Latest Posts

Depok 2023



Draft ini tertulis tanggal 28 Agustus 2023 dan akhirnya, hari ini pada waktu sore, pelan-pelan saya pun melanjutkan isian dari draft ini. Rasanya tidak seluwes dahulu kala. Masih canggung menggunakan (lagi) Blogger ini. Sesekali buka tampilan postingan sebelumnya sebagai "bahan contekan" agar tahu template yang sudah-sudah, tuh, bagaimana. Melihat lagi gaya bahasa yang saya pakai, merasakan kembali atmosfer tiap-tiap kisah saya dahulu, biar ke depannya sudah khatam. Ya, ampun! Blog ini, kan, tulisan saya sendiri. Kok, jadi belajar dari awal lagi, ya!?

Berawal dari kembalinya saya ke hobi lama, yaitu membaca buku, yang mana hampir satu bulan ke belakang ini saya lakukan. Dalam kurun waktu tersebut, saya sudah banyak membeli buku-buku, baik yang baru maupun preloved. Dengan membaca banyaknya buku, secara otomatis, ada gagasan-gagasan yang ingin saya simpan dan bagi, pastinya lewat tulisan. Untuk itulah, blog saya yang lima tahun lalu terakhir dibuka, kini insyaAllah saya aktifkan lagi.

Dari dulu, menulis bagi saya seperti bisa mengurangi atau bahkan dapat melepas si pasukan-pasukan stress yang ada di tubuh dan pikiran saya. Menumpahkan segalanya dalam menulis itu sudah saya lakukan sejak SD. Kalau dulu ada namanya buku diary (yang pakai gembok itu, lho!). Selama ini yang sudah-sudah (ketika tidak lagi aktif di blogger 5 tahun ke belakang), saya menulisnya di Instagram story. Apapun yang terlintas dibenak saya, baik opini ataupun berbagi pengalaman, pasti saya tulis di "IG story". 

Selain itu, ke depannya insyaAllah saya akan giat menulis tentang perkembangan tumbuh-kembang kedua anak-anak saya, menulis tentang keluarga kecil kami, mengisahkan hal apapun yang menurut saya pantas untuk dibagi, dan semata-semata ini akan menjadi kenang-kenangan untuk anak-anak saya kelak, sekaligus menjadi sebuah karya yang mana paling tidak hobi menulis saya ini tidak berhenti begitu saja. Akan terus ada sampai akhirnya tugas saya selesai d dunia.



Jadi, selamat menikmati tulisan-tulisan saya lagi, ya!



***

Ciremai 2018



Sudah masuk di bulan ke lima, nih! Baru saja turun dari Prau sekitar 3 (tiga) minggu lalu di bulan April dan belum genap 1 (satu) bulan, saya harus kembali menyiapkan segala perlengkapan pendakian untuk hiking lagi. Nah, di bulan ini, saya akan pergi mendaki ke gunung yang sebenarnya saya tidak pernah masukkan namanya di list gunung yang saya inginkan, bahkan tidak pernah terngiang untuk datang ke sana. Lebih ke biasa-biasa saja.

Ya, Ciremai! Sama halnya dengan Kerinci yang tidak ada kepikiran untuk "mau" ke sana (Kerinci) karena itu adalah gunung api tertinggi dengan cerita di mana jalurnya super "oke", membuat saya belum memasukkan Kerinci ke cita-cita saya saat itu. Hanya "belum" bukan "tidak akan pernah mau", hingga suatu hari akhirnya datang juga saya mendaki ke sana hehe. Untuk Ciremai ini, entah mengapa saya tidak pernah ada bayangan untuk mendaki ke sana. Saya pernah berkata bahwa saya biasa-biasa saja untuk mendaki ke gunung-gunung di Jawa Barat. Sampai suatu ketika, terjadilah kisah di mana saya mendaki juga ke gunung ini haha.


* * *


Seminggu sebelum keberangkatan, seperti biasa, selalu saja ada rencana-rencana perjalanan yang terlontar dari tiap-tiap anggota grup. Awal mulanya, seseorang mencetuskan untuk jalan-jalan ke Gunung Parang untuk climbing nge-via ferrata di sana. Sampai akhirnya, ada yang nyeletuk ke Gunung Ciremai. Jadilah pada akhirnya kesepakatan grup pun pergi ke sana.

Hingga 3 (tiga) hari kemudian dari saat diputuskan, saya belum bisa memastikan akan ikut atau tidak karena kondisi badan sedang tidak oke. Sejujurnya, saya "ingin sekali" nanjak lagi di bulan ini. Namun, apa daya, badan ini sedang tidak berteman dulu haha. Sampai akhirnya, 2 (dua) teman saya mengontak saya secara personal untuk ikut bersama mereka. Bang Tomo dan Taufik yang tetap mengajak saya secara pelan-pelan tapi "genjot" juga agar saya ikut haha.


Singkat cerita, seperti biasa, saya selalu dadakan dalam memutuskan untuk bepergian. Akhirnya, saya pun pergi juga hiking ke Ciremai. Suatu tempat yang tidak pernah saya bayangkan akan berada di sana nantinya. Yang katanya tekenal akan "Samudra Awan"-nya. So, excited lho sebenarnya dari awal ada rencana ke sana di grup. Saya pun heran, mengapa jadi semangat ke Ciremai yang padahal dulu tidak ada kepikiran ingin ke sana.


Barang-barang yang saya bawa sangking sudah seringnya naik, saya tidak lagi terlalu sibuk mencari dan menyiapkan perlengkapan seperti dahulu kala. Malah, saya menyiapkan ini semua beberapa jam sebelum pergi ke meeting point. Pendakian kali ini pun sama seperti di pendakian sebelumnya (Lawu dan Prau), hanya membawa daypack saja. Yap! Se-simple itu.





Tiba di Rumah Firman

"Assalamu 'alaykum...!" sapaku dan Bang Jeason saat tiba di rumah Firman. Terlihat sudah ada beberapa teman-teman saya yang berkumpul di sana.

"Wa 'alaykum salaam...!" jawab mereka semua. Rupanya, sudah ada Bang Joe, Beta, Tri, dan Firman di teras itu.

"Ehhhh, Bang Jeason! Yukkk Bang ikut!" seru Firman menyapa Bang Jeason.

"Hahah, ohh enggak, ini nganter dia aja, nih." jawabnya.

"Laah, mau aja lu Bang disuruh-suruh Farah hahahaha..." canda Beta kepada saya dan Bang Jeason.


Kami semua berkumpul sembari menunggu teman-temann yang sedang menuju ke rumah Firman. Sambil menunggu mereka semua, kami berbincang-bincang sekaligus packing ulang di teras. Hingga satu per satu dari yang lain pun tiba. Semuanya telah lengkap hadir di sini. Masih dengan kegiatan sibuk memberes-bereskan perlengakapan. Dipindahkannya barang ini dan itu dari satu tempat ke tempat lain. Berkompromi siapa yang akan membawa tas yang ini dan yang itu. Yaaa, seperti itulah tim. Tetap harus kompak dan saling bahu-membahu menolong segala kebutuhan timnya.



Jakarta - Kuningan (basecamp)

Tas-tas dan segala perlengkapan logistik dan lainnya yang akan di bawa ke sana telah dimasukkan ke bagasi kedua mobil yang akan membawa kami ke Kuningan. Pembagian siapa-siapa saja yang akan duduk di kedua mobil tersebut pun sudah dibagikan. Saya, Riani, Taufik, Firman, dan Tri di mobil Tri; kemudian Beta, Bang Joe, Bang Iip, Bang Tomo, dan Resta di mobil satunya. Kami pun siap meluncur dengan segala bekal camilan di dalam mobil. Jam 11 malam, mobil pun masuk ke dalam tol JORR berangkat menuju Kuningan.

Keadaan ruas jalan tol JORR malam ini macet hingga setelah exit tol Jati Asih. Ada sedikit perbaikan jalan di sana yang membuat banyak mobil melaju dengan tersendat. Kami pun keluar di exit tol Kalimalang menuju Bekais Timur untuk menjemput Taufik di sana. Nantinya, mobil akan masuk kembali ke dalam tol Cikampek menuju tol Cipali.

Perjalanan yang cukup melelahkan pastinya, apalagi bagi para driver. Di mobil ini, beberapa kali Taufik dan Tri bergantian menyupir karena sangking lelahnya mereka dari pekerjaan mereka masing-masing. Beberapa kali kami mampir di rest area untuk beristirahat, supaya menghindari hal yang tidak diinginkan di jalan tentunya.


* * *


Setelah semalaman kami di jalan karena beberapa hal, Sabtu, 12 Mei 2018 sekitar jam enam pagi, kami tiba di basecamp Palutungan, Taman Nasional Gunung Ciremai. Benar-benar perjalanan yang panjang menuju kota Kuningan. Saya pikir, untuk bisa ke daerah Cirebon dan sekitarnya, bisa ditempuh dalam waktu singkat. Yaaa, paling 4 jam saja juga sampai. Nyatanya, butuh waktu sekitar 7 (tujuh) jam untuk bisa sampai di sini. Wooowww!!!

