Click these menus!

Pages

Wednesday, 27 December 2017

Nginep Dadakan di Ranca Upas (Camping Ceria)

Ciwidey 2017




Assalamu 'alaykum, hallo semuanya!

Berhubung liburan natal kemaren lumayan panjang selama 4 (empat) hari, saya dan teman-teman memutuskan untuk menghabiskan liburan tersebut dengan bepergian ke daerah Bandung dan sekitarnya. Kami berangkat pada hari Minggu, 24 Desember 2017 dan pulang keesokan harinya Senin, 25 Desember 2017. Kami gak bisa lama-lama dan lagipula liburan dua hari satu malam tersebut sudah sangat membuat kita semua puas.


* * *


Berawal dari kebingungan kami akan berlibur ke mana liburan panjang kali ini, pada akhirnya Dayu mengabarkan saya dan adik saya (Farisah) bahwa kami akan jalan-jalan ke Bandung. Dayu pun mengingatkan untuk membawa sleeping bag dan matras karena kami akan berkemah nantinya. Wooowwwww, sontak saya senang sekali. Akhirnya bisa merasakan camping ceria (dadakan) tanpa persiapan apapun. Terakhir berkemah "ceria" itu saat SD saat pramuka. Selebihnya berkemah benaran di gunung.


Jakarta - Kabupaten Bandung

Bertolak dari Jakarta pukul 09.30 WIB, dengan keadaan lalu lintas yang cukup padat dan mungkin bisa dikategorikan macet di daerah Cikampek (selalu macet kalau sudah liburan), akhinya kami tiba di daerah kabupaten Bandung sekitar jam setengah empat sore. Destinasi pertama yang kami datangi adalah lokasi shooting "Rumah Pengabdi Setan" yang berada di daerah perkebunan teh Pangalengan. Untuk cerita ini, klik di sini ya, Rumah Pengabdi Setan.


Pangalengan - Ciwidey (Ranca Upas)

Tepat sekali saat lantunan ayat suci dibacakan menjelang maghrib, kami pun menyudahi berada di rumah ini dan segera melanjutkan perjalanan ke destinasi selanjutnya, sekalian menginap agar keesokan harinya bisa lanjut jalan-jalan lagi.

Perjalanan dimulai dari daerah Pangalengan sekitar pukul 20.00 WIB karena kami sempat mampir sebentar untuk makan dan buang air kecil. Kemudian tiba sekitar pukul 21.45 WIB di Ranca Upas, Ciwidey. Perjalanannya tidak begitu jauh dari Pangalengan, dan keadaan jalan pun alhamdulillah lancar walau gelap dan tidak begitu ramai pengendara. Oiah, lokasi camping ground ini berada di Kampung Cai Ranca Upas Ciwidey, ya! Jadi, kalau teman-teman mau ke Kawah Putih dan Situ Patenggang, jalan ke Ranca Upas ini masih satu arah dengan dua tempat tersebut.


Kampung Cai Ranca Upas

Sesampainya kami di lokasi, sebelum masuk ke bumi perkemahan, kami harus membeli tiket masuk dan mengeluarkan kocek sebesar Rp 355.000,- untuk semalam. Mahal banget??? Ohhh, tentu tidak! Ini masih terbilang murah untuk 5 (lima) orang.


NB: Karena kita berlima, jadinya tinggal di x5 aja yang perorangnya, yaa!


Kiranya tenda sudah dibangun, kami pun segera masuk untuk menyiapkan keperluan tidur kami. Api unggun telah dinyalakan, kurang lebih 1 (satu) jam untuk satu bongkahan kayu. Sementara kami membeli 2 (dua) bongkah kayu. Untuk masalah suhu, malam ini berada diangka 15 derajat celcius, cukup dingin. Sama dinginnya seperti udara di Dieng. 

Malam ini sangat cerah. Terlihat keberadaan bintang-bintang di atas sana. Sayangnya, gugusan milky way tidak menampakkan dirinya, hanya taburan bintang-bintang tadi yang menyapa kami. Dengan menikmati udara malam yang sejuk, cerahnya cuaca, hangatnya candaan kami di tenda, dan ramainya pengunjung yang datang, membuat liburan ini menjadi sangat sempurna!

Terlihat kerlipan bintang di belakang

Setelah menikmati indahnya keadaan malam dan sesi pemotretan ala fotografer Dariel di bawah langit berbintang, saya pun memutuskan untuk tidur karena waktu sudah masuk pukul 00.00 WIB. Ngantuk rasanya, namun udara sangat dingin. Penyakit yang selalu terulang, yaitu .... Tidak bisa tidur di gunung.

* * *

Setelah semalaman grasak-grusuk tidak bisa tidur dengan nyenyak. Menjelang pagi, akhirnya saya pun tertidur dengan amat sangat pulasnya. Suara ibu-ibu yang menjajakan jualannya pun mulai terdengar satu per satu. Keramaian di luar tenda juga ikut membangunkan saya. Sudah mulai "berisik" ternyata. Tanda pengunjung ramai, nih.

Benar saja, pukul 06.00 WIB saya bangun. Terlihat Dariel sedang berdiri di pintu tenda, sudah mantap dengan alat tempurnya untuk memotret. Saya masih mengulat dibalik sleeping bag, bercanda dengan Dayu, Farisah, dan Dicky. Dayu yang tadinya juga masih setengah semangat untuk bangun, pada akhirnya dia pun bersiap diri untuk ikut Dariel jalan-jalan pagi berkeliling di area camping ground ini. Menjadi modelnya Dariel katanya.

Melihat Dayu yang sedang mengikat tali sepatu, saya pun juga segera bergegas bangun dan keluar dari sleeping bag ini. Bersiap diri, mencuci muka, dandan sedikit, dan ikut mereka pergi ke area ilalang yang jaraknya tidak begitu jauh dari tenda kami. Rencananya sih, kami ingin melihat sunrise.





Usai berfoto-foto ria di padang ilalang, kami bertiga kembali ke tenda untuk segera membereskan semua barang karena kami harus segera melanjutkan perjalanan ke tempat yang lain. Mumpung masih pagi, jadi masih bisa datang ke beberapa tempat lagi sebelum pulang ke Jakarta.

