluarkan. Bahkan teman-teman pria saya ini ada yang membuka baju, masih saja kegerahan akibat perjalanan tadi.

Para muda-muda yang berada di atas bukit tadi pun akhirnya turun dan berjalan ke arah kami ke pos 2. Mereka berdua sempat beristirahat sejenak sekitar 10 menit sembari mengobrol bersama kami berempat. Ternyata mereka hanya tektok untuk melihat sabana dan kembali pulang. Jadi, memang bukan untuk hiking/summit ke Gunung Arjuno. Setelah 10 menit, mereka pun lekas melanjutkan perjalanannya untuk turun mengejar waktu sebelum hari mulai gelap.


Kisah Pun Di Mulai

Menjelang sore pukul 15.30 WIB, disaat kami ingin masuk ke dalam tenda, akhirnya ada 1 tim yang lewat dan terus melanjutkan perjalanan ke pos selanjutnya. Kalau tidak salah jumlah mereka sekitar 5 sampai dengan 6 orang dan semuanya laki-laki. Sama seperti pasangan muda-mudi tadi, tim ini hanya beristirahat sejenak sambil menyantap camilan mereka masing-masing. Mereka sempat bertanya soal jalur, karena ada 2 (dua) jalur di sini. Sampai akhirnya mereka beranjak pergi, mereka pun memutuskan untuk melewati jalur Lincing (seingat saya).




Kami berempat sudah masuk tenda, dan hari sudah mulai gelap. Tetiba suara rintikan hujan terdengar. Rintik-rintik hujan yang terdengar sayup-sayup ini sangat enak menemani rasa lelah kami untuk tidur/beristirahat. Posisi tidur kami di dalam tenda (menghadap keluar) adalah: Hadi (kanan) dan Awal (kiri) di ujung, kemudian saya dan Brei di tengah, persis di depan pintu tenda menghadap dapur tenda.

Seketika, dua teman saya (Hadi dan Awal) pun tertidur. Sepertinya mereka sungguh kelelahan. Bahkan sesekali saya goda untuk membuat mereka bangun, rasa-rasanya mereka tak mendengar. Mungkin mereka sudah jauh sekali masuk dan terlelap di alam tidurnya. Suara playlist yang terputar di Spotify milik Hadi pun seolah tak menghalangi dua anak ini untuk tidur.


* * *


Sekitar pukul 16.45 WIB, artinya sebentar lagi sore akan berganti malam. Suasana di dalam tenda tersisa saya dan Brei yang masih terjaga, belum ada rasa ingin tidur sehingga kami memilih untuk mengobrol sepanjang waktu mengisi kebosanan dan kesunyian karena tidak ada lagi yang menenda di pos 2 ini selain tim kami. Kami berdua ngalor-ngidul membahas seputar Kampung Inggris hingga liburan ke Malang. Membahas juga mengenai teman-teman di Perminyakan dan seputar minyak. Sampai akhirnya waktu tak terasa karena kami asyik berbincang-bincang. Dari dalam sini juga, kesunyian di luar sana terdengar.

Rintik hujan di luar sana pun berubah menjadi hujan yang walau masih terbilang ringan. Tidak deras, apalagi sampai badai. Masih tergolong aman karena hanya hujan biasa. Saat itu, karena saking sunyinya keadaan di pos 2, saya mendengar suara derapan langkah kaki suatu tim, kira-kira 3 orang dari bawah sana mendekati wilayah pos 2 ini. Sontak saya sangat senang karena akhirnya kami tidak sendirian lagi dan saya langsung bilang kepada Brei bahwa akan ada tim yang datang.

Suara mendekat, dan berhenti di area pos 2 ini. Saya menunggu, kira-kira siapakah mereka. Apakah mereka akan membangun tenda juga di sini, atau malah melanjutkan perjalanan? Pasalnya, apabila teman-teman berada di gunung, suatu perbincangan selembut apapun suara kalian, pastilah akan terdengar, walau samar-samar.

Okay, seperti yang saya katakan tadi, mereka berhenti di luar sana. Namun, saya tidak mendengar adanya perbincangan apapun dari mereka semua. Biasanya, kalau para pendaki bertemu dengan shelter/check point/pos, pastilah akan ada kalimat-kalimat paling tidak seperti ini, "Aaaaahhh posssss... woii, pos woiii!! Akhirnya nyampe juga di pos!" atau "Istirahat dulu, guys! Kita duduk dulu bentar di sini!" bisa juga, "Minum dulu gak? Dimakan dulu aja cokelat-cokelatnya! Kita istirahat dulu!", gitu kan biasanya? Sayangnya, ini tuh gak ada sama sekali perbincangan yang keluar dari mereka.

Saya masih menunggu adanya obrolan dari "tim tersebut". Suara kaki itu terus terdengar dan sangat terasa oleh saya, bahkan terdengar pula oleh Brei setelah saya beri tahu bahwa ada tim datang. Ya, suara itu mondar-mandir disekitaran luar. Di area sebelah kanan tenda kami (berarti sebelah kiri rumah tua, jalur para pendaki lalu-lalang). Suara itu terus bolak-balik, bahkan kali ini terdengar suara sapuan dari luar sana. Seolah sedang ada yang menyapu di area pos 2 ini (masih di samping kanan tenda kami). Tapi, siapa juga yang mau menyapu di kala hujan-hujan begini?