Sayang sekali, mobil yang satu masih belum juga tiba. Kami memarkir duluan mobil kami di tempat ini. Parkiran di sini cukup luas. Dengan biaya Rp 30.000, kami sudah bisa menitipkan mobil kami hingga pulang nanti. Satu lagi, bapak parkirnya pun sungguh ramah sekali. Senang bila disambut dengan orang-orang yang ramah seperti beliau.

Ketika kami menghubungi mereka, ternyata, mereka masih belum juga keluar dari tol, lho! Sementara jarak dari tol ke sini pun cukup jauh. Harus melewati kota Kuningan terlebih dahulu pastinya. Hingga selang 2 (dua) jam kemudian, mobil yang ditumpangi oleh teman-teman lainnya pun tiba. Kami pun segera bergegas menurunkan barang-barang dari bagasi, mengambil baju dan perlengkapan lainnya untuk bergantian mandi.



Basecamp Gunung Ciremai via Palutungan

Tersedia fasilitas kamar mandi dan toilet umum di sini. Keadaan bangunan dan isinya pun sangat bersih. Air yang disediakan ada air hangat dan air biasa (dingin). Untuk mandi air hangat, temna-teman harus mengeluarkan kocek sebesar Rp 10.000, sementara untuk mandi air dingin (seingat saya) Rp 4000. Untuk buang air besar Rp 4000 dan buang air kecil Rp 2000. Sungguh tempat mandi yang jauh dari kata kotor. Sangat bersih sanitasinya di sini.

Oiah, saya lupa memberitahu bahwa harga tiket masuk TNGC ini kenakan biaya sebesar Rp 50.000,-. Nantinya, teman-teman akan diberi 3 (tiga) buah warna tiket yang berbeda oleh petugas loket. Harga yang tertera sudah termasuk biaya masuk tiket taman nasional, asuransi untuk kita, dan biaya pengelolaan dan kebersihan taman nasional yaaa! Memang sih, awalnya saya sempat kaget saat sebelum pergi ke sini, saya sudah mencari tahu mengenai TNGC ini. Waaah, harga yang "fantastis" juga, yaaa! Tapi bila dibandingkan masuk TNGGP, masuk ke TNGC sih belum seberapa mahalnya hehe.

Ada lagi nih yang menarik dari TNGC, sama halnya seperti TNBTS, teman-teman akan diberikan beberapa buah plastik sampah ukuran besar berwarna oranye (ini saat kami yaaa). Saat teman-teman melakukan regitrasi di loket, teman-teman akan diberi instruksi dan info mengenai jalur-jalur pendakian, pos-pos/check points yang tersedia, direkomendasikan harus berkemah di sebelah mana, hingga disuruh untuk membawa kembali sampah kita masing-masing saat turun ke basecamp. That's why he gave us trash bags.

Yang saya suka dari TNGC ini adalah petugas loketnya yang super ramah dan humoris, bisa membawa para pengunjung terasa nyaman saat mendaftar serta mencairkan suasana. Kemudian, beliau menjelaskan secara rinci mengenai pendakian ke Gunung Ciremai ini kepada para pendaki. Lalu ada lagi yang saya suka, diberikannya peta pendakian yang bagus (menurut saya)! Berwarna dan sangat jelas infonya di dalam kertas tersebut. Waahh, pokoknya salut sama TNGC ini! Mana warna trash bags-nya meuni oranye daaa... hahaha.



Mulai Mendaki

Pukul 08.50 pagi, kami start dari basecamp jalur Palutungan untuk mendaki. Pagi yang cerah dan sejuk. Yap, it's a sunny day here! Untuk bisa menemukan pintu gerbang TNGC via Palutungan (bukan basecamp), kami harus berjalan melewati perumahan warga, masjid, dan warung-warung sekitar dengan jalanan menanjak. Sesudahnya, kami menyusuri ladang-ladang para warga dan menemukan para petani yang sedang bekerja.

Saat kami sedang fokus-fokusnya pada jalan yang berdebu dan tanah yang gembur, ada pak tani yang memberikan buah berwarna oranye (bukan tomat apalagi wortel) kepada kami (kebetulan Bang Tomo yang mewakilkan). Benar-benar di sini orang-orangnya sungguh ramah terhadap pengunjung. Senang gak, sih? hahaha

Mentari pagi ini ikut senang menyapa kami dengan muncul secara terang-terangan. Dia tidak malu untuk memperlihatkan dirinya dari balik awan. Udara sekitar juga pas dengan suasana pedesaan yang kita lalui. Selain ladang, banyak ditemukannya peternakan sapi perah di sini. Waaaahh, sapi perah yang berkulit "hitam-putih" di sini sangat besar-besar dan tinggi! Bersih-bersih dan nampaknya sehat, ya?! Saya rasa perkampungan di sini makmur dengan segala penghasilan sawah/kebun dan ternaknya. Hebat!



Pintu Gerbang Jalur Palutungan

Sekitar 15 menit berjalan, nantinya, teman-teman akan bertemu dengan gapura atau pintu masuk jalur pendakian Gunung Ciremai via Palutungan dengan desainnya yang khas. Terlihat bentuk silang di atas gapura yang seperti lambang rumah ada Bugis dan rumah-rumah di sekitaran Sumatera Selatan (saat saya berkunjung ke Kerinci) yang punya tanda silang di bagian atap bangunannya. Kemudian ada patung hewan primata di sebelah kanan lambang silang tadi. Gapura yang bagus dengan latar belakang hutan pinus Gunung Ciremai.

Kaki kami terhenti sementara di sini untuk mengambil beberapa gambar dan berfoto ria. Oiah, saya dan Bang Tomo juga sempat memakan buah yang diberikan Pak Tani tadi. Entah saya tidak tahu buah apa ini. Warnanya oranye dan manis. Bukan labu, bukan pula tomat. I didn't know!



Check Point-1

Puas menikmati pemandangan di sekitaran pintu gerbang dengan ajang berfoto-foto, kami semua melanjutkan pendakian menuju tempat berikutnya. Naahh, dari pintu gerbang tadi, nantinya teman-teman akan bertemu dengan tanjakan yang "cukup" panjang. Dari pintu tadi, lurus sedikit lalu berbelok ke kiri dan menanjak. Teruuuuusss saja menanjak hingga akhirnya teman-teman bertemu dengan area yang luas dan asri. Yeah, hutan pinus!

Pagi itu pukul 09.30, memasuki area hutan pinus seperti ini adalah aroma terapi bagi saya. Selalu suka dengan keindahan hutan pinus di setiap hutan-hutan/gunung-gunung yang pernah saya jumpai. Sayangnya, saat di Merbabu via Suwanting, saya mendapati hutan pinus dalam keadaan berkabut. Bertemu lagi dengan kawasan hutan pinus saat hiking ke Gunung Lawu via Tambak. Woooowww, hutan pinus di sana cantiiiiikkk!! Kali ini tidak berkabut karena saya menjumpainya saat pagi hari. Di mana embun terasa di sekitaran dan udara sangat sejuk.

Kali ke sekian bisa melihat area pepohonan pinus seperti ini sungguh menyenangkan. Segera berlarian mendatangi pohon-pohon tersebut. Pohon pinus sungguh membius bagi saya. Ranting-ranting tipisnya yang terlihat ringkih dengan batang pohonnya yang menjulang tinggi, serta perpaduan warna daun antara hijau kekuning-kuningan, semakin membuat saya bersemangat untuk menjelajah di sini, mengambil gambar pohon-pohon, dan pastinya berimajinasi (bukan Farah namanya kalau gak sering mengkhayal) hahaha.

Seperti yang sudah-sudah, kami segera mengambil foto kembali karena lokasi kami saat ini jauh lebih cantik. Kami berfoto dengan latar belakang papan selamat datang. Tempat ini sangat terjaga keasriannya. Ada pondokan di sebelah kiri jalur. Benar-benar tempat yang enak untuk sekadar berkemah.



* * *


Perjalanan dari area pepohonan pinus tadi menuju Pos-1 masih bisa dikatakan landai. Walaupun ada menanjak, yaaa hanya tanjakan biasa. Kontur jalur masih berupa tanah padat dan suasana sekitar adalah sudah masuk hutan. Terlihat pepohonan besar dan rindang di sini (yaiyaalaaahh, kan hutan). Sesekali teduh, sesekali sinar matahari berhasil lolos menyinari kami dengan sinarnya yang terik. Area sepanjang menuju Pos-1 terbilang bersih. Sejauh ini, saya suka jalur pendakian Palutungan. Berkali-kali saya berucap kagum dengan jalur Palutungan yang sejuk dan bersih.