Udara pagi ini sangat sejuk dan sesekali hangat karena adanya matahari yang mulai muncul dengan amat pelannya dari balik gunung sana. Kami pun berjalan menyusuri rerumputan dan tanah yang basah dengan sangat hati-hati. Di sini sangat becek, licin dan banyak aliran air. Di tempat yang kami jadikan area memotret ini juga didatangi oleh beberapa orang. Ada sekitar 6-7 orang selain kami.


Dariel sebenarnya agak kesal dan sedikit kecewa dengan keberadaan Ranca Upas yang tidak sesuai ekspektasi awalnya. Dia kira akan sebagus apa. Maklum, tiap orang punya pendapatnya masing-masing. Mungkin bagi dia, tempat ini belum bisa membiusnya sebagaimana Rinjani membius kami (baca di sini mengenai blog saya di Gunung Rinjani). Yaaa, memang terdengar sangat tidak apple to apple, sih!



* * *

Sekembalinya kami ke tenda, terlihat Dicky yang masih berbaring malas, namun sudah bangun. Dia menyalakan musiknya sembari menikmati pagi ini. Farisah yang tidak ikut kami bertiga pun juga sudah terlihat lebih segar. Mungkin dia sudah mencuci mukanya dan sedikit berdandan.

Kegiatan kemah kami sangatlah sederhana. Walau sudah tahu akan berkemah, tetap saja judulnya dadakan (atau bagaimana?). Tidak ada makan malam maupun sarapan pagi layaknya berkemah di gunung atau laut, yang biasanya sesi makan adalah sesi yang sangat ditunggu-tunggu. Kami hanya datang untuk tidur menunggu pagi dengan berkemah, bukan menyewa penginapan seperti pada umumnya wisatawan. Seru juga!

Sebelum kami pergi ke tempat lain, kami mengabadikan moment ini terlebih dahulu. Memotret menggunakan timer otomatis yang diatur setiap 5 detik sekali, membuat kita terlihat konyol saat difoto. Ada saja kelakuan kami yang aneh-aneh. Tapi yang saya post di sini, pastinya yang bagus saja, ya! Hehe.


Dayu, Farisah, Dariel, saya (Farah), dan Dicky


Review Mengenai Ranca Upas

Dari gerbang yang bertuliskan "Kampung Cai Ranca Upas", teman-teman masuk saja dan ikuti jalannya. Setelah itu, akan bertemu  loket masuk ke Ranca Upas ini. Tempat ini sangat luas, yaa teman-teman. Untuk bumi perkemahannya sendiri bisa memilih mau memasang tenda di area yang mana. Saat itu, kami memilih di area yang bisa melihat sunrise. Cukup jauh dari loket. Tepatnya di dekat toilet dan sungai kecil.

Waktu semalam datang, saya memang tidak memperhatikan keadaan sekitar karena sangat gelap. Namun, ketika pagi datang, woooooowwww, sungguh luas sekali di sini. Camping ground-nya ada di dekat pohon-pohon pinus (jadi, teman-teman bisa memasang hammock), di dekat area kandang rusa, di tempat yang saya tempati, di dekat parkiran mobil, dan di dekat warung-warung yang menjual jajanan. Pokoknya, banyak pilihan!


Tempat ini cocok sekali untuk orang-orang yang suka berkemah santai yang mana tidak perlu ribet dan berlelah diri untuk hiking ke gunung. Banyak orang tua yang membawa anaknya yang bahkan ada yang terbilang masih sangat kecil. Ada pula yang bawa serombongan keluarga besar. Itu mengapa, tempat ini lebih cocok untuk camping keluarga karena fasilitas yang ditawarkan di sini juga bisa memuaskan para sanak saudara yang datang untuk berlibur.


Oiah, Ranca Upas pada dasarnya memang  terletak di gunung dan area ini pula dikelilingi oleh gunung-gunung. Jadi, bagi yang memang menyukai alam dan sedang malas untuk trekking atau hiking, tempat ini bisa menjadi alternatif yang tepat, lho!








* * *


Tuesday, 26 December 2017

Ada apa, sih, di Lokasi Shooting "Rumah Pengabdi Setan"?

Pangalengan 2017



Assalamu 'alaykum, hallo semuanya!

Berhubung liburan natal kemaren lumayan panjang selama 4 (empat) hari, saya dan teman-teman memutuskan untuk menghabiskan liburan tersebut dengan bepergian ke daerah Bandung dan sekitarnya. Kami berangkat pada hari Minggu, 24 Desember 2017 dan pulang keesokan harinya Senin, 25 Desember 2017. Kami gak bisa lama-lama dan lagipula liburan dua hari satu malam tersebut sudah sangat membuat kita semua puas.


* * *


Berawal dari kebingungan kami akan berlibur ke mana liburan panjang kali ini, pada akhirnya Dayu mengabarkan saya dan adik saya (Farisah) bahwa kami akan jalan-jalan ke Bandung. Dayu pun mengingatkan untuk membawa sleeping bag dan matras karena kami akan berkemah nantinya. Wooowwwww, sontak saya senang sekali. Akhirnya bisa merasakan camping ceria (dadakan) tanpa persiapan apapun. Terakhir berkemah "ceria" itu saat SD saat pramuka. Selebihnya berkemah benaran di gunung.


Jakarta - Kabupaten Bandung

Bertolak dari Jakarta pukul 09.30 WIB, dengan keadaan lalu lintas yang cukup padat dan mungkin bisa dikategorikan macet di daerah Cikampek (selalu macet kalau sudah liburan), akhinya kami tiba di daerah kabupaten Bandung sekitar jam setengah empat sore. Destinasi pertama yang kami datangi adalah lokasi shooting "Rumah Pengabdi Setan" yang berada di daerah perkebunan teh Pangalengan. Sesungguhnya, kami gak ada rencana ke sini, lho! Tujuan kami hanyalah pergi ke Ranca Upas untuk berkemah ria dan ke tempat wisata lainnya di Ciwidey.