Kali ini pikiran saya pun melayang yang aneh-aneh. Suara itu kadang sedang menyapu, lalu terkadang suara langkah kaki yang bolak-balik menjauh lalu mendekat lagi, dan malah kali ini terdengar suara yang seolah akan "meraih" tenda kami. Yap, seakan mendekati tenda kami dari sisi kanan. Sungguh saya agak ketakutan. Masih bilang agak yaaa, belum banget! hehehe...


* * *


Saya bilang ke Brei saat itu bahwa kita berdua harus segera keluar untuk mengecek, takutnya ada apa-apa. Sejujurnya, yang terlintas dibenak saya saat itu bukanlah ke hal yang mistis-mistis, tidak sama sekali malah. Justru, yang saya khawatirkan adalah apabila itu adalah penduduk sekitar yang iseng ingin berniat buruk pada kami, karena di sini cuma ada tim kami saja (empat orang). Saya sudah membayangkan yang tidak-tidak seperti orang membawa celurit, golok, atau pacul yang biasa digunakan untuk berladang. Bisa saja penduduk itu yang ingin memalak para pendaki karena sekarang banyak kabar kalau di gunung pun, para pendaki suka dipalak atau dimintai barangnya dengan cara kasar/paksa oleh orang yang tidak dikenal di jalur pendakian.

Pemikiran kedua saya, saya takut kalau itu adalah binatang buas seperti macan/harimau, atau babi hutan. Saya benar-benar tidak habis pikir kalau itu adalah hewan buas. Mau lari ke mana coba kami? Akhirnya, kami berdua pun keluar tenda dan mengecek keadaan sekitar. Saat keluar tenda, ternyata hari di luar sana sudah terlihat sangat gelap dengan hujan ringan yang membasahi area gunung ini. Gelap dan penuh teka-teki. Suara apa itu semua?

Setelah kami cek, suara itu hilang seketika. Persis saat kami keluar tenda, suara pun menghilang. Kami memutuskan untuk masuk kembali, karena kami berpikir suara itu sudah pergi. Namun, saat kami baru saja masuk, "gangguan" suara itu datang lagi. Persis saat kami masuk, dia pun datang seketika. Jadi gini, kami keluar, suaranya hilang, kami baru saja masuk, suaranya datang. Tambah bikin merinding dong, ya?


Pukul 18.45 WIB, suara langkah kaki, orang sedang menyapu, lalu ada orang plus kaki mau meraih tenda kami dan mendatangi tenda kami pun semakin terasa. Benar-benar saya merasakan langsung seperti ada seseorang/makhluk yang ingin menghampiri tenda kami dan ingin meraih kami semua dari sisi kanan. Susah kalau diceritakan! haha. Kali ini, ditambah dengan adanya suara air hujan dari atap rumah tua yang jatuh ke suatu wadah, yang saya bingung, wadah apa yang berada di samping kiri rumah tua (sisi kanan tenda)? Perasaan saya, tidak ada wadah atau tempat apapun untuk menampung air hujan. Terus saja banyak gangguan-gangguan aneh.


Kami sekali lagi mengecek hingga 3x bolak-balik keluar-masuk tenda. Mengecek sekeliling luar tenda, dan Brei membereskan sampah-sampah di samping rumah tua agar tidak berserakan. Semakin gelap di luar sana. Tidak ada penerangan atau aktifitas manusia. Sendiri. Ya, hanya kami yang "memiliki" daerah ini.


Cukup! Akhirnya pikiran saya sudah bukan lagi tentang penduduk yang iseng atau pun hewan buas. Pikiran saya kali ini pure adalah tentang makhluk gaib yang sepertinya sedang menganggu kami berempat. Sayangnya Hadi dan Awal sudah tertidur lelap. Mereka tidak akan pernah merasakan ketegangan apa yang saya dan Brei rasakan. Saya berkali-kali membangun Hadi dan ia pun tak mendengar sedikitpun. Terlelap.



* * *

Selama kejadian itu, saya dan Brei terus berbincang-bincang membicarakan apa saja, masih seputar Kampung Inggris sampai perminyakan dengan suara besar. Seputar cara interview untuk masuk kantor itu bagaimana hingga membicarakan kondisi harga minyak saat itu. Saya dan Brei seolah menghiraukan keadaan "gangguan" di luar sana. Walau "mereka" masih menggoda kami, kami harus cuek dan bahkan Brei membuat kopi susu untuk kami berdua agar kami tidak begitu was-was. Kami ngobrol dengan nada normal seperti orang-orang pada umumnya ngobrol. Namun, ketika "mereka" sedang menganggu, saya selalu memberi kode seperti, "suaranya ada lagi, Brei. Dengar, gak?" dengan suara kecil dan pelan. Setelah itu berbincang lagi dengan nada normal. Jadi, ada part kami ngobrol nyantai, dan ada part di mana suara saya kecil saat memberi sinyal ke Brei.