Selain area hutan yang terkadang teduh dan menyengat tadi, nantinya, teman-teman akan melewati area yang lembab berupa sungai-sungai kecil setelah turunan, dan kembali menanjak. Setelah menanjak tadi, kaki terus dihadapi oleh jalanan yang landai dan sesekali menanjak dengan kontur bebatuan kecil yang masih berupa tanah.

Saya yang saat masuk hutan sudah mencari-cari adakah hewan primata seperti Owa Jawa, Lutung, atau mungkin Siamang. Bertanya-tanya ke tim, juga bertanya-tanya ke diri sendiri, hingga pada ketika saya tiba di suatu pondokan, terdapat sebuah plang di sebelah kiri jalur yang bertuliskan Habitat Lutung Jawa. Waaaahhh, sungguh mengejutkan! Ada Lutung Jawa di sekitaran sini. Sementara ini, sih, suaranya belum terdengar. Mungkin nanti, saat semakin masuk ke dalam hutan.



Pos-1 (Cigowong)

Sekitar 2.5 jam berlalu, kami kembali lagi disambut oleh pintu masuk yang unik saat memasuki Pos-1. MasyaAllaaahh.... Beneran seluas ini campsite di Pos-1??? Saya yang baru datang kala itu pukul 11.30 pagi terheran-heran dengan area Pos-1 ini. Berada di ketinggian 1.450 mdpl, membuat warga masih bisa datang menjualkan dagangannya. Terdapat banyak fasilitas di sini hahaha (jangan disamakan dengan fasilitas bintang lima tapinya). Sebelah kiri terdapat warung the one and only di Pos-1, bahkan di sepanjang jalur hingga ke puncak nanti. Kemudian ada sumber mata air yang super bersih dan enak banget ketika diteguk. Di depan sumber mata air ada musholla yang cukup besar, sementara di ujung bawah sana, ada toilet umum. Sisanya, di tanah-tanah yang luas ini, teman-teman bisa membuka tenda barangkali akan bermalam di sini. The best!

Setelah melalui trek panjang dari bawah hingga Pos-1 ini, kami segera mencari tempat untuk duduk dan makan di warung. Pos-1 terkenal akan semangkanya yang segarnya bukan main. Semangka yang cukup besar dan panjang. Harga yang diberikan sebesar Rp 5000,- sementara untuk gorengan (bala-bala) dengan saos sambalnya yang lejit abiiiisss, teman-teman cukup mengeluarkan uang sebesar Rp 1500,- saja. Beneran, deh, kenyang bangeti!

Puas beristirahat sambil menikmati gorengan dan semangka, serta bekal yang kami bawa, saya menyempatkan untuk shalat dzuhur terlebih dahulu. Naaahh, teman-teman, selama jiwa ini masih diberi kesempatan untuk bernapas, mau sejauh apapun perjalanan dan seribet apapun keadaan, haruskan diri teman-teman untuk beribadah. Kalau saya pribadi, selain karena kewajiban, itu sudah seperti kebiasaan, dan rasanya tidak tenang aja bawaannya kalau tidak shalat. Apalagi, ini di gunung.




Pos-2 (Kuta)

Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk bisa sampai di pos berikutnya dengan ketinggian 1.575 mdpl. Kuta! Yang jelas, Kuta di sini bukan Kuta Bali, ya! Heheh. Yang satu itu sudah pasti terlalu jauh dari Kuningan. Kuta adalah nama lokasi dari Pos-2. Jarak dari Cigowong sendiri ke Kuta hanya sekitar 30 menit saja. Namun, dari Cigowong tadi, jalur sudah mulai menanjak dan sudah mulai terasa sedikit menguras tenaganya dari sini. Nah, karena tempatnya yang hanya "sekelewat" gitu aja, kami tidak ada berhenti di sana. Segera kami melanjutkan perjalanan menuju check point selanjutnya, Pos-3.




Pos-3 (Pangguyangan Badak)

Menuju Pos-3 jalurnya terus saja menanjak dan lumayan melelahkan. Masih seperti dengan jalur-jalur sebelum memasuki pos-pos seblumnya, sepanjang jalurnya masih dengan kontur yang sama yaitu berupa tanah padat yang ditutup oleh dedaunan yang kering. Namun, sejak dari Kuta tadi, sudah mulai didominasi oleh akar-akar pepohonanUntuk bisa tiba di sini, dibutuhkan waktu sekitar 30 s.d. 45 menit dengan ketinggian dataran 1.800 mdpl.

Di sini saya dan beberapa teman hanya duduk sebentar, barang 1-2 menit saja. Itupun hanya membicarakan akan bermalam di pos mana agar dini harinya, saat kami summit tidak terlalu jauh perjalanan. Diputuskanlah sebuah keputusan untuk menenda di Pos-4 saja. So, mumpung hari masih terang, jangan terlalu lama beritirahat di mana-mana.



Pos-4 (Arban)

Semua check points sebelumnya adalah sebuah dataran yang cukup luas hingga bisa memuat banyak tenda untuk didirikan. Nahh, awal rencana ingin bermalam di Pasanggrahan supaya lebih dekat saja ke puncak karena sekarang sudah tidak bisa lagi menenda di Goa Walet. Untuk alasan ini saya kurang tahu, sebab dari awal sudah diinfokan batas menenda hanya sampai Pasanggrahan 1 ataupun 2.

Empat pulu lima menit kemudian kami semua tiba di tanah lapang yang lumayan luas pada ketinggian 2.050 mpdl. Yaaa, tapi memang luas! Arban atau Pos-4 namanya. Namun, bila dibandingkan dengan Pos-3, sebenarnya saya lebih suka lokasi Pos-3 yang benar-benar datar tanpa keimiringan apapun. Di Pos-4 ini, masih ditemukannya kemiringan dari area ini.


Ciremai ini memang tempat tumbuhnya pepohonan pinus, ya! Di mana-mana selalu ditemukan pohon-pohon pinus. Naaahh, yang saya suka lagi nih dari TNGC via Palutungan adalah setiap check points (pos-pos) untuk area camping site-nya pasti di mana tempat pepohonan pinus berada. Beda cerita ketika sedang berada di jalur pendakian, yang terbentang adalah pepohonan besar lainnya (bukan pohon-pohon pinus). Jadi, apakah memang sudah seperti itu di-setiing-nya kah atau bagaimana, entahlah hehe.




* * *


Hari belum terlihat gelap karena waktu masih sekitaran Ashar. Setibanya kami di campsite ini, Bang Joe dan Firman segera membangunkan tiga tenda. Sementara Resta, Taufik, dan Bang Iip menyiapkan makan sore dengan kegiatan masak-memasak. Lain lagi dengan Beta yang sibuk sendiri dari tadi, mengumpulkan beberapa ranting pohon, kayu, dan dedaunan kering untuk dibuat menjadi tumpukan kayu bakar yang nantinya menjadi api unggun. Riani, Tri, dan Bang Tomo terlihat sedang membereskan barang-barang mereka dan sesekali bergantian memasak dengan Taufik yang sedang menggoreng nugget, sosis, dan stik kentang. Hingga saat makanan selesai dimasak, kami memilih untuk menggelar liwetan sore ini. Duuuhhh... Mantep, gak, sih?




"Glamping" Ala-ala

Sore hari dihabiskan dengan berbenah-benah dan menyiapkan makanan, sudahnya kami memilih masuk ke tenda kami masing-masing untuk beristirahat di dalam sembari bercengkrama satu sama lain. Terdapat 3 (tiga) tenda untuk kami bersepuluh orang. Tenda ke-1 di isi oleh Bang Tomo dan Bang Joe serta tas-tas para lelaki. Kemudian di tenda ke-2 ada saya dan Riani. Ini tendanya khusus wanita, ya! Hehe. Lalu, di tenda terakhir dan yang paling besar sendiri di isi oleh Bang Iip, Firman, Beta, Taufik, Tri, dan Resta. Semua tenda dibuat saling berhadap-hadapan dengan bantuan dua flysheet dan tali prusik. Naahh, ini nih serunya berkemah kali ini. Ada yang beda bagi saya seumur-umur berkemah di gunung.

Sudah lama sekali saya menginginkan berkemah yang beda dari sebelumnya. Kalau biasanya setiap hiking lalu bermalam dan membuka tenda, pasti hanya sebagai tempat untuk beristirahat dan tidur karena sangking lelahnya. Berbincang-bincang hangat bersama tim adalah sebuah keharusan bagi saya dan itu selalu saya lakukan setiap kali mendaki. Namun, bermalam di tenda dan bisa bersenda gurau dengan tim hanya "enak" dirasakan ketika mendaki di Rinjani, Guntur, Prau, dan yaaa.... yang ini.

Keinginan berkemah dengan tenang di malam hari yang cerah, dengan taburan bintang-bintang serta dengan udara yang pas (tidak dingin seperti pada umumnya), kemudian membayangkan adanya kegembiraannya dan kehangatan antar tim, akhirnya didapat juga pada malam ini. Hari cerah dengan ratusan juta bintang-bintang, adanya api unggun di depan tenda, berkumpulnya manusia-manusia yang saling tertawa lepas, dan ditambah dengan sentuhan lampu tumblr tenda yang khas, membuat suasana malam ini terasa menyenangkan sekali. Bagaimana tidak, semua imajinasi yang saya khayalkan akhirnya terkabul.