Siang itu di Tol arah Bandung, Dicky, teman kami menawarkan kepada kami apakah kami setuju untuk pergi jalan-jalan ke lokasi shooting-nya Pengabdi Setan alias "rumah Ibu" di Pangalengan? Sontak, kamipun menyetujui dengan balasan kalimat "terserah, ikut yang ngendarain aja".




Perkebunan Teh, Pangalengan

Menjelang sore, kamipun sudah tiba di daerah Kabupaten Bandung. Saat itu, kami tetap ingin  menyempatkan perjalanan kami ke lokasi tersebut. Lokasi itu berada di daerah perkebunan teh PTPN VIII, yang mana di Kabupaten Bandung ini, kebun teh sangatlah banyak dan luas sekali. Persis di daerah Puncak, Bogor.

Mobil melaju sesekali pelan sesekali kencang. Kami bergantian turun untuk bertanya keakuratan di mana rumah itu berada. Semakin masuk ke area pegunungan yang penuh dengan kebun teh, jalannya pun semakin kecil dan sepi. Terlihat sesekali keberadaan pasangan muda-mudi yang "menjalin kasih" duduk di motor di pinggir jalan sepanjang jalan ini, memandangi hamparan kebun teh bersamaan dengan canda mereka. Semoga mereka baik-baik saja.


"Ooohh, masih lurus terus, Teh. Nanti Teteh ikutin jalan ini aja! Ada persimpangan, ambil yang jalan lurus, ya, Teh! Ada plang nya, kok, jelas", ungkap gadis yang ada di pinggir jalan tersebut.


Mengikuti informasi dari gadis tersebut, kami pun dengan awasnya memerhatikan setiap keadaan jalan yang ada. Hari semakin sore, untungnya belum jelas. Ada satu pertanyaan yang saya lontarkan kepada gadis itu tadi, "Tapi aman, kan, ya? Rame, gak, yang dateng? Takutnya sepi, hehe". Dia pun menjawab kalau "Rumah Pengabdi Setan" sudah menjadi tempat wisata, dan buka hingga malam. Selain itu ramai pengunjung, jadinya tidak akan sepi. Lega rasanya!




Lokasi Rumah Pengabdi Setan, Pangalengan

Sesampainya kami berlima di lokasi, ternyata area yang dijadikan lokasi shooting tersebut tidaklah se-menyeramkan itu. Persis di depan lokasi rumah terdapat area yang di jadikan seperti pasar malam dan ada tempat wisata kolam renang air panas. Sangat ramai di seberang sana. Di sini, juga tidak kalah ramainya. Banyak kendaraan berlalu lalang, namun tidak macet akibat keramaian dari dua tempat wisata ini. Syukurlah, termyata ramai sekali di sini!

Jika teman-teman tiba di area wisata "Rumah Pengabdi Setan", teman-teman akan menemukan sebuah rumah yang pertama kali teman-teman datangi. Sayangnya, itu bukanlah rumah yang di maksud. Saya dan teman-teman sempat terkelabui oleh rumah tersebut. Banyak juga orang-orang yang menyangka bahwa itu adalah rumahnya.


Berdiri bangunan tua dengan aura "mistis"-nya di belakang sana. Ohhh, ternyata itu rumah yang di maksud. Kami harus berjalan sedikit (jauh) ke belakang sana dengan melewati hutan-hutan kecil (mungkin ini adalah spot yang dijadikan kuburan. Ingat, kan?). Banyak anjing berkeliaran di sini.


Setelah berjalan tidak sampai lima menit walau benar bentuknya sepeti hutan dan bebukitan kecil yang tumbuh akan pohon-pohon yang menjulang, akhirnya kami tiba di rumah itu. Saya senang sekali berjalan-jalan di area ini. Sangat sejuk dan asri. Sebelumnya, kami harus membayar Rp 10.000,-/orang sebagai biaya masuk ke tempat itu.






* * *


Jika dilihat dari dekat, rumah ini sebenarnya enak sekali dengan gaya "jadul" seperti rumah Belanda. Saya bilang "seperti", yaa. Pertama kali yang akan teman-teman lihat adalah ruang tamu yang cukup luas kemudian ke arah kanan akan bertemu dengan tangga menuju ke lantai dua. Apabila lurus terus, teman-teman akan menuju sumur tua yang sangat gelap dan menyeramkan. Tapi memang nyeremin banget, sih! Aura tidak enaknya terasa dan di sana terasa sekali udara yang dingin dan lembab.

Lanjut ke lantai atas, persis di depan tangga terdapat kamar Ibu. Ternyata, saat saya masuk, kamar ini tidaklah seluas yang ada di film. Kamarnya juga tidak semenyeramkan itu. Mungkin karena ramai pengunjung kali, ya?

Saya di Kamar Ibu


Dayu dan Farisah

Setelah melihat-lihat kamar Ibu, kami pun beranjak ke kamar Tony, di seberang kamar Ibu ini. Kamar Tony juga luas, dan dari kamar ini, kita bisa melihat pemandangan kebun teh yang ada di belakang rumah ini. Lucunya, saya dan teman-teman menjadikan kamar Tony dan Kamar Ibu sebagai "studio foto" dadakan, dan modelnya, yaaa, kami ini. Oiah, kayu-kayu di bagian atas kamar Tony ini terbuka. Terkesan horror menengok ke loteng di atap kamar Tony. Takut kalau-kalau ada yang mengintip dari atas, hehe.


Sudah puas untuk berfoto-foto di kamar Tony, kaki ini akhirnya melangkah turun menuju lantai bawah, tepatnya ke arah sumur tua untuk melihat-lihat seperti apa di dalam sana. Terlihat seorang guide yang sedang menginformasikan sesuatu dengan seorang ibu (pengunjung), lalu ada banyak pengunjung yang ikut mendengarkan obrolan mereka termasuk saya dan Dayu, menjadikan guide ini akhirnya berbicara kepada kami semua. Bukan lagi menjelaskan sesuatu hanya ke ibu tersebut.