Saya selalu bilang pada Brei bahwa kita harus jaga malam. Jangan sampai ada yang tertidur. Sesekali obrolan kami sudah melantur dan tidak nyambung karena kami berdua sudah kelelahan dan butuh tidur. Sesekali juga saya bilang, Brei kalau mau tidur juga tidak apa. Namun, ia berkata bahwa saya saja yang tidur dan ia yang berjaga, karena bagaimana pun juga di tenda harus ada yang bangun. Karena saya sudah sangat ngantuk, saya pun tertidur. Suara itu masih sama-samar terdengar. Saya berkata dalam hati, "Tolong jangan ganggu ya! Kami gak ada sedikit pun niat jahat ke sini. Tolong pergi!". Hatiku sebenarnya lebih ke marah karena sudah kesal diganggu terus. Saya berontak dan mengusir "mereka" dengan amarah saya walau hanya dalam hati saja.

Terlelap. Saya pun tertidur pulas dan seingat saya, saya tidak bermimpi yang aneh-aneh. Bahkan saya pulas dalam tidur saya. Serasa lupa apa yang terjadi sebelumnya. Entahlah, apakah Brei juga pada akhirnya tidur atau tidak, saya ingin mengecek keadaan dirinya. Namun, badan ini rasa-rasanya sudah terlena dengan posisi tidur dan saya sudah masuk ke alam tidur saya.


Semuanya Berakhir

Pukul 01.00 WIB, saya bangun dari tidur. Sudah ada Hadi dan Awal yang sedang duduk sembari membuat sesuatu di depan saya ke arah tenda dapur. Saya sekonyong-konyong bangun dan terdiam. Mencoba merasakan dan mendengar kembali suara-suara itu. Tidak ada! Semuanya hilang. Saya kembali memastikan suara itu ada atau tidak. Ternyata memang benar-benar sudah pergi. Padahal ini adalah tengah malam. Mengapa suara itu malah tidak ada di tengah malam seperti ini dan justru ada di sore ke malam hari tadi?

Saya segera dibuatkan dan ditawari susu hangat dan jelly yang mereka buat. Saya langsung memegang minuman dari yang Hadi beri dan meminumnya. Ngantuk dan lelahku hilang. Melihat Brei yang gantian tertidur pulas rasanya ingin tersenyum bahwa kejadian tadi yang tahu semenegangkannya seperti apa hanyalah kami berdua, dan saya belum ingin memberitahukan kejadian tadi kepada Hadi dan Awal. Jadilah saya menyimpan dulu ini semua.


Tak lama, Brei bangun. Kami berempat lengkap dalam keadaan on dan membuat makanan ringan (seingat saya mie goreng pedas pakai sosis), serta berbincang-bincang seru. Kami saling menghangatkan dan meramaikan suasana walau di sini hanya ada kami berempat saja. Perasaan dan keadaan saat ini jauh lebih baik karena merasa tidak sunyi dan sepi lagi seperti tadi. Oiah, saat saya bangun barusan, hujan memang sudah berhenti. Entah kapan hujan itu berhenti. Mungkin saat saya dan Brei tertidur pulas.


Setelah 1.5 jam kami beraktifitas, saya memutuskan untuk melanjutkan tidur karena subuh nanti kami harus hiking ke savana. Aaaahh, gak sabar naik ke bebukitan savananya Arjuno yang indah itu! Kami berencana akan naik ke savana sekitar jam 5 subuh, sebelum sunrise. Jadi, nanti kami bisa melihat sunrise di savana.



Savana Gunung Arjuno

Subuh pun datang dan kami segera bangun untuk bergegas lanjut ke savana. Tenda dan perlengkapan kami tinggal di pos-2. Kira-kira pukul 05.15 WIB kami beranjak pergi. Oiah, kebetulan, subuh itu datang satu tim pendaki beranggotakan kira-kira 8 (delapan) orang dan membuka tenda untuk beristirahat di pos-2. Jadi, kami merasa aman untuk menitip barang-barang kami pada mereka. Itu artinya juga, tim kami tidaklah lagi sendirian hehe.

Kami ke savana hanya untuk berjalan santai sekaligus menghirup udara segar pagi hari di Gunung Arjuno. Jarak dari pos-2 ke bukit savana tidak jauh, hanya setengah jam saja kita harus menelusuri padang ilalang yang menghantarkan kami di suatu padang savana yang sangat luas. Nahh, dari pos-2 ini, kami ambil jalan lurus (agak ke kiri sedikit), bukan ke arah kanan ke Lincing. Treknya mendaki, namun tetap landai tidak curam.

Setelah 30 menit jalan, kami disuguhkan dengan hamparan padang ilalang di bukit savanah nan indah ini. Dari sini, kami bisa melihat kota-kota daerah Malang/Batu sana, juga Gunung Semeru dari kejauhan. Semoga, tahun depan saya bisa ke Semeru ya, aamiin! Oiah, cuaca pagi ini sangat cerah. Di atas sini anginnya lumayan kencang (bukan badai yaaaa). Hembusan sepoi-sepoi angin di sini membuat langkah dan badan ini terasa ringan. Kami merileksasikan tubuh kami dengan duduk-duduk santai di sini sambil melihat pemandangan sekitar serta sembari ajang potret-memotret satu sama lain.