Masih di bawah taburan bintang-bintang di tengah pepohonan pinus yang menyegarkan, malam ini kami terus bercengkrama. Sesekali membuat minuman hangat yang terbuat dari jahe dan gula merah. Beberapa camilan pun disajikan untuk mengganjel perut kami yang pastinya sedikit lapar sejak makan sore terakhir tadi. Topik yang diperbincangkan pun tak lain dan tak bukan adalah mengenai saya (lagi dan lagi) dan Bang Jeason. Mereka semua hobi sekali membuat saya tertawa tentang hal "pernikahan" kami. InsyaAllah!

Kayu dan beberapa dedaunan beberapa kali diganti oleh Beta dan Taufik, mempertahankan nyalanya api. Mereka berdua yang sejak awal selepas maghrib terus berfokus pada api unggun. Seperti seorang penjaga api unggun haha. Saya dan Riani adalah orang-orang yang tersisa di malam ini, memilih mendekat pada api unggun dan sesekali ikut "memainkan" kayu bakar tersebut. Jadilah, hanya kami berempat yang masih bangun. Lainnya, sudah terlelap karena dini hari nanti kami harus summit.

"Kak, masuk yoook! Udah jam 9 malem. Tidur..." ajak Riani.
"Ohh, yukk deh. Udah ngantuk juga gue daritadi. Cuma kadang gak bisa tidur aja." kataku sambil melihat jam di handphone Riani.

Retsleting tenda kami tutup, segera berbenah membuka sleeping bag dan memakai pakaian hangat. Di dalam sini cukup hangat walau terkadang udara dingin masuk melalui celah-celah kecil lapisan tenda. Alhamdulillah, tidak ada hujan malam ini. Semoga bergitu seterusnya hingga besok kami pulang ke basecamp.



Summit Attack

Pos-5 (Tanjakan Asoy) dan Pos-6 (Pasanggrahan)

Terdengar suara beberapa orang sudah bangun dengan suara minyak yang berisik tanda sedang ada yang menggoreng. Yaa, benar saja! Bang Iip dan Resta sedang menggoreng stik kentang untuk sarapan sebelum summit, sementara Bang Joe dan Bang Tomo sedang bersiap-siap. Saya yang di dalam juga berganti pakaian, menggunakan heattech, soft fleece, dan wind breaker untuk muncak nanti. Memasukkan barang-barang yang penting untuk di bawa ke atas sana.

Pukul 03.00 dini hari, kami start menuju puncak. Pos demi pos kami lalui seperti Tanjakan Asoy, Pasanggrahan-1 dan Pasanggrahan-2. Butuh waktu 1 jam untuk melewati pos-pos tersebut. Jalur yang kian menanjak membuat napas agak terengap-engap, walau masih taraf normal. Mungkin, sudah terbiasa summit. Jadi, sudah bisa mengontrol keadaan tubuh dengan udara sekitar.



Pos-7 (Sanghiyang Ropoh)

Selain menanjak, kontur jalurnya juga sudah mulai berupa bebatuan dan akar-akar pohon. Membuat kaki sesekali menyangkut dan tersandung. Maklum, masih gelap. Berikutnya, adalah Pos Sanghiyang Ropoh di ketinggian 2.650 mdpl. Dari Pos-4 tempat kami bermalam hingga sebelum Pos Sanghiyang Ropoh ini, suasananya adalah masih di dalam hutan dengan jalur masih berupa tanah yang sedikit bebatuan dan akar-akar. Sedikit lagi menjelang Sanghiyang Ropoh, suasana berubah. Kita keluar dari hutan atau bisa dikatakan sudah di batas vegetasi. Jalurnya sudah berubah menjadi bebatuan full di mana-mana serta menanjak.

Dari Pasanggrahan menuju Sanghiyang Ropoh cukup lama sekitar 1.5 jam, di mana jalurnya sudah mulai berupa bebatuan besar. Menurut saya ini adalah tempat di mana lava lewat. Terlihat dari kikisan-kikisan bebatuan dan sesekali terdapat sesar atau patahan dari batuan-batuan yang saya temui. Terlihat juga beberapa ada batuan yang super licin dengan kemiringan yang ekstrim. Nantinya, tidak jauh dari Sanghiyang Ropoh, teman-teman akan menemukan persimpangan dari jalur Apuy dan jalur Palutungan ini.



Pos-8 (Goa Walet)

Semakin ke atas sejak lepas dari hutan (batas vegetasi), sudah terlihat tumbuhan cantigi juga edelweiss di mana-mana. Burung Jalak pun juga sudah terbang dan sesekali loncat dari satu daun ke daun lainnya. Cukup memakan waktu sekitar 1 jam dari Persimpangan Apuy ke check Point selanjutnya, yaitu  Goa Walet.

Goa Walet ini ternyata posisinya ada di bawah. Saya kira akan sedataran dengan tempat di mana saya berdiri. Tidak tahunya, harus ke kanan kemudian ke arah bawah. Area yang lumayan luas yang pastinya akan muat banyak tenda di sana. Namun, sayangnya, sudah tidak direkomendasikan lagi oleh pihak TNGC berkemah di sana.

Kalau dipikir-pikir, nih, sepertinya memang enakan bermalam di bawah. Sesuai arahan pak petugas loket, paling oke di Pasanggrahan karena jaraknya yang pas untuk summit attack dini hari, dan masih bisa ke kejar untuk menenda di sana dari basecamp apabila kita nanjak pagi. Tetapi, bermalam di Pos-5 atau Pos-4 juga tidak jadi masalah. Sama enaknya!

Hari semakin pagi, terlihat garis horizon berwarna oranye di ujung sana dengan indahnya. Matahari sudah muncul, tetapi berada di balik gunung ini. Dari sini juga, saya bisa melihat "bayangan segitiga gunung" Ciremai. Sama halnya yang saya dapati di Gunung Rinjani dan Kerinci, bayangan ini sama sempurnanya dengan kedua gunung tersebut.



Puncak!

Dari sini sih, puncak amat sangat terlihat. Tapi kok rasanya jauh sekali! Masih dengan kontur berupa bebatuan yang sesekali harus berpikir untuk ke arah mana kaki ini memijak dan tangan ini memegang karena situasinya yang agak curam untuk dilalui. Sesekali berpegangan dengan batang dedaunan sebagai pegangan. Banyak celah-celah bebatuan besar di sini, sehingga bisa berjalan di antara batu-batu.

Melewati waktu 45 menit dari Goa Walet adalah hal yang ditunggu-tunggu. Seperti yang saya bilang sebelumnya, tumbuhan cantigi dan edelweiss sudah tumbuh di mana-mana, apalagi semakin mendekati puncak. Yaaa, keberadaan kedua tumbuhan itu sepengetahuan saya adalah tanda di mana jarak menuju puncak semakin dekat. Dan benar saja, beberapa langkah lagi, saya akan tiba di atas sana. Puncak Ciremai!

Angin berhembus dengan sejuknya di atas sini. Bau belerang "agak" tercium dan masyaAllah, kawah Gunung Ciremai bisa saya lihat benar-benar depan mata saya! Sungguh besar sekali bibir kawah gunung ini. Yap, 3.078  mdpl! Dari atas sini, semua bentangan alam ciptaan Allah bisa kita lihat dengan puasnya. Gunung Slamet berada di ujung kiri, sementara di depan agak ke kanan terdapat Gunung Cikuray, Gunung Gallunggung, Gunung Guntur, dan gunung-gunung lainnya yang kelihatan sekali dari sini.


* * *


Berfoto-foto adalah kegiatan yang pasti dan "harus" dilakukan oleh para pendaki yang tiba di puncak. Mengabadikan moment atas keberhasilan mereka semua itu seperti ritual. Menikmati pemandangan sembari membuat seduhan kopi dan mengicip camilan demi camilan juga tidak lupa untuk dilakukan. Aaaaaahhh, sungguh pagi yang indah! Menghadap ke arah hamparan gunung-gunung itu berada dengan duduk manis di sini, sambil bercengkrama dengan tim adalah sesuatu yang "enak aja gituhhh!".

Seperti di 2 (dua) gunung sebelumnya, Lawu dan Prau, kali ini saya membawa kembali kamera "gemeshhh" (panggilan anak-anak untuk kamera mini instax 9 saya) yang mana teman-teman tim meminta tolong untuk difotokan menggunakan kamera tersebut. Senang sekali bisa melihat teman-teman terhibur dengan hadirnya kamera ini untuk mengabadikan momen mereka. Kelihatan sekali dari ekspresi wajah mereka yang teramat senang saat memegang hasil film instax ini di mana mereka terus memegang foto mereka seolah enggan ditaruh di dalam tas/kantung pakaian haha.