Bapak itu bilang bahwa mas sutradara sebelumnya pernah menginap di rumah ini selama kurang lebihnya tiga hari untuk mendapatkan "ilham" (omongan bapaknya) saat pembuatan film nanti. Sebenarnya, banyak yang saya dengar dari bapak itu. Namun, saya tidak akan menulisnya di sini karena itu privasi dari mas sutradara dan film itu sendiri. Tidak ada hak saya untuk berkata apapun tentang itu semua.



* * *

Berfoto Ria di Kebun Teh

Hari di luar semakin sore dan semakin sejuk saja. Kami memutuskan untuk keluar dari rumah ini dan pergi ke area belakang rumah, tepatnya ke kebun teh. Do you know where Pak Haji's house is? Di film, sih, harus pakai motor dulu atau jalan agak jauh untuk bisa ke rumah pak haji dari rumah ibu. Nyatanya, rumah pak haji berdampingan dengan rumah ibu, lho! Yaa, namanya juga film, hehe.

Angin berhembus membawa kami menikmati pemandangan kebun teh yang teramat luas nun asri. Seperti biasa, kegilaan kami pada potret-memotret ini mendorong kami untuk berpose ala-ala selebram yang sedang berada di alam.

Dayu dan Farisah




Farisah dan Saya (Farah)


Suara qori telah terdengar, tanda adzan maghrib sebentar lagi akan dikumandangkan. Sekonyong-konyong kami bergegas ke mobil untuk melanjutkan perjalanan kami ke tempat berikutnya di Ranca Upas. Suasana tempat wisata "Rumah Pengabdi Setan" hingga menjelang maghrib pun masih ramai pengunjung. Bahkan, saat kami ingin meninggalkan tempat ini, banyak pengunjung yang membawa "pasukan"-nya lengkap tak tanggung-tanggung.
















Catatan: semua foto adalah hasil fotografi dari Dariel. Namun, saya me-copyright-kan atas nama saya dengan maksud untuk menandai foto dengan sebuah nama, agar sewaktu-waktu tidak ada orang yang mengambil foto tersebut. Fotofragernya Dariel, ya!










* * *



Monday, 4 December 2017

Akhirnya, #JadiBisa ke Gunung Semeru, Lho!

#JadiBisa 2017



Jika ditanya, sejak kapan saya suka dengan yang namanya jalan-jalan atau traveling, tentunya saya akan menjawab sejak masa kanak-kanak. Ya, dari kecil keluarga besar saya selalu mengadakan perjalanan-perjalanan ke luar kota atau sekadar ke tempat wisata terdekat dari Jakarta yang mana itu semua sudah  membuat diri saya amatlah senang.


Di era modern seperti ini, keberadaan dari teknologi yang terintegrasi pastilah akan mendukung atau menjadi salah satu faktor yang memudahkan para penikmat jalan-jalan dalam melakukan perjalanan kemana pun yang mereka mau. Sesungguhnya, dengan munculnya aplikasi Traveloka di android, hal ini sangatlah menyenangkan dan membuat semua orang nyaman, mudah, dan fleksibel untuk hal waktu ketika mereka akan bepergian kelak.


Setiap saya hendak merencanakan liburan yang akan datang, atau mungkin sebuah perjalanan yang sangat mendadak, sekonyong-konyong pastilah melihat jadwal dan harga tiket kereta api melalui aplikasi Traveloka terlebih dahulu di ponsel saya. Saya hanya tinggal membuka aplikasi tersebut, pilih produk yang saya inginkan, dan cari jadwal. Ya, semudah itu!


Saya lebih sering mengadakan perjalanan atau liburan yang masih di sekitaran Pulau Jawa, otomatis kereta api adalah solusi dan transportasi terbaik dan tercepat namun tetap santai. Tak terhitung berapa kali saya memesan, kemudian pada akhirnya menaiki/menggunakan, dan terciptalah sebuah perjalanan yang mengasyikan selama saya memakai produk dari Traveloka ini.




* * *

Kereta api adalah transportasi yang amat saya cintai. Kemudahan memasuki loket dan bagian pengecekan tiket, kedamaian dari para penumpang di dalam gerbong, ramahnya para pramugari dan pramugara, adanya pemandangan yang terus terlihat dari balik kaca, dan keindahan-keindahan serta ketenangan-ketenangan lainnya itulah yang akhirnya membuat saya jatuh cinta untuk terus menggunakan armada kereta api. Ini semua terjadi seiring saya selalu menggunakan layanan dari Traveloka. Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya di atas, selama masih berlibur di Pulau Jawa, yang sudah-sudah, saya selalu memesan tiket kereta api dan begitu mudah dalam memesan,  membayar lewat ATM atau lewat akses lainnya, dan memilih kursi di kereta.

Ya, dalam sebuah rencana, pastilah terkadang ada saja yang tidak sesuai harapan. Tidak hanya sekali-dua kali saya batal untuk bepergian. Untungnya, di aplikasi ini terdapat informasi mengenai pembatalan dan ini sangat membantu saya untuk tahu apa-apa saja yang harus saya lakukan ketika saya ingin membatalkan tiket kereta api tersebut.

Di tahun 2017 ini, sudah banyak tempat yang saya kunjungi mulai dari dalamnya laut hingga tingginya puncak di gunung. Beberapa dari destinasi-destinasi tersebut, saya memakai produk dari traveloka berupa pilihan kereta api untuk bisa mengantar saya ke tempat tujuan.

Tahun ini yang tak terlupakan adalah bepergian ke Taman Nasional Bromo Tengger Semeru pada tanggal 29 Juni 2017 lalu. Ya, benar! Itu adalah waktu di mana semua orang masih dalam keadaan mudik/libur lebaran. Tiket pun banyak yang habis terjual. Namun, di sinilah letak kelebihan dari produk layanan kereta api ini yang saya suka, yaitu cepat mengetahui kapan kursi habis dan kapan kursi ada kembali karena pembatalan dari penumpang sebelumnya. Karena saya selalu mengecek terus-menerus, akhirnya, saya mendapatkan kereta api ekonomi Jayabaya dari Stasiun Senen (Jakarta) ke Stasiun Malang (Kota Malang).