Sekitar hampir 2 jam kami ngaso di savana, akhirnya saya dan Awal turun untuk membuat sarapan pagi. Brei dan Hadi masih terus lanjut ke bukit lebih atas untuk mengambil gambar dan foto-foto. Oiah, saat saya kembali ke pos-2, saya sempat melihat lutung hitam (Lutung Jawa) untuk pertama kalinya seumur hidup saya. Tubuhnya besar dan lengannya panjang. Sesungguhnya, saya tidak tahu apakah itu lutung atau jenis kera/primata lainnya. Namun sayangnya, saya lupa memotret lutung hitam tersebut.

Pukul 08.00 WIB, sarapan siap di santap pagi itu. Saya dan Awal membuat pudding cokelat dengan saus fla putih di atasnya. Kami juga memasak omelet mie telur dan makanan cepat saji lainnya seperti sosis dan chicken nugget. Masih ada teman-teman tim lain di pos-2 ini. Mereka sepertinya sedang me-packing ulang barang mereka. Agaknya, mereka sedang mempersiapkan sesuatu entah apa karena tampaknya mereka sangat sibuk satu sama lain.


Sarapan dan Pulang

Tidak lama, Hadi dan Brei datang. Kami menyuguhkan makanan untuk mereka berdua. Kami harus sarapan terlebih dulu sebelum turun ke bawah. Rencana, kami akan turun jam 10 pagi. Masih ada waktu sekitar 2 jam dari sekarang. Kami makan dengan sangat senang, puas, dan gembira. Sesekali saya merekam kegiatan kami pagi itu. Di sela-sela sarapan pagi, tim lain pun pergi meninggalkan tenda yang katanya mereka akan lanjut untuk ke pos berikutnya. Waaaaah, pos-3 masih sangat jauh sekali. Sementara mereka tidak membawa apa-apa selain tas kecil dan kebutuhan penting yang mereka bawa.

Usai sarapan, kami segera membereskan peralatan masak dan berganti pakaian secara bergantian. Setelah semuanya beres, barulah tas carrier kami masing-masing dibereskan sampai akhirnya tenda dibersihkan dan dilipat. Sebelumnya, kami masih sempat membuat pudding cokelat (tanpa fla) untuk bekal makan siang nanti. Rencananya, kami akan makan saat kami di gubuk pertama (bukan gubuk kemaren).






Pukul 10.00 WIB kami turun. Setelah mengecek ulang area sekitar dan sudah beres semua, kami dengan mantap turun ke basecamp. Waktu tempuh kami hingga basecamp hanya sekitar 2 jam saja. Itu pun sudah termasuk makan siang dan istirahat nyantai-nyantai di jalur pendakian. Cuaca siang itu cerah, udara masih sedikit gersang. Namun, Allah tetap memberi kesehatan dan keselamatan pada kami setelah apa yang terjadi sore ke malam kemaren. Oiah, saya lupa memberi tahu bahwa pada akhirnya, saya dan Brei menceritakan kembali kejadian kemaren pada Hadi dan Awal. Mungkin karena sudah siang, jadi tidak ada yang perlu ditakutkan.
























* * *










Wednesday, 31 August 2016

Gunung Guntur || Menelusuri Indahnya Persahabatan di Jalur Berpasir

Guntur 2016

Gunung Guntur pada tahun 2013
Foto di atas adalah keadaan panorama Gunung Guntur yang saya ambil tepat di tiga tahun lalu dibulan Agustus. Kala itu, saya dan teman-teman satu tim sedang melakukan kegiatan kerja praktek di Pertamina Geothermal Energy Area Kamojang, Garut, Jawa Barat. Itu adalah kali pertama saya melihat Gunung Guntur. First impression saya terhadap gunung tersebut saat itu adalah takjub karena punggungan gunung dan segala garis-garis kontur puncaknya sangat terlihat dari segala penjuru kota Garut. "Gilaaaaaa, ini gunung kelihatan amet kemiringannya, gede amet!" takjubku. Gunung tersebut kala itu yang terlihat sangatlah besar, miring, dan membuat bulu kuduk saya merinding saking sangat terlihatnya guratan-guratan dari kejauhan. Bahkan, Gunung Galunggung dan Cikuray yang jauh lebih besar malah saya pandang sebelah mata, lho! Dua gunung tersebut bagus, bagus banget malah! Namun, Guntur adalah gunung pertama di Garut yang membuat saya merinding kala itu.

Bulan Juli 2016, dibulan itu, saya dan Ayub mempunyai rencana akan mendaki ke Gunung Papandayan, Garut, bersama teman-teman kantornya Ayub dibulan Agustus kelak. Hal tersebut membuat saya sangat senang karena udah lama banget saya gak mendaki sejak pendakian terakhir ke Gunung Ijen 2014/2015, itu pun hanya gunung wisata. Gunung terakhir yang saya daki dan summit attack adalah Gunung Gede di tahun 2014 silam.