Turun ke campsite

Setelah puas foto sana-foto sini dan pose sana-pose sini menggunakan kamera saya, Bang Iip, dan Riani, pukul 09.00 pagi, kami memutuskan untuk turun menuju tempat kami berkemah di Arban (Pos-4). Dari sini menuju tenda, untuk saya pribadi memakan waktu sekitar 2.5 s.d. 3 jam di mana sudah termasuk istirahat. Yaaa, lumayan meringkas waktu laaah, yaaa!

Tenda-tenda kami sudah terlihat dari jarak beberapa meter sebelum saya dan Firman tiba. Aaahh, akhirnya sampai juga di sini. Sudah ada Bang Joe, Bang Iip, Resta, Taufik, dan Beta yang sedang berkumpul di tengah tenda-tenda, memakan hidangan yang Bang Iip dan Bang Joe masak. Saya datang dengan gembiranya karena sudah tersedia makan siang di sini. Waaahh, baik sekali teman-temanku ini!

Menu makan siang kali sama seperti menu siang di hari kemarin. Hanya bedanya, kali ini tanpa nasi apalagi liwetan. Kami cuma "menyomot" saja dari wadah yang disediakan. Sayangnya, sejak makan siang kemarin, saya kurang semangat untuk makan. Padahal sajiannya masyaAllah, endang bambang nendaaaaaang!!! Tau karena apa? Sambal! Duuh, sambal itu poin utama kalau udah soal makan hehe. Tapi untuk siang ini, saya tetap saja lahap walau tanpa sambal, habisnya lapar banget hehe.



Turun ke basecamp

Sekitar pukul 14.00, kami turun dari Pos Arban ini. Allah masih memberikan hari yang teramat cerah siang ini. Bahkan, tidak ada sama sekali tanda-tanda akan turun hujan. Untuk turunnya, saya dan tim tanpa sengaja seperti berlari karena memang trek turun enak diajak berlari. Tapi, bukan lari kencang seperti lagi lomba lari, yaaa! Di sini maksudnya, pace-nya dipercepat. Lagipula, tanpa harus disengaja lari, kaki ini dengan sendirinya akan menaikkan kecepatannya sendiri akibat dari jalurnya yang enak saat turun.

Sudah terlihat beberapa bangunan yang lengkap dari sini, tanda itu adalah Pos-1 (Cigowong). Kami turun hanya membutuhkan waktu  sekitar 1 jam. Dari atas tadi, kami semua sudah mengidam-idamkan yang namanya semangka dan khususnya untuk saya, gorengan bala-bala plus sambalnya yang bikin ngiler itu akan menjadi "comotan" paling laris. Sudah terlihat Tri, Riani, dan Bang Joe yang tiba lebih dulu di warung. Kami semua berkumpul kembali menikmati semangka, gorengan, dan teh manis hangat seperti ketika kami datang kemarin di warung ini. Nikmatnyaaaahh!

Puas dengan sajian yang membuat perut berhenti merengek, pukul 15.18 sore kami pun melanjutkan kembali perjalanan ke basecamp. Check point demi check point dilalui dengan amat cepatnya. Masih dengan pace yang cepat, akhirnya kami tiba sekitar 1 jam kemudian di pintu masuk TNGC via Palutungan. Di sini, saya dan beberapa teman berhenti sejenak untuk sekali lagi mengabadikan momen menggunakan kamera gemesshh saya ini. Dengan latar belakang pintu masuk jadilah fotonya seperti ini:

Setelah melalui semua trek di dua hari ini, pukul 17.15 sore, akhirnya kami satu tim tiba dengan keadaan selamat dan aman, tidak ada yang terluka walau sedikitpun. Allah alhamdulillah selalu melindungi kami. Saya segera menghampiri mobil di parkiran untuk membuka bagasi mobil, mengambil pakaian ganti, dan bergegas ke kamar mandi. Wuaaahhh, seger euy mandi! Terasa ringan tubuh ini dan kotoran-kotoran yang melekat di tubuh pun hilang. Terima kasih aiiirrrr (haha apasih)!


* * *


Okaaaayy, itu tadi perjalanan saya dan tim pendakian ke Gunung Ciremai Sabtu 12 Mei s.d. Minggu 13 Mei 2018. Semoga, segala informasi yang saya berikan insyaAllah bermanfaat yaaaa untuk teman-teman yang dalam waktu dekat diberi kesempatan oleh Allah untuk bertafakur alam ke sana. Semoga terlaksana aamiin! Ingat, tetap jaga keselamatan dulu yang terpenting, sehat, dan aman sesama tim. Jangan egois dan dahulukan sikap/sifat kebersamaannya. Namanya juga tim, jadi jangan menang sendiri. Puncak memang tujuan semua orang dan itu gak bisa bohong. Tapi terlalu dikejar tanpa kondisi yang sehat dan baik, lebih baik stop sampai di check point yang terdekat, buka tenda, kemudian istirahat. Tidak dipaksa yaaa teman-teman!



See you on another story, geeeeengggsss!
Wassalamu 'alaykum warohmatullahi wabarokattuh!


























* * *







































Lawu 2018



"Mau jam berapa ke tempat Firman?" tanyaku pada sang adik.
"Jam 4-an kalau bisa sampai sana, keburu sore. Ini juga udah mendung. Takut hujan. Gue pesenin Go-Car, ya, dari sekarang!?" jawabya.


Semua perlengkapan sudah siap untuk saya bawa ke meeting point pendakian kali ini, tepatnya di rumah Firman, persis di belakang polsek Cipayung. Saya dan beberapa teman alumni pendakian Kerinci Januari lalu akan pergi menuju daerah Jawa Tengah dan Timur untuk mendaki ke Gunung Lawu. Acara kali ini sangat berbeda karena kami membuat acara pendakian bersama di mana orang lain bisa mengikuti acara pendakian kami ini.

Sore hari, saya dan beberapa teman sudah berkumpul di rumah Firman sementara peserta lain masih berada di jalan menuju meeting point. Karena kami panitia, jelas harus sudah datang dan menyiapkan segala sesuatunya terlebih dahulu, hingga memikirkan kemungkinan terburuk selama perjalanan ke sana. Yap, the worth case! Pendakian kami ini mengambil waktu long weekend. Alamat akan terkena macet di jalan. Kalaupun macet, kami sebagai panitia harus sudah memiliki plan-B mengenai rundown acaranya.

Pukul 21.00 hari Kamis, 29 Maret 2018, semua panitia lengkap berkumpul dan para peserta sudah datang semuanya. Kami pun siap berangkat menuju Jawa Tengah menggunakan bus yang sudah kami sewa, tepatnya ke rumah teman kami, Fia, sebagai basecamp kami untuk pendakian Gunung Lawu nantinya melalui jalur Tambak.


* * *




Long story short, benar saja, kami terkena force majeure! Alhasil sampailah kami di basecamp jauh dari rencana di rundown kami pada hari Jum'at, 30 Maret 2018. Harusnya, pagi hari tadi kami sudah tiba di sini. Namun, apa daya keadaan di jalan menjadikan kami harus tiba 10 jam lebih lama dari waktu yang ditentukan. Akhirnya, kami pun tiba di rumah Fia pukul 20.00 dalam keadaan di mana hujan malam ini mengguyur sangat derasnya. Saya sempat khawatir, apakah hujan ini akan awet hingga besok pagi, lalu turun lagi di malam berikutnya, atau sebentar lagi sudah selesai. Entahah.

Benar-benar tidak sesuai rencana awal di mana kami akan mendaki layaknya pendakian ke gunung-gunung pada umumnya, di mana kami akan berkemah, membangun tenda, memasak di area camping ground, menikmati sunrise dan sunset, melihat lautan awan, menikmati malam yang penuh bintang-bintang, kemudian bernyanyi atau bercanda-canda sambil memainkan beberapa permainan. Tidak! Di sini akhirnya kami panitia harus memutuskan bahwa acara ini tetap berlangsung (itu sudah pasti) dan tetap membuat keadaan happy walau waktu yang tersedia sangat minim karena Minggu malam, kami semua sudah harus berada di Jakarta lagi.

Kalian tahu keputusan apa yang kami rencanakan, bahkan kami putuskan agar tetap bisa mendaki dan melihat indahnya suasana dari Puncak Hargo Dumilah? Yaaaap! Kami akan "T-E-K-T-O-K!" Waktu kami tidak banyak, jadi kami hanya punya kondisi tektok ke atas puncak kemudian turun kembali ke basecamp dan pulang ke Jakarta.


Pendakian pun di Mulai

Awal mula pendakian kami adalah naik dan turun melewati Cemoro Sewu, sama sekali bukan melalui jalur Tambak. Kemudian, di awal rencana, kami semua akan menginap 2 (dua) hari 1 (satu) malam. Namun, karena force majeure macet itulah kami pun mengganti kegiatan menginap kami menjadi tektok. Lalu, kami juga mengganti rute naik dan turunnya, yaitu naik melalui jalur Tambak (Jawa Tengah) dan turun melalui jalur Cemoro Sewu (Jawa Timur).