Sungguh sangat dipermudah setelah saya tidak mendapatkan kursi sama sekali di hari-hari sebelumnya. Itu benar-benar adalah kursi yang tersisa satu-satunya karena 3 (tiga) teman saya sudah memesan tiket jauh-jauh hari. Berhubung saya dadakan untuk pergi, jadilah di hari-hari terakhir menjelang hari-H saya baru mendapatkan kursi yang saya inginkan.

Hari yang saya idam-idamkan pun tiba. Saya sampai di Stasiun Pasar Senen tepat waktu, dan tidak lama K.A. Jayabaya datang didahului dengan suara klaksonnya yang keras. Saya pun masuk dan duduk di tempat yang telah saya pilih sebelumnya. Ya, persis di samping kaca agar saya bisa melihat dengan puas pemandangan di luar sana. Kereta pun melaju tepat waktu dan sukses mengantarkan saya menuju kota Malang saat itu.

Taman Nasional Bromo Tengger Semeru khususnya Gunung Semeru menjadi cerita yang tidak akan saya lupakan. Gagahnya gunung tersebut, cantinya danau Ranu Kumbolo, juga ramahnya penduduk lokal membuat saya kembali tersenyum lagi dan lagi ketika saya selalu teringat akan perjalanan itu semua, apalagi ketika saya berhasil mendapatkan kursi di hari-hari terakhir kala itu.

* * *

Produk berupa pilihan tiket-tiket kereta api yang selalu saya lihat/cek walau sedang tidak ingin bepergian sekalipun, menjadikan saya semangat untuk berlibur kembali dikarenakan kemudahan dari fasilitas yang diberikan oleh Traveloka tersebut. Sekali lagi, yang saya suka dalam produk pemesanan tiket kereta api ini adalah saya hanya tinggal membuka aplikasi di ponsel, kemudian lihat jadwal, cari dan pilih kursi yang kita inginkan, dan yang terakhir membayar tiket tersebut. Sungguh mudah, bukan? Selamat menikmati fasilitas ini, dan selamat berlibur!


Desa Ranu Pani


Ranu Kumbolo


Porter Gunung dengan Latar Belakang Ranu Kumbolo


Kawah Jonggring Saloko dari Puncak Mahameru






* * *

Tuesday, 28 November 2017

Dieng Plateau || Indahnya Kawasan dengan Aktifitas Vulkaniknya

Dieng 2017



Tahun ini, Alhamdulillah ada kesempatan datang lagi ke dataran tinggi Dieng atau Dieng Plateau yang terletak di dua kabupaten yaitu Wonosobo dan Banjarnegara. Walaupun pernah ke daerah ini sebelumnya, namun Dieng tidak pernah membuat saya kapok atau bosan untuk mampir lagi ke sini.

Kebetulan, di tahun ini ada gears tambahan yang menemani perjalanan saya ke Dieng dan ke destinasi-destinasi lainnya. Mirrorless Olympus PEN mini E-PM2 dan DJI Spark Combo menjadi pelengkap pembuatan cinematic video dan aerial video serta fotografi lansekap saya. Naahh, teman-teman bisa melihat hasil videonya di sini:




Tempat wisata di Dieng sebenarnya banyak lho, namun karena saat itu saya dan keluarga hanya satu hari penuh di sana dan tidak bisa ke banyak tempat, jadilah 3 (tiga) tempat utama yang saya dan keluarga datangi. Sebelum saya mendatangi sejumlah tempat wisata khsusunya ke arah Telaga Warna, saya terlebih dahulu harus membayar tiket tempat wisata plus sudah mendapatkan tiket terusan ke Candi Arjuna. Lumayan kan?



1. Telaga Warna




Kami start dari penginapan pukul 08.00 pagi dengan temperatur yaitu 14 derajat celcius. Cuaca kala itu Alhamdulillah cerah. Jadi suasana untuk mengambil gambar dan video pun sangat mendukung sekali. Di tahun-tahun sebelumnya, lewat Telaga Warna ini, saya bisa terus naik ke arah Batu Pandang dan Batu Ratapan Angin, untuk melihat pemandangan kota Dieng dari atas sana (bisa di baca di sini untuk tahu mengenai Batu Pandang dan Batu Ratapan Angin). 

2. Kawah Sikidang

Di tahun-tahun sebelumnya, hanya Kawah Sikidang-lah tempat wisata yang belum sempat saya datangi, padahal sudah datang beberapa kali lho ke Dieng ini. Alhamdulillah, tahun ini diberi kesempatan melihat-lihat seperti apa Kawah Sikidang itu.





Latar Belakang Gunung Prau
Kawah Sikidang sama seperti kawah pada umumnya yang masih terjadi aktifitas vulkanik seperti kawah yang berada di gunung-gunung api lainnya. Nahh, salah satu enaknya ke Dieng itu, kita bisa melihat kawah-kawah seperti yang ada di gunung api lainnya, namun tanpa harus hiking/trekking terlebih dahulu untuk bisa mengunjunginya. Berbeda dengan kawah wisata seperti Gunung Tangkuban Parahu dan Kawah Putih di Gunung Patuha, kawah-kawah sekitaran Dieng ini mudah dijangkau karena letaknya yang masih berdekatan dengan pemukiman warga setempat.

Dataran tinggi Dieng ini sebenarnya adalah sebuah kaldera raksasa, bekas letusan besar Gunung Prau Purba. Maka dari itu, kita bisa melihat wilayah Dieng ini seperti sebuah cekungan yang dikelilingi gunung-gunung yang berada dipinggir wilayah tersebut. Selain itu, masih adanya aktifitas vulkanik di bawah permukaan kawasan Dieng ini.

Dieng adalah salah satu kawasan yang memiliki kawah terbanyak di Indonesia. Keberadaan kawah-kawah aktif inilah yang terkadang menjadi hal yang mengerikan karena adanya gas-gas beracun di kawah-kawah tersebut. Yaaa, inilah Dieng Plateau! Wilayah yang asri, subur, dan masih adanya aktifitas gunung api di bawah permukaannya yang juga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber energi pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTPB) dan direct use dari geothermal energy. Salah satu perusahaan yang mengurusi bidang energi panasbumi di Dieng ini adalah PT. Geo Dipa dan PT. Pertamina Geothermal Energy.