Singkat cerita, diakhir bulan Juli lalu, saya dan teman-teman dari MPA Aranyacala (namun tidak membawa nama organisasi) mengadakan liburan/pendakian ke Gunung Prau. Saya kira, rencana saya dengan Ayub adalah pendakian pertama saya di 2016. Namun, tenyata enggak! Jadilah Prau sebagai gunung pertama di 2016 ini yang saya pijaki.

Jumat, 12 Agustus 2016, Ayub mengabari saya bahwa pendakian kami ke Gunung Papandayan berubah haluan menjadi ke Gunung Guntur. Seketika itu juga yang terbesit dan yang saya rasakan tiba-tiba deg-degan. Entah mengapa saya deg-degan dan agak khawatir. Namun, tetap dengan senang hati, saya menerima tawaran Ayub untuk mendaki ke Gunung Guntur walau entah apa yang terjadi nanti.

* * *

Siapkan Amunisi!

Persiapan yang matang adalah obat dan faktor utama sebelum saya berangkat ke medan perang. Banyak hal yang selalu saya lakukan dan menjadi kebiasaan saya menjelang pendakian. Karena kali ini saya ke Gunung Guntur, yang saya lakukan sebelumnya yaitu: membuka blog orang-orang atau blogwalking dan melihat catatan perjalanan mereka, membaca berkali-kali soal berapa lama perjalanan dari bawah hingga ke puncak dan jalur serta rintangan apa saja yang terjadi di Guntur, kemudian menonton vlog di youtube mengenai Gunung Guntur, membuka website mengenai ramalan cuaca selama sepekan di gunung (di sini), mengunduh peta topografi Gunung Guntur dari website Kementerian ESDM, mengunduh video mengenai first aid, hipotermia, survival kit, basic survival skills, dll.

Sempat vakum dua tahun dalam kegiatan mendaki, banyak barang-barang saya yang telah hilang entah kemana. Akhirnya, saya menyempatkan diri untuk membeli dan menyiapkan kembali kebutuhan-kebutuhan penting tersebut yang telah saya list, seperti:

1. Perlengkapan Wajib;
  • Sleeping bag;
  • Jaket fleece/polar;
  • Jaket down/bulu angsa;
  • Celana trekking;
  • Matras;
  • Gaiters; dan
  • Sepatu trekking.
2. Obat-obatan (P3K); dan
3. Survival Kit.


Oiah, selama mencari barang-barang diatas, banyak hal seru yang saya alami ketika mencari itu semua (bisa dibaca di sini, guys!). Susah-senang dalam berburu perlengkapan di atas, terbayar sudah ketika melihat indahnya Gunung Guntur. Sungguh terbayar!

* * *

Bertemu Kawan Baru

Jumat, 26 Agustus 2016 (pukul 21:07), sehari sebelum kami berangkat, Ayub mengabari saya bahwa kami akan meeting point di Pasar Rebo dekat shelter busway sekitar jam sembilan malam. Jadilah saya datang tepat waktu kurang lebih pukul 21:07 malam. Orang yang pertama kali saya lihat adalah wanita muda yang lebih tua dari saya memikul carrier kecil disusul dengan penglihatan saya yang tajam saat melihat pria muda dibelakang wanita tersebut. Erik. Ya, ERIK! Haha, sontak saya berseru memanggil dirinya dan hampir saja saya memeluknya karena terlalu semangat dengan liburan kali ini yang juga liburan bersama kami (saya, Ayub, dan Erik) untuk yang kesekian kalinya.

Sekitar dua jam, saya dan Erik menunggu teman-teman Ayub lainnya yang akan meeting point di tempat ini. Saya dan Erik selalu menduga-duga setiap orang yang lewat memakai carrier dipunggungnya. "Rik, kayaknya yang itu tuh! Bawa carrier tuh doi! Eh, apa yang itu ya?" tanya saya kepadanya. Kami kira mereka adalah salah satu bagian tim kami nantinya. Namun, ternyata bukan. Begitu seterusnya, hanya dugaan yang salah. Hingga akhirnya kami melihat si wanita tadi bertemu dengan rombongan teman-temannya yang juga sesuai dengan dikte-an Ayub bahwa ada seorang wanita kecil berjaket pink (teman sekantor Ayub) dan pria yang merupakan suami dari wanita kecil tersebut. Saya dan Erik pun tak ambil pusing langsung menduga bahwa itu pasti Mbak Nunung yang dimaksud Ayub.

Akhirnya, dugaan kami benar. Itu adalah Mbak Nunung beserta suami dan teman-teman bawaannya. Kami langsung berkenalan dan berjabat tangan satu sama lain. Tiga wanita muda berkerudung, yaitu: Mbak Aan, Mbak Yanti, dan Lena, serta satu pria yaitu Bang Gun (suami Mbak Nunung). Ayub dan teman kantornya, Kiat, sempat terjebak macet. Namun, tak lama mereka berdua akhirnya datang. Terkumpul lah kami semua di tempat itu dengan sempurna. Jam menunjukkan hampir pukul 23:00 malam, itu artinya kami harus segera naik bus agar segera sampai lebih cepat di Garut.