Sabtu, 31 Maret 2018 pukul 04.00, kami semua memulai pendakian dengan penuh semangat. Walau apapun yang terjadi kemarin, hari ini harus tetap dilalui dengan suka cita. Yang terpenting, tujuan utama pulang dengan selamat (sebenarnya tujuannya adalah bisa sampai ke Puncak Hargo Dumilah haha) terlaksana. Bukan begitu?

Subuh yang tidak terlalu dingin di sini. Sejak hujan semalam turun di daerah ini dengan amat deras, saya kira sisa-sisa udara dingin akan membekas, atau malah hujan akan terus berlanjut hingga pagi ini. Ternyata, tidak! Subuh yang sejuk bisa kita rasakan saat melewati jalur Tambak. Jalur di mana mulanya kalian akan bertemu dengan gapura besar menuju hutan-hutan pinus yang sangat cantik. Persis hutan-hutan pinus menuju Pos 1 di jalur pendakian Suwanting - Gunung Merbabu.


Pos 1 Tambak

Setelah 3 jam berjalan, teman-teman akan bertemu Pos 1 jalur Tambak ini. Lama sekali ya 3 jam? Sesungguhnya tidak selama itu, kok! Tergantung pace teman-teman saja. Kami teramat menikmati jalur yang benar-benar asri dan indah banget! Benar kata teman saya, Fiah, bahwa jalur di sini masih asri dan belum banyak orang yang lewat. Benar-benar masih "perawan" sekali kalau istilah orang gunung. Belum terjamak para pendaki umumnya. Malahan, jalur ini masih terdengar asing untuk dilewati saat ingin ke puncak sana. Oiah, teman-teman nantinya akan sering menemukan warga yang berladang di hutan pinus ini, lho! Mereka biasanya suka mencari hasil-hasil hutan seperti kayu dan buah-buahan dari hutan ini. Masih terjaga banget, kan?


Pos 2 Tambak

Nah, dari Pos 1 menuju Pos 2 ini tidak terlalu makan waktu yang banyak. Hanya 1 (satu) jam saja dari check point terakhir, teman-teman akan menemukan Pos 2 tersebut berada di kiri jalan, ya! Oiah, Info aja nih, semua Pos 1 sampa dengan Pos 5 memiliki shelter atau dalam bentuk rumah/gubuk. Jadi, teman-teman bisa meneduh di dalam pos-pos tersebut apabila hujan datang di tengah-tengah teman-teman sedang mendaki.


Pos 3 Tambak

Sama halnya dari Pos 1 menuju Pos 2; untuk bisa ke Pos 3, teman-teman tidak perlu memakan waktu yang banyak karena jaraknya yang juga tidak begitu jauh. Kami semua membutuhkan waktu sekitaran 1 sampai dengan 1.5 jam saja untuk bisa sampai di tempat.

Setibanya kami di Pos 3, kami semua tidak langsung melanjutkan perjalanan karena di sini kami akan istirahat terlebih dahulu, membuka bekal makanan yang telah panitia siapkan. Kami semua sarapan pagi, takutnya siang nanti kami sudah tidak sempat membuka bekal.

Sementara menunggu tim sweeper di paling belakang sana, kami megisi kegiatan di Pos 3 ini selain dengan menyantap bekal yang telah disiapkan, kami juga memakan camilan yang kami bawa masing-masing. Beberapa dari kami ada yang mendirikan flysheet dan berkumpul di bawahnya untuk saling menghangatkan tubuh mereka masing-masing. Lainnya, ada yang mengobrol, menghabiskan makanan dengan lahap, berfoto ria (seperti saya dan adik), tidur-tidur ayam, dan mendengarkan musik (karena ada yang memasang portable speaker si antara kami).


Pos 4 Tambak

Sekitar satu jam kami beristirahat, kami semua melanjutkan perjalanan menuju Pos 3. Naah, kali ini perjalanannya lumayan memakan waktu, yaaa! Selepas Pos 3 tadi, teman-teman tidak lagi berada di dalam hutan area pohon pinus atau semacamnya yang sejuk dan terjamin terhindar dari sengatan matahari. Nantinya, teman-teman akan berada di area terbuka yang gampang sekali terkena paparan matahari dan yang pastinya sangat menyengat. Jalur yang akan dilewati semakin kecil, rerumputan dan tumbuhan/semak-semak belukar yang teramat tinggi (bisa sampai setinggi badan kami semua) akan teman-teman dapati, dan semakin ke atas sana, kami harus melewati jalur yang berada di punggungan gunung. Terbayang, bukan, seperti apa panasnya jika berjalan di siang bolong? hehe.

Sekitar 2 jam waktu yang dibutuhkan untuk tiba di Pos 4. Pos 4 jalur Tambak ini posisinya berada di kiri jalan dan di area terbuka. Jadi, teman-teman memang harus memakai topi dan buff, juga sarung tangan agar tubuh teman-teman tidak terbakar! Lokasi Pos 4 sendiri masih berada di area pohon-pohon pinus. Namun, pohon-pohon pinus kali ini banyak yang tidak hijau alias banyak yang mengering. Mungkin, sangking gersangnya di atas sini, pohon pun menjadi kering.


Pos 5 Tambak

Dari Pos 4 ke Pos 5, jalur yang dilewati masih melewati punggungan gunung, sesekali berada di bawah pohon-pohon besar yang lumayan melindungi saya dari teriknya matahari. Jalur Tambak ini benar adanya masih asri sekali, lho! Terlihat ketika sepanjang jalan yang saya lewati memang masih sangat bersih. Jarang sekali, bahkan saya bisa berkata kalau sepanjang jalur Tambak ini sedikit (teramat dikit) ditemukannya sampah yang berserakan.

Untuk bisa ke Pos 5, waktu tempuh yang diperlukan lumayan lama, sekitar 2 jam. Sepanjang jalur menuju Pos 5, teman-teman akan melewati keadaan hutan dengan rumput-rumput basah yang tinggi dan rapat, sedikit sesak, dengan pohon-pohon yang besar di mana akar-akarnya menjalar ke mana-mana. It's a jungle, not a forest! Kemudian, akan ada pohon di mana spot-nya persis jalur akarnya Kerinci. Bedanya, di sini terdapat bunga-bunga yang tumbuh di atasnya berwarna oranye kemerah-merahan. Sungguh cantik!

Setibanya di Pos 5, teman-teman bisa beristirahat terlebih dahulu karena nantinya selepas pos tersebut, tidak ada lagi check point/shelter yang akan melindungi diri kalian jika ada hujan datang. Pos 5 adalah tempat terakhir yang memiliki bangunan berupa pos/gubuk yang layak. Posisi Pos 5 sendiri berada di area terbuka berupa sabana edelweis.


* * *


Waktu semakin sore dan kabut kian turun hampir menutupi jalur. Jarak pandang kadang jelas kadang tidak. Saya tidak berkata Gunung Lawu dalam keadaan cuaca berkabut. Sebaliknya, saya bisa katakan secara general bahwa cuaca selama mendaki sangatlah cerah. Lalu, mengapa menyebut-nyebut kabut? Yeaahh, namanya juga di gunung. Semakin tinggi dataran, semakin banyak kabut, bukan? Dan itu wajar. Sangat bersyukur selama pendakian ini pula, tidak ada hujan deras yang datang menghampiri kami. Yang ada justru sapaan sinar mentari seolah memotivasi kami untuk terus semangat menuju puncak.


Puncak Hargo Dumilah

Seperti yang saya katakan sebelumnya, selepas Pos 5 sudah tidak lagi ditemukannya pondok atau gubuk untuk beristirahat. Jadi, apabila hujan turun, teman-teman sudah dibekali dengan flysheet, tali prusik, jaket, dan pelindung lainnya untuk bertahan sementara.

Suasana jalur dari Pos 5 menuju Puncak Hargo Dumilah ini adalah trek terfavorit saya. Kenapa saya bilang paling favorit? Pertama, teman-teman tidak lagi harus bersempit ria saat melewati suatu jalur seperti yang sudah-sudah. Tidak perlu lagi ribet dengan semak belukar yang tinggi dan basah, kemudian tidak lagi lelah dengan jalanan yang terus menanjak karena selepas Pos 5, jalur menanjaknya hanya dominan di sabana tadi saja. Selebihnya, teman-teman akan disuguhkan dengan variasi tanjakan dan turunan di mana jalannya luaaaaaasss sekali. Ikuti saja terus jalur menuju puncak. Sangat jelas, kok! Saya saja jalan sendirian dan paling depan pula, belum lagi jalur sedikit tertutup kabut. Jadi, harus hati-hati untuk melewatinya. Salah-salah bisa nyasar dan tidak bisa bertemu tim.