3. Candi Arjuna








4. Tugu Dieng

Setelah puas mengelilingi area wisata di Dieng Plateau yang walau singkat ini, saat menjelang makan siang, saya dan keluarga memutuskan untuk makan di tempat favorit saya setiap ke Dieng. Dulunya ini adalah tempat di mana para pendaki beristirahat/makan sebelum dan sesudah mendaki. Karena di sekitar sini tadinya adalah basecamp dari pendakian Gunung Prau via Dieng (baca di sini mengenai pendakian ke Gunung Prau via Dieng 2016). Namun, setelah saya menanyakan kembali di mana basecamp-nya, ternyata sudah pindah dan berlokasi di atas arah ke Gunung Prau (mungkin dekat pintu masuk via Dieng kali, yaaa).

Saya merekomendasikan keluarga saya makan di belakang penginapan Bu Djono (baca di sini seputar pengalaman saya menginap di penginapan Bu Djono) untuk makan mie ongklok. Ternyata, semuanya suka! Saya kira karena pada asing dengan mie ongklok ini akan mengakibatkan mereka tidak suka. Sambil menunggu hidangan siap disantap, saya dan adik berfoto-foto dulu di Tugu Dieng persis di seberang penginapan Bu Djono. Walau saya setiap kali ke Dieng selalu menyempatkan diri untuk foto di depan tugu ini, rasanya tak bosan untuk mengoleksi lagi dan lagi diri saya bersama tugu ini.





Setelah selesai makan siang dan shalat dzuhur, saya dan keluarga menyudahi perjalanan yang singkat ini di Dieng. Yang terpenting dari perjalanan ini adalah setidaknya keluarga saya tahu ada wilayah yang dingin nun asri untuk dinikmati namun juga bisa menjadi bahaya karena kawasan tersebut masih aktif dalam hal vulkaniknya.

Pukul 02.00 siang kami pulang dan keluar dari kawasan Dieng Plateau untuk melanjutkan perjalanan ke wilayah Bawang, Jawa Tengah dengan melewati rute arah Banjarnegara, jadi bukan lewat Wonosobo yaa seperti saat saya dan keluarga datang. Mulanya, perjalanan saya dan keluarga ini berawal dari Pekalongan untuk dua hari saja, kemudian lanjut ke Magelang untuk melihat Candi Borobudur, lalu malamnya menginap di penginapan daerah Dieng, dan hari itu selesai sudah jalan-jalannya saya dan keluarga secara keseluruhan. Oiaahh, apabila teman-teman ingin berkunjung ke Dieng, teman-teman bisa membaca dan klik di sini mengenai transportasi ke Dieng. Silahkan dibaca, yaa!

Terima kasih banyak sudah membaca artikel saya ini. Sekiranya ada salah kata, mohon dimaafkan. Terus ikuti perjalanan saya dan bisa juga membaca kisah-kisah saya lainnya di blog ini. See you in another story!






* * *

Thursday, 5 October 2017

Yogyakarta || 8 Tempat yang Gak Pernah Bosan untuk Dikunjungi

Yogyakarta 2017



Assalaamu 'alaykum Warahmatullaahiwabarakattuh!

Ada gak sih dari teman-teman di sini yang punya tempat/kota/destinasi favorit yang bahkan berkali-kali (selalu) dikunjungi? Tempat yang gak pernah bosan untuk kalian datengin, gitu? Kalau saya pribadi, sejak 10 tahun lalu untuk pertama kalinya di tahun 2007, saya datang ke kota Jogja. Saat itu, saya mendatangi acara pernikahan Om saya di Magelang. Naah, karena masih ada sisa waktu, saya dan keluarga sebelum pulang ke Jakarta, mampir dulu ke Jogja.

Lebih tepatnya saat kuliah hingga hari ini, setiap tahunnya mungkin saya gak pernah absen untuk datang ke Jogja. Entah itu untuk berlibur, transit aja, meeting point kegiatan, atau ada acara. Seiring bertambahnya teman di Jogja jugalah, intensitas saya ke kota itu bisa dikatakan lumayan meningkat. Jogja, memang menyajikan keindahannya tersendiri. Dia selalu bisa membuat saya datang lagi dan lagi. Padahal nih, beberapa tempat di Jogja dan sekitarnya yang lagi hits pada jamannya, sudah saya datangi. Eeeeehhh, sampai sekarang selalu saya datangi lagi. Tempat yang sudah saya datangi ini saya kunjungi lagi karena suatu alasan nganterin teman-teman. Terkadang, ada aja mereka suka nanya, ini dan ini bagus mana, kita ke yang ini aja atau gimana, yaudaaahh nanti Farah aja yaaah yang kasih tau tempatnya (pinta mereka) haha.


* * *


Jum'at, 22 September 2017, saya dan adik tiba di Yogyakarta setelah perjalanan yang cukup menguras tenaga. Kami berdua habis hiking dari Gunung Rinjani kemaren harinya. mungkin bisa dibaca di sini (Gunung Rinjani). Kami ke Jogja dari Lombok menggunakan pesawat, namun dengan tujuan ke Surabaya. Setelah itu dilanjutkan naik bus EKA - eksekutif AC (Rp 103.000) dari Terminal Purabaya (Bungurasih) ke Terminal Giwangan - Jogja. Benar-benar minggu itu adalah minggu penuh petualangan, haha!

Di Jogja, kami bertemu dengan 3 (tiga) teman kami, yaitu: Hara, Sandy, dan Arly; untuk berlibur bersama selama 2-3 hari. Tempat yang kami kunjungi pastinya yaaaaa yang pernah teman-teman kunjungi, kok. Kami pergi ke Pantai Ngrenehan dan Pantai Ngetun di Gunungkidul, Bakmi Pak Pele di Malioboro, Taman Sari, Hutan Pinus Mangunan, Hutan Pinus Pengger, Candi Ratu Boko, dan Es Krim Tempo Gelato. Terus juga saya dan adik menyempatkan ketemu teman-teman yang hiking ke Rinjani kemaren di basecamp DMA Jogja (ketemu Bang Dio, Mas Ruben, Anthon, dan Mas Dimas), dan di hari terakhir hanya keliling-keliling Malioboro dan Pasar Bringharjo saja.