Saya lupa bus apa yang membawa kami menuju Garut malam itu. Namun, saya tidak melupakan hal lainnya mengenai bus dan perjalanan kala itu. Bus ekonomi yang kami naiki dihargai Rp 50.000,- dengan kondisi bus yang sesuai dengan harganya. Bus yang biasa-biasa saja desain dan fasilitasnya. Ada AC dengan seat yang lumayan nyaman saja sudah bersyukur. Bus yang melaju kencang ini membawa kami 1 (satu) jam lebih hemat daripada perjalanan ke Garut pada umumnya. Kami hanya menghabiskan waktu 4 (empat) jam saja tanpa macet, sungguh diluar dugaan saya yang saya kira akan sampai pagi hari. Gila, cepet banget, dah!

Sabtu, 27 Agustus 2016 (pukul 03:00), Bang Gun meminta kenek bus untuk menurunkan kami di SPBU Tanjung, Garut. SPBU Tanjung ini berseberangan langsung dengan Indomaret, tempat di mana para pendaki lainnya istirahat sambil membeli kebutuhan logistik lainnya. Di dalam SPBU Tanjung, nampak aula putih yang besar dari kejauhan. Kami diinstruksikan oleh Bang Gun untuk menaruh barang-barang kami dan segera istirahat sejenak di aula tersebut.

Selama beristirahat, ternyata satu teman Mbak Nunung yang ikut rombongan kami ada di aula ini. Ia sudah lebih dulu datang daripada kami. Bang Handy namanya. Kebetulan, Bang Handy baru berkenalan juga dengan satu orang pria muda yang akan mendaki ke Gunung Guntur. Yap, dia lah Kresna yang sengaja datang dari Jakarta sendirian untuk mendaki yang siapa tau di tengah jalan akan bertemu para pendaki lainnya. Jadilah Kresna bertemu Bang Handy, dan Bang Handy memperkenalkan Kresna pada kami.

Pukul 03:45 subuh, setelah kami beristirahat dengan cukup, kami harus segera move to another place yaitu basecamp Gunung Guntur untuk melakukan registrasi dan mendapatkan simaksi di sana. Untuk sampai di basecamp, kami menyewa mobil pick up (bak) yang dilengkapi terpal besar untuk menutupi tas-tas kami dan juga sebagai dudukan di atas mobil. Kami menyewa mobil bak ini dengan harga Rp 15.000,- saja. Hanya butuh waktu setengah jam untuk bisa sampai di basecamp tersebut.

Pukul 05:50 pagi, setelah kami beres dari sarapan pagi dan juga telah selesai me-packing ulang barang bawaan kami, kemudian kami juga sudah membayar simaksi dengan harga Rp 15.000,- untuk tiap-tiap orang, kami pun segera berangkat dengan berjalan santai tanpa terburu-buru di jalan.

Basecamp s.d. Pos 3

Pagi itu sejuk, udaranya enak banget buat diajak jalan, saya gak mau melewatkan perjalanan ini dengan terburu-buru. Jadi, saya sangat menikmati banget setiap langkah dan suasana pepohonan serta rerumputan di kanan-kiri jalan. Saya juga sempat bertemu seorang Bapak membawa dagangannya. Sebelumnya, saya hanya menatapnya lamat-lamat dan memperhatikan barang bawaannya. Segera saya memecahkan keheningan dengan melontarkan sebuah pertanyaan. "Misi, Pak! Itu apa, Pak?" kataku. "Barang dagangan, Neng," jawabnya singkat. "Posnya setengah jam lagi sampai, Neng, dekat kok!" lanjutnya. Dari situ, kami berbincang-bincang seputar keadaan Gunung Guntur mulai dari warga dan para pendaki serta berita-berita terbaru soal pendaki di Gunung Guntur. Perbincangan singkat kami tersebut cukup memberikan informasi mengenai Gunung Guntur. Gunung ini menurut kesimpulan subjektif saya, bukanlah gunung yang rempong dan berat. Gunung Guntur hampir tidak pernah terdengar kabar adanya korban meninggal dan badai yang berarti di atas sana. Kata Bapak, kalaupun ada kecelakaan, itu karena para pendaki atau orang-orangnya bandel! Tapi, untuk memakan korban jiwa, sejauh ini belum tidak ada.

Berfoto dengan latar belakang Puncak 1 Guntur






Dari basecamp, lalu pos registrasi hingga menuju Pos 3, perjalanan yang dibutuhkan hanya memakan waktu 3 (tiga) jam saja. Saya pikir akan berlama-lama di jalan, eeehh tenyata gak! Kami pun sampai di Pos 3 lebih kuranya jam 9 (sembilan) pagi. Karena Pos 3 adalah area terakhir untuk menginap alias area camping ground, jadi selebihnya tidak diperbolehkan untuk mendirikan tenda di atas sana (Puncak 1, 2, 3, dst). Hal tersebut diberlakukan karena kondisi vegetasi Puncak Guntur yang sangat jarang ditemukannya pepohonan tinggi. It's barely to see high trees there. Tak jarang banyak kabar para pendaki tersambar petir saat hujan tiba karena tidak adanya bangunan/tempat tertinggi sebagai sasaran petir.