Di suatu area yang cukup luas setelah melewati sabana, lalu tanjakan, kemudian turunan, dan akan bertemu dengan seng (saat itu masih ada seng, entah seng dari mana), kemudian ada tanjakan lagi sedikit, dan terus ikuti jalur, hingga akhirnya teman-teman akan menuruni bukit. Teman-teman akan melewati suatu tempat yang luas di mana itu adalah persimpangan atau titik temu dari Cemoro Kandang menuju puncak. Teman-teman nantinya juga akan menemukan papan bertuliskan "bukan jalur umum" atau semacamnya. Tetap saja jalan hingga teman-teman menemukan bebatuan besar di sebelah kanan jalur.

Saya berbelok ke arah kanan di mana patokannya berupa bebatuan besar tadi. Terus saja ikuti jalur  ini, di mana kontur jalan yang akan dilalui berupa bebatuan kerikil. Pepohonan dengan ranting-ranting yang kering semakin mantab sebagai pelengkap suasana di jalur. Bagi yang hobi foto pemandangan atau sekadar "doyan" foto "ala-ala" gitu, spot di sini instragramable juga, lho! Apalagi adanya sedikit sentuhan dari kabut tipis yang turun. Kecehhhhh!

Selang 2.5 jam dari Pos 5, akhirnya pukul 15.24 sore hari, saya tiba bersama Bang Joe terlebih dahulu. Tak berapa lama, datang Bang Yogi dan Kak Sendy, lalu Bang Julham dan keluarga, dan yang terakhir sisa dari seluruh panitia dan peserta tiba 2 jam setelah saya. Woooowwww, sore sekali yaaa! Yap, kira-kira jam 5 sore semuanya yang tersisa di belakang tiba di sini. Akhirnya, semua dari kami selamat sampai di Puncak Hargo Dumilah. Sungguh memiliki kebanggaan tersendiri mampu berjalan hampir 12 jam untuk bisa mendapati puncak diketinggian 3.265 mdpl ini.

Oiah, teman-teman! Sembari menunggu yang lain datang, saya didatangi banyak burung Jalak Gading/Jalak Lawu, lho! Burungnya cantiiiiiikk banget. Dia datang dan berjalan-jalan kecil di atas kerikil jalanan. Terkadang menclak-menclok di dedaunan dan pepohonan. Burungnya lumayan kecil, dan warnanya indah sekali. Imut, deh, pokoknya!

Konon, menurut cerita (dari sananya), burung ini suka memandu para pendaki di jalur pendakian. Dia suka menolong para pendaki untuk tidak kesasar. Apalagi kalau niat dari pendaki itu sendiri baik, burung ini akan menuntun ke arah yang benar (azeeeeeeeekkkk, sang imam keuleus menuntun)! Untuk lebih jauhnya tentang legenda burung Jalak Gading, bisa search saja di google. Di sini saya hanya menceritakan yang nyata dan logis saja yaa, contoh: burungnya memang cantik dan menggemaskan! hehe.


* * *


Warung Mbok Yem

Setelah puas menikmati panorama sekeliling yang indah dari atas puncak tadi, tak perlu berlama-lama lagi, kami pun segera turun menuju tempat ter-HITZ dan terkenal yang namanya sudah tidak asing lagi. Yappp! Warung Mbok Yem. Sebenarnya, di sana tidak hanya warung milik Mbok Yem saja, banyak pemilik warung yang menjajakan jualannya di atas situ. Namun, lagi-lagi memang nama Mbok Yem lah yang terdengar oleh kalangan para pendaki.

Dari puncak menuju warung-warung ini, hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit saja. Sangat dekat, kok! Udara sore yang kian dingin dan kabut kian terlihat jelas menutupi suasana sekitar, menjelang maghrib tentunya paling enak berkumpul bersama teman-teman semua di warung ini. Di dalam sini sangat hangat sekali. Teman-teman bisa membeli makanan dan minuman yang dijual oleh empunya warung. Kalau saya pribadi di warung Mbok Yem ini, saya membeli nasi pecel dan teh manis hangat. Wuaaahhh, membuat perut dan tubuh ini terasa ringan dan hangat di tengah-tengah dinginnya udara luar!

Oiah, saya punya satu cerita di warung Mbok Yem ini. Jadi, ketika saya dan beberapa peserta turun ke warung Mbok Yem, panitianya hanyalah saya dan Bang Joe. Setibanya di warung, cukup lama saya menunggu panitia-panitia lainnya yang berada di belakang saya, yang terakhir saya temui bersama-sama di puncak. Saya hanya bertemu Tri dan Fiah, secara mereka berdua memang tidak summit.

Sekitar 30 menit saya menunggu, dan waktu sudah memasuki shalat maghrib, rasa cemas menghampiri saya. Baterai handy-talky milik Bang Joe mati. Saya memang tidak dititipkan untuk memegang HT. Hanya para pria, Fiah, dan Farisah saja yang memegang HT. Saya pun mulai resah di mana teman-teman panitia saya lainnya. Mengapa sudah jam segini belum juga tiba di warung ini. Ke mana mereka? Masalahnya, seingat saya, mereka turun tidak jauh di belakang saya dari puncak. Memang sih, terdengar sayup-sayup teriakan susul-menyusul menanyakan arah turun, dan itu suara adik saya. Yaapp, mulai negative thinking ini pikiran. Hilang??!?!?? Nyasar?!?!?!? Ahhhhh, tidaaaaakk boleehh!

Porter keluarga Bang Julham sekonyong-konyong berada di depan saya. Saya pun meminjam sebentar HT-nya untuk mengontak teman-teman panitia yang siapa tahu masih memiliki cukup baterai. Terakhir yang saya tahu, baterai HT Firman habis. Sisa teman-teman lainnya semoga masih ada. Saya roger dan break saja walau dengan nada yang sudah acak kadul karena pikiran ini sudah entah ke mana-mana. Nada bicara saya sudah bisa dibilang tidak tenang. Sedikit kesal karena belum juga ada jawaban dari panggilan saya. "Halloooo, ke mana kalian? Jawab doooong... Kalian di mana yaaa?" tanyaku mulai resah.

Masih tidak ada jawaban. Ahhh, benar-benar apakah yang terjadi ini? Saya panggil nama mereka satu-satu. Suara mulai bernada tinggi dan kesal. Sampai akhirnya saya sedikit emosi dan rasa sedih tidak bisa ditahan, mau nangis rasanya uring-uringan begini kalau mereka sampai hilang. Hingga suatu ketika, ada suara HT di pintu warung. Terdengar dari luar suara HT tersebut, serasa yang membawanya akan masuk ke dalam warung. Dan ....

Nando dan Beta datang dengan muka penasaran, apa yang terjadi dengan diri saya ini. Mengapa terdengar marah-marah dan sedih. Seketika persis saat saya mendengar ada suara HT dan wajah-wajah mereka muncul, air mata ini tidak bisa tertahan. Jatuh begitu saja tanda bahagia kalau teman-teman saya ada di depan saya. Aaaaaaahhhhh, Ya Allah alhamdulillaaahh!

Saya memanggil Nando dan Beta duduk bersama saya. Kucurahkan emosi dan kekesalan saya karena tiada satupun yang menjawab HT dari saya. Saya menangis sejadi-jadinya hingga Beta merasa empati karena saya menangis. Di "puk-puk" nya saya oleh Beta. Nando yang saya lihat malah tak kuasa melihat wajah sedih saya. Dia "tak enak" melihat muka saya. Maklum, pria hehe.

Saya sedikit emosi karena saya khawatir kalau teman-teman saya ini hilang. Sedih! Tidak lama, muncullah Firman, Farisah, Bastomo, dan Taufik. Tanpa wajah bersalah (yaaa memang mereka tidak ada salah sih hahaha. Ini hanya salah paham karena saya panik takut mereka nyasar), mereka datang petantang-petenteng dengan santainya. "Kenapa, Teh?" tanya adikku santai. Omaigooooott, K-E-N-A-P-A-A-A-H-H???? Saya ditanya KENAPAAHHH? Waaahh....

Akhirnya, semua panitia termasuk Bang Joe yang daritadi sedang makan, duduk berkumpul mendengar rasa sedih dan kekesalan (yang konyol) dari saya. Semua bercampur adu. Ini benar-benar konyol. Mereka semua menertawakan saya karena saya menangis dan kesal takut kehilangan mereka karena tidak ada jawaban HT dari mereka yang padahal mereka semua sedang asyik minum teh dan makan di warung sebelah, dan sebelumnya sedang shalat maghrib. SEE? Lagi asyik makan dooooong ternyata.