1. Pantai Ngrenehan (Gunungkidul)










Dari kota Jogja menuju pantai ini, lama perjalanannya adalah sekitar 2 jam. Sebenarnya, banyak sekali pantai-pantai di sepanjang Gunungkidul. Pantai ini jelas masuk wilayah pantai selatan yaaa. Sebelumnya, saya sudah pernah ke pantai lain di daerah Gunungkidul tahun 2013 lalu, namun bukan ke Pantai Ngrenehan ini. Nahh, review untuk pantai Ngrenehan ini adalah pantainya bersih bukan main, pasirnya masih halus, dan masih ada sebagian pasir putihnya. Kemudian juga tempatnya sepi, jadi cocok untuk teman-teman yang memang ingin menikmati pantai rasa milik pribadi hehe. Konon katanya nih, pantai ini masih perawan alias belum banyak disinggahi turis. That's why pantainya sunyi dan sepi banget!

2. Pantai Ngetun

Setelah dari Pantai Ngrenehan yang sepi berasa pantai punya sendiri, spot kedua yang kami singgahi adalah Pantai Ngetun. Karena hari sudah mendekati maghrib, rencananya mau lihat sunset di pantai lain terdekat dan bagus. Jadilah kami pergi menuju Pantai Timang yang hits di Instagram itu (ada gondola gitu buat nyebrang ke bukit/batu karang di seberangnya). Ehhh, pas udah sampai nih, ternyata harus masuk lagi naik ojeg Rp 50.000 (entah sekali jalan atau PP). Terus juga, harga naik gondolanya itu kena biaya Rp 100.000/orang. Akhirnya, kami gak jadi masuk karena mahalnya harga yang ditawarkan (yaiyalaaahhh!).

Sedikit informasi aja nih, setiap pantai biasanya ada tempat parkirnya masing-masing. Harga parkiran waktu saya ke sana itu adalah Rp 5000/mobil. Kemudian, untuk bisa masuk ke setiap pantai, biasanya ada pos/tempat untuk beli tiket masuknya. Yang perlu diketahui, untuk masuk ke seluruh pantai di sepanjang Gunungkidul ini tidak hanya sekali membayar tiket, namun setiap wilayah mempunyai pos-pos tersendiri untuk menjual tiket masuk.

Okeh, lanjut mengenai Pantai Ngetun. Karena alasan mahal tadi itu, kami pun mencari lagi pantai terdekat dari Pantai Timang ini. Hari benar-benar mulai gelap. Sunset bahkan sudah tidak menampakkan kecantikannya karena the golden hour of sunset-nya sepertinya sudah lewat. Mungkin beberapa belas menit lagi sudah melewati pukul enam sore.


3. Bakmi Pak Pele

Malamnya, kami berencana untuk makan malam di Sate Klathak Pak Pong di daerah Bantul. Dari Pantai Ngetun ini kira-kira 1.5 jam lama perjalanannya. Setelah sampai di tempat, masuklah kami ke rumah makan tersebut, lalu memesan sate, dan .... TIDAAAAAAKKK!!! Kata "mbak"-nya, kami baru bisa makan satenya 2 jam kemudian setelah pemesanan gegara banyak yang pesan.

Kami gak mau berlama-lama nunggu di tempat ini dan putar otak mencari makanan yang lagi hits lainnya. Akhirnya, kami move to another place ke daerah Alun-Alun Utara Kraton Yogyakarta. Setelah sampai sana, ternyata kami harus ngantri juga selama 2 jam untuk bisa makan hahahahahahaha yasudahlah!


Dua jam berlalu dan benar saja, makanan kami pun datang. Saya memesan bakmi putih kuah yang enak banget. Harganya (kalau gak salah yaaa, maaf nih) Rp 19.000 dan juga memesan es teh manis dengan harga Rp 3000 saja. Kemudian, dengan porsi yang dikit (hahaha, kayaknya memang saya lagi kelaparan aja ini mah, sebenarnya porsinya banyak) membuat saya ingin menambah lagi. Dengan keadaan lokasi berjualan yang pas di Alun-Alun Utara seperti ini, pantas saja Bakmi Pak Pele ini laku dan bisa ngantri hingga berjam-jam seperti saya ini. Suasana Alun-Alun Utara yang sejuk di malam hari dan ramai oleh pengunjung wisata, membuat saya menyukai tempat ini.








4. Taman Sari

Hari kedua di Jogja; Sabtu, 23 September 2017, saya dan teman-teman kembali melanjutkan liburan kami di sekitaran  kota Jogja. Khusus bagi saya, saya mengunjungi tempat yang selalu saya kunjungi alias gak pernah absen kalau ke Jogja. Sampai hafal sudut-sudut dari tempat tersebut. Ya, Taman Sari! Saya gak pernah bosan berkunjung ke Taman Sari. Ada saja foto dari sisi lain tempat ini yang saya tangkap dengan moment yang berbeda dari tahun ke tahun pastinya.

Harga tiket masuk ke Taman Sari adalah Rp 5000 (correct me if I'm wrong) dan karena saya membawa kamera mirrorless, jadi saya harus membayar tambahan tiket khusus "izin video/foto" seharga Rp 2000

Masih dengan suasana dan arsitektur yang sama dari tahun ke tahunnya, Taman Sari selalu membuat saya seolah kembali ke masa silam di mana terdapat suatu kehidupan kerajaan di dalamnya. Sejujurnya, saya gak pernah memakai jasa guide selama ke Taman Sari. Namun, terkadang, saking banyaknya guide yang lalu lalang membawa para turisnya, saya suka mendengar penjelasan si guide kepada para turis. Jadi, setidaknya saya tahu kisah apa yang terjadi dahulu di sini.















5. Hutan Pinus Mangunan

Setelah ajang foto-foto di Taman Sari, perjalanan kami lanjutkan ke daerah luar kota Jogja. Kali ini, kami akan mengunjungi tempat yang lagi hits di Instagram, yaitu Hutan Pinus Mangunan dan Pengger. Sebenarnya banyak tempat di hutan pinus tersebut. Namun, kami hanya mengunjungi dua tempat saja.