Oiah, di tengah perjalanan menuju Pos 3, saya dan tim bertemu dengan dua orang pemuda yang akhirnya bergabung dengan tim kami. Mereka adalah Bang Pujo dan Bang Alfi (Bocin/Joni). Niat awal mereka ingin mendirikan tenda agak jauh dan lebih ke atas sedikit dari area camping ground dan niat mereka pun sama dengan tim kami. Setelah berbincang-bincang, Mbak Ucu (Nunung) mengajak mereka untuk ikut menjadi bagian dari tim.

Sampailah kami di sebuah petakan tanah yang cukup untuk mendirikan beberapa tenda di sana. Kami pun membangun tiga buah tenda yang awalnya empat karena Bang Pujo dan Bang Alfi juga mendirikan tendanya sendiri. Namun, Bang Gun menyuruh mereka untuk membenahi tenda mereka, dan bergabung menginap di dalam tenda bersama tim kami supaya lebih bisa saling mengenal.

Setelah tenda didirikan, Mbak Ucu dan para wanita membuat menu masak siang hari yaitu  nasi dengan sop bakso dan nugget, sementara para pria masih terus membenahi sisa tenda dan semua barang bawaan untuk dimasukkan ke dalam tenda, serta membuka fly sheet dan ponco kalau-kalau terjadi hujan deras kelak.


Summit Attack to 2.249 mdpl

Minggu, 28 Agustus 2016 (pukul 03:45 subuh), saya dan tim kecuali Bang Gun dan Mbak Ucu berangkat untuk melakukan pendakian ke puncak 1 dan 2 Gunung Guntur atau istilah kerennya summit attack. Seriously, it made me fear because the contour was very steep. Ada kali kira-kira kemiringannya 50 s.d. 70 derajat. Sampai saya harus merangkak dan memegang rerumputan supaya gak jatuh dan kudu hati-hati banget kalau sampai kejatuhan batu. Eeeeehh, bener dong saya kejatuhan tiga buah batu yang lumayan besar, tapi gak gede banget. Itu karena Mbak Aan sempat jatuh (katanya sih sampai empat kali gulingan) dan diselamatkan oleh Bang Pujo dan Kak Yanti. Mereka menangkap persis di belakang Mbak Aan agar gak terlalu jauh ngegelindingnya.



Kurang lebih 1 jam 30 menit kami sampai dipuncak 1 Gunung Guntur, dan langit sudah memperlihatkan cahaya paginya, tetapi sunrise tidak kami dapati dikarenakan tertutup oleh kabut. But, I really enjoyed that moment. The most important thing was that we had arrived at the top of the mountain safely, without an accident and rainstorm. After we had arrived and had a break for a while, we continued to the second top named Puncak 2 Guntur. Di sana terdapat tugu triangulasi persembahan dari jurusan Geodesi ITB tahun 1997. Ini adalah titik GPS di mana kita dapat mengetahui letak ketinggian gunung dan posisi kita di puncak gunung. Ketinggian Gunung Guntur itu sendiri adalah 2.249 mdpl. Bukan termasuk gunung tinggi yang mana masih jauh lebih tinggi gunung Papandayan yaitu 2.665 mdpl. Namun, Guntur untuk ukuran perjalanan dan rintangan malah jauh lebih sulit dari Papandayan.

Setelah puas berfoto-foto di puncak 1 Guntur, kami langsung menanjak kembali menuju puncak 2 Guntur. Tanjakan menuju puncak 2 tidak sesulit puncak 1. Masih agak landai dan saya (insyaAllah) masih bisa menangani jalanan itu sendirian. Saya berjalan lebih dulu dari yang lain, dan mereka lumayan jauh di belakang saya. Dari perjalanan menuju puncak 2, melihat ke arah bawah sana, rasanya indah sekali, I couldn't be happier! Akhirnya bisa senyum-senyum sendiri melihat ciptaan Allah SWT. Bagus banget, paraaahh!


Kami tidak berlama-lama di puncak 2 Guntur karena kami harus segera turun untuk brunch di tenda dan segera bersiap-siap untuk meninggalkan area camping ground untuk turun ke kaki gunung. Naaahh, ini nih sesi terseru kedua setelah sesi paling seru subuh tadi. Sesi terseru kedua ini, saya turun melewati jalur berpasir dan juga berkerikil. Saya gak pake gaiters (yang padahal sempat saya pakai dua kali di pagi dan sore hari) karena saya lupa taruh di mana saat tidur di tenda. Karena gak punya waktu lama, saya tinggal saja gaiters tersebut di tenda.