Dan kalian tahu apa yang terjadi? Mereka semua sebenarnya tahu saya daritadi nge-breaker, namun memang karena semuanya sedang makan dan shalat, mereka pun tidak menjawab. Bahkan mereka saling menatap dan bertanya-tanya, si Farah kenapa daritadi marah-marah, dan malah tertawa dengan kekesalan saya. Hahahahah ada-ada saja mereka ini. Bukannya di jawab, malah bikin saya panik. Untungnya, mereka semua aman dan selamat. MasyaAllah! hahaha


* * *


Turun via Cemoro Sewu

Seperti cerita saat naik, turunnya pun kami benar-benar menikmati perjalanan. Waktu yang dibutuhkan untuk tiba di pintu gerbang Cemoro Sewu adalah 5-6 jam perjalanan (belum ditambah istirahat, yaaa!). Kontur jalurnya berupa tangga-tangga bebatuan, dan begitu seterusnya sampai menuju Pos 1 bayangan (posisinya setelah Pos 1 apabila dari atas puncak). Kebayang, dong, seperti apa kekuatan kaki kami semua menuruni tangga-tangga yang terdiri dari bebatuan yang entah wujudnya seperti nano-nano?!?!

Kami turun sebelum masuk waktu Isya, dan tiba dini hari. Suasana jalur Cemoro Sewu ini memang kerasa sekali yaaa aura mistisnya. Seperti yang sudah-sudah, saya ini memang suka sekali menyenter sana-sini, penasaran kali saja ada yang lewat di depan saya. Namun, memang dasarnya saya ini susah melihat hal-hal "seperti itu", jadinya yaaa tidak kedapatan. Tapi, secara umum saya review, memang jalur dan suasananya ini T-O-P dehhh. Creepy juga ternyata! Banyak ditemukannya batuan-batuan yang super besar yang terkadang selalu bikin saya kaget. Rupa dari batuan-batuan tadi terkadang berbentuk wajah manusia, terkadang seperti ada bayangan orang, yaa macam-macam halusinasi yang saya lihat dari batuan-batuan besar sepanjang jalan turun.


Mistisnya Jalur Cemoro Sewu

Oiah, banyak cerita mistis yang didapat dari teman-teman peserta dan panitia lainnya selama turun ke pintu gerbang. Brandon melihat si cantik "K" terbang ke arah mereka (Idrus, Beta, dan Brandon). Bang Endang juga baru buka omongan kalau ternyata sepanjang jalur memang banyak si tante "K" berkeliaran. Waaahh, syereeemm juga, ya! Brandon dan Bang Endang melihat "orang yang g*ntung diri". Jadi, ceritanya, sebelum kami semua ke Lawu, ada berita orang yang g*ntung diri di Puncak Hargo Dalem, Gunung Lawu. Naahh, mereka berdua nih, melihat si orang yang gant*ng diri tersebut. Hahaha, bisa ada jakur Cemoro Sewu gitu yaaa?

Saat di Pos 1 bayangan (posisi setelah Pos 1) Cemoro Sewu, tetiba Firman dan Dini muntah-muntah. Rasa eneg melanda tubuh mereka. Anehnya (ini dari penglihatan dan pemikiran saya sendiri), Firman muntah-muntah dan benar-benar tidak ada jeda berdetik-detik, benar-benar detik itu juga Dini pun muntah. Serasa gantian gitu muntahnya. Termyata, kata Bang Endang "makhlus halusnya" pindah dari Firman ke Dini. Kaaaaann, sudah sayas duga! Karena aneh aja dalam waktu yang bersamaan, mereka berdua muntah-muntah. Padahal sebelumnya mereka aman-aman saja.

Ada lagi nih dari Mbak Wariyanti. Saat kami semua beristirahat di Pos 1 bayangan, mbak Anti melihat tante "K" lagi duduk di atas pohon. Idiiiiiihh, gokil juga yaaaa, pada bisa lihat! hahaha... Gak serem ya itu? Oiah, terakhir nih terakhir. Cerita dari Firman. Jadi, ketika kami semua sudah lelah dan memutuskan untuk beristirahat di Pos 1 bayangan, saya yang seperti biasa selalu sotoy dan iseng menyenter sekeliling tempat. Hingga akhirnya saya melihat ada seseorang dari arah atas (dari Pos 1) sedang turun ke bawah sini hanya seorang diri. Ngeri yaaa! Saya nge-Dim saja ke arah orang itu, menyenter-nyenter memberi isyarat bahwa ada sekumpulan orang-orang di sini.

Tak lama, orang itu pun semakin dekat menghampiri kami, dan terlihat jelas. Teman-teman tahu, siapa dia? Yaapp, tak lain dan tak bukan adalah Firman. Saya pun penasaran mengapa dia berjalan sendirian ke atas sana. Berani sekali dia!

"Laahh eluuuu! Abis ngapai deh lo, Man?!" tanyaku penasaran.
"Itu Kak, kan tadi kata Nando kalaupun dijemput sama motor, bakal dijemput di deket Pos 1. Naahh, tadi gue ke atas lagi, kali aja dia nunggu di situ. Tadi gue sih liat, Kak, ada jalan raya di atas situ. Tadi kita ngelewatin jalan raya kan dari Pos 1 ke Pos 1 bayangan ini?" jawabnya.

FIX! Dia H-A-L-U alias halusinasi. Ada jalan raya di tengah-tengah gunung? Hahaha apa lagi kalau bukan pikirannya sedang tidak 'pas'. "Apaan sih lo Man? Yakali ada jalan raya di atas sana. Tadi kan kita udah lewat sana, dan gak ada jalan raya atau jalan apapun selain jalur ini aja." kataku menjelaskan dengan benar.

Seketika wajah Firman pun kebingungan. Dia merasa keukeuh dengan penglihatannya. Okelah kalau dia melihat jalan raya, tapi yang tidak habis pikir, jarak dari Pos 1 bayangan ini ke tempat tadi saya menyenter dia di atas sana, itu cukup jauh dan berkelok-kelok. Gilaaaaaa, dia benar-benar berani sendirian ke atas sana!


* * *


Selepas Pos 1 bayangan menuju pintu gerbang Cemoro Sewu hanya memakan waktu 30 sampai dengan 45 menit saja. Kontur jalannya luas dan sudah tidak lagi berupa tangga-tangga bebatuan. Namun, tetap saja terdiri dari bebatuan kerikil. Semakin mendekati pintu gerbang saat sudah memasuki hutan dengan phon-pohon besar dan tidak lagi berada di kelokan gunung, kontur jalannya sudah berupa tanah padat. Tempatnya seperti area camping ground. Banyak tenda-tenda para pendaki yang dibangun di sekitaran pintu masuk. Mungkin mereka semua akan naik besok pagi, atau mungkin baru turun juga tadi malam, tapi tidak sanggup melanjutkan perjalanan ke pintu Cemoro Sewu.

Akhirnya, kami pun tiba dengan selamat di waktu dini hari. Banyak pengalaman seru selama pendakian "tektok" di Gunung Lawu via Tambak lintas Cemoro Sewu. Tadi saja, saat turun menuju pintu gerbang, kami (saya, Bang Bastomo, dan Beta) melihat seseorang yang jelas bukan pendaki memakai pakaian hitam-hitam tanpa alas kaki. Sudah bisa ditebak doooong mau ngapain seperti itu di gunung? Yaapp, isi sendiri jawabannya yaaa! Hehe.


Tentang Gunung Lawu

Saat kami semua di Pos 1 bayangan, sekitaran 6-7 orang rescuers datang melihat keadaan kami. Mereka datang karena Fiah dan para panitia yang telah sampai duluan di bawah yang meminta. Saya, Firman, dan Farisah sempat mengobrol-ngobrol dengan 2 (dua) rescuers Gunung Lawu. Mereka bilang, sebenarnya ada 7 puncak di Gunung Lawu ini. Namun, hanya 3 yang terlihat mata. Kemudian 4-nya tak kasat mata. Hahahaha paham lah yaaa, maksudnya "TIDAK KASAT MATA"?

Tiga puncak itu adalah Hargo Dumilah, Hargo Dalem, dan Hargo Dumiling. Sementara 4 (empat) nya, saya sendiri tidak diberi tahukan apa-apa saja namanya. Yang jelas, itu adalah tempat untuk pemujaan atau semacamnya. Membawa sesajen atau apapun itu untuk persembahan. Apalagi saat malam satu suro. Waahh, banyak yang naik untuk cara ritual tertentu. Yaaa, Gunung Lawu memang terkenal angker, dan gunung ini adalah salah satu gunung yang terkenal mistis di Indonesia.



Oke deh, segitu saja cerita saya mengenai pendakian ke Gunung Lawu yang OKE gilaaaa! Tidak menyangka bahwa saya dan tim bisa "tektok" ke gunung di atas 3200-an. Ya, dalam waktu kurang dari 24 jam kami menuju puncak dan turun kembali ke bawah. Lintas jalur pula! Itu artinya, segala keterbatasan yang dimiliki seseorang sebenarnya bisa dihadapi dan dipatahkan, asalkan kita yakin dengan diri kita masing-masing. Percaya bahwa kita bisa melakukan sesuatu, walau kedengarannya tidak mungkin.

Naahh, teman-teman semuanya, see you on another story, yaaaa!
Wassalamu 'alaykum warohmatullaahi wabarakattuh....