Untuk masuk ke Hutan Pinus Mangunan, teman-teman cukup mengeluarkan kocek sebesar Rp 2500/orang dan biaya parkir seperti biasa Rp 5000/mobil. Murah, kan? Nantinya, teman-teman akan disuguhi pemandangan pepohonan pinus yang menjulang serasa sedang di hutan beneran (hahaha gak beneran deng, karena sudah ramai turis). Tempatnya bagus banget dan asri! Cocok bagi yang suka motret lansekap, selfie, ataupun foto bersama. Untuk foto prewedding juga oke!

















6. Hutan Pinus Pengger

Yuuuk, ke hutan pinus selanjutnya di Pengger. Nah, untuk ke Hutan Pinus Pengger ini, teman-teman masih harus mengendarai mobil/motor karena jaraknya yang lumayan jauh yaa dari Mangunan. Jauh dalam arti kalau untuk di bawa berjalan kaki sepertinya yaaa memang kejauhan. Lama perjalanan apabila menggunakan kendaraan adalah sekitar 20-30 menit saja. Nahh, untuk biaya parkir masih sama, yaitu Rp 5000/mobil.

Masih sama dengan yang sebelumnya, kawasan tersebut juga masih sama-sama berupa pepohonan pinus yang asri. Bedanya, di sini lebih instagramable, lho! Ada bangunan berbentuk sarang burung di mana orang-orang bisa foto di dalamnya, juga ada banyak Mas-Mas yang menjajakan hammock untuk dijadikan spot foto yang oke. Kayak apa sih hasil fotonya?











7. Candi Ratu Boko

Seperti Taman Sari, Candi Ratu Boko juga menjadi tempat yang gak pernah absen untuk saya datangi. Walau candi di Ratu Boko tidak sebanyak di Prambanan yang masih satu komplek juga, namun saya lebih suka ke Ratu Boko untuk memburu sunset. Kalau untuk mengambil foto arsitektur candi-candi itu sendiri sih memang prefer ke Prambanan atau Borobodur. Karena sempat gagal mencari sunset di pantai kemaren, hari ini di Candi Ratu Boko, saya mendapatkan the golden hour of sunset, lho!







8. Es Krim Tempo Gelato

Siapa yang suka es kriiiiimmm? Ahhh, saya rasa gak ada orang yang gak suka makan es krim ya! Atau malah ada? Waaahh, sayang banget kalau sampai ada orang yang anti makan es krim. Menurut saya, camilan di waktu luang selain biskuit atau cokelat, es krim takjub membuat diri ini terlena dan bisa menambah mood lagi, lho!

Malam ini setelah dari Candi Ratu Boko, kami pun bergegas menuju Es Krim Tempo Gelato yang berada di Jalan Prawirotaman, kota Jogja. Niat awal, kemaren malam di hari pertama saya datang ke Jogja (hari Jum'at), tadinya mau mengunjungi Tempo Gelato untuk kongkow dan makan es krim yang katanya murah meriah. Karena semalam harus menghabiskan waktu berjam-jam ngantre makanan di Bakmi Pak Pele, akhirnya kami gak jadi makan es krim di Tempo Gelato.

Okay, datanglah kami setelah melihat sunset di Ratu Boko sekitar pukul 20.00 WIB. Untuk info aja nih, jadi kami kompakan membeli yang cup (yang standard, yaa) dengan harga Rp 20.000 yang berisi 2 (dua) scoops. Karena bisa 2 rasa, saya sendiri memesan es krim dengan rasa buah kiwi dan green tea (hijau-hijau, eeeuuy!). Coba banyangin, makan es krim 2 scoops terus harganya cuma Rp 20.000 aja, dan cup-nya lumayan besar. Murah, kan?

(http://paketwisatajogja75.com/paket-tour-jogja-11-tempat-ice-cream-di-jogja-yang-bisa-membuat-harimu-menjad-ceria/)
Berhubung tidak ada foto es krimnya seperti apa, saya ambil foto dari Google, namun tetap menaruh link asli di foto tersebut. Sudah izin yaaa berarti hehe.

Malam harinya, saya menyempatkan diri untuk bertemu teman-teman di Rinjani kemaren. Ada Anthon, Bang Dio, dan Mas Ruben yang berada di basecamp DMA. Oiah, ketemu Mas Dimas juga lho sebagai pemilik DMA Jogja haha. Senang banget bisa ketemu mereka yang padahal sehari sebelum ke Jogja baru saja pulang dari Rinjani.






* * *


Itu tadi adalah kilas balik cerita saya ke kota Jogja, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Seminggu itu adalah minggu yang paling hectic yang pernah saya lalui, namun terbayar dengan bertemunya saya pada petualangan yang hebat di Gunung Rinjani dan diakhiri dengan perjalanan yang indah di DIY.

Tapi sungguh, baru kali ini saya mendaki gunung, pulangnya langsung lanjut liburan lagi, entah itu wisata alam lagi atau wisata kuliner. Herannya, saya tidak merasa hibernasi dan kelelahan yang akut. Lelah mah pasti ada yaaa, namanya juga mendaki. Namun, kelelahan kali ini masih bisa ditawar-tawar dengan cara menambah liburan lagi haha.

Yogyakarta selalu menyimpan daya tariknya sendiri khususnya pada saya. Sedikit-dikit ke Jogja, apa-apa ke Jogja. Pernah tinggal 2-3 hari di sekitaran Malioboro sendiri tidak dengan siapa-siapa, tepatnya di Jl. Sosrowijayan untuk sekadar nge-refresh diri. Pengalaman solo travel yang menyenangkan kala itu. Yaa, Jogja sungguh menyihir saya lagi dan lagi. Seolah cocok dengan tipe kepribadian saya yang lincah, supel, dan sedikit tertutup. Menyukai kedamaian dan ketenangan, tetapi tetap ada keramaian (nah lho, gimana coba maksudnya?). Tidak pernah kehabisan alasan untuk bisa pergi ke Jogja, karena Jogja dan sekitarnya memang menyajikan keindahan alam dan kearifan lokal yang terus melekat pada diri saya, selamanya.






* * *