Turun dengan posisi berdiri, laju dipercepat, serta berlari di atas pasir berkerikil itu seru-seru ngeri (tapi harus saya akui lebih banyak serunya ketimbang ngerinya, sih!). Have you ever seen that people go down from the top at Mt. Semeru or Mt. Rinjani? Nah, kira-kira seperti itu lah gaya saya turun di area berpasir Guntur. Posisi pijakan kaki yang tepat adalah bagian belakang telapak kaki sebagai tumpuan. Jadi, jangan sekali-kali pergunakan tumit kaki saat turun, yang ada malah sakit haha.

Hanya butuh waktu 15 menit dari puncak 2 menuju puncak 1. Seperti biasa, kami mengambil pose kembali untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan puncak. Foto-foto kali ini gak kalah seru dengan sesi foto di tugu puncak 2 Guntur. Kami mempunyai dua tempat sebagai latar belakang foto, yaitu perbukitan dan suasana kota Garut dari atas puncak.

Foto dengan latar belakang perbukitan
Kami pun puas berfoto-foto dan segera memutuskan untuk turun menuju tenda. Sekali lagi, jalur turun kami adalah area pasir berkerikil. Seru banget pas turun dan ini the most exciting thing that I had never felt before. Latihan dulu di Guntur sebelum beneran ke Semeru atau Rinjani, hehe.

Setelah sampai di tenda, Mbak Ucu sudah siap dengan menu brunch-nya dan kami tinggal menyantap hidangan tersebut. Baru kali ini mendaki gunung memiliki menu makanan yang ajiiiiib. Biasanya, menu masakan setiap ke gunung yaa standar, seperti: nugget, sosis, telur, kornet, mie instant, dan nasi. Tapi tidak untuk ini! Kali ini, Mbak Ucu selalu menyediakan menu yang mantap-mantap. Dia lah koki terenak saya dan tim yang sebelumnya saya gak pernah makan seenak ini di gunung. Menu makan kali ini adalah nasi dengan ikan sarden, sop bakso, omelette campur mie, dan nugget. Mantab bener, dah!

Pukul 12:50 siang, kami resmi meninggalkan tempat perkemahan kami menuju pos 3 kemudian pos 2 dan pos 1 hingga pos registrasi di kaki gunung. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di kaki gunung. Waktu yang kami peroleh hanyalah 1 jam 30 menit saja. Benar-benar setengah waktu dari pendakian Sabtu kemaren. Seperti biasa, saya gak serta merta turun ke bawah begitu saja. Saya menikmati pemandangan sepanjang jalan. Bahkan, di akhir perjalanan setelah pos 1, saya terus berjalan seorang diri hingga basecamp. Saya sangat menyukai me time saya ini. Melihat para pendaki lainnya yang lalu lalang, warga setempat yang berdagang serta membawa barang dagangannya, dan juga para wisatawan yang hanya berkunjung ke air terjun Citiis. Hingga akhirnya saya berada di bawah dan berbalik badan, sambil melontarkan senyum hangat nun bahagia ke puncak Guntur yang ada di belakang saya. "Suatu hari nanti, saya ke sini lagi, ya!" gumamku.

Pukul 16:15 sore, kami kembali pulang menuju terminal Garut. Kami telah menyewa kembali mobil bak hitam dengan harga Rp 25.000,- per orang. Kami harus segera berangkat karena hujan sebentar lagi akan mengguyur kota Garut dan sekitarnya. Kebetulan, mobil bagian belakang sudah penuh dengan teman-teman. Jadilah saya dan Kak Aan duduk di seat depan bersama sang supir.

Saya selalu suka mengobrol! Bapak supir itu terus-terusan saya ajak ngobrol. Dia seorang Bapak yang gigih, sayang, dan bertanggung jawab sekali kepada keluarganya. Dengan bangganya ia bercerita pada saya mengenai puterinya yang dianugerahi penghargaan dari Bupati Garut atas kemenangannya dalam kegiatan kesehatan yang diadakan oleh pemerintah kota Garut kala itu. Bapak tersebut antusias sekali dan sangat hapal sekali detail setiap kronologi yang telah ia lewati demi menebus uang sekolah puterinya yang sekarang telah bekerja di kota Cirebon, Jawa Barat.

Pukul 17:10 sore, bus Primajasa yang kami naiki menuju Jakarta (Pasar Rebo/Lebak Bulus) berangkat dengan selamat walau diperjalanan kami terjebak kepadatan. Kami membayar Rp 52.000,- per orang dan perjalanan kali ini tidak secepat ketika kami berangkat. Sampai Jakarta sekitar pukul 22:30 malam. Itu artinya, sekitar 5 jam 30 menit kita berada di dalam bus karena kondisi jalanan yang macet namun tetap bergerak.


* * *

Moral Dari Sebuah Perjalanan

Ya, itulah pengalaman pendakian saya dan tim ke Gunung Guntur Jumat, 26 Agustus s.d. Minggu, 28 Agustus 2016. Suatu pengalaman yang teramat seru bagi saya karena saat itu lah saya gak cuma mendaki tetapi banyak pelajaran-pelajaran baru yang saya temui selama liburan ke sana. Mulai dari bertemu teman baru, berbincang-bincang dengan warga sekitar mengenai Guntur, dan mendapat wejangan hangat dari Bapak yang mengendarai mobil bak hitam.