Latest Posts

Gunung Guntur || Menelusuri Indahnya Persahabatan di Jalur Berpasir

By 22:06 , , ,

Guntur 2016

Gunung Guntur pada tahun 2013
Foto di atas adalah keadaan panorama Gunung Guntur yang saya ambil tepat di tiga tahun lalu dibulan Agustus. Kala itu, saya dan teman-teman satu tim sedang melakukan kegiatan kerja praktek di Pertamina Geothermal Energy Area Kamojang, Garut, Jawa Barat. Itu adalah kali pertama saya melihat Gunung Guntur. First impression saya terhadap gunung tersebut saat itu adalah takjub karena punggungan gunung dan segala garis-garis kontur puncaknya sangat terlihat dari segala penjuru kota Garut. "Gilaaaaaa, ini gunung kelihatan amet kemiringannya, gede amet!" takjubku. Gunung tersebut kala itu yang terlihat sangatlah besar, miring, dan membuat bulu kuduk saya merinding saking sangat terlihatnya guratan-guratan dari kejauhan. Bahkan, Gunung Galunggung dan Cikuray yang jauh lebih besar malah saya pandang sebelah mata, lho! Dua gunung tersebut bagus, bagus banget malah! Namun, Guntur adalah gunung pertama di Garut yang membuat saya merinding kala itu.

Bulan Juli 2016, dibulan itu, saya dan Ayub mempunyai rencana akan mendaki ke Gunung Papandayan, Garut, bersama teman-teman kantornya Ayub dibulan Agustus kelak. Hal tersebut membuat saya sangat senang karena udah lama banget saya gak mendaki sejak pendakian terakhir ke Gunung Ijen 2014/2015, itu pun hanya gunung wisata. Gunung terakhir yang saya daki dan summit attack adalah Gunung Gede di tahun 2014 silam.

Singkat cerita, diakhir bulan Juli lalu, saya dan teman-teman dari MPA Aranyacala (namun tidak membawa nama organisasi) mengadakan liburan/pendakian ke Gunung Prau. Saya kira, rencana saya dengan Ayub adalah pendakian pertama saya di 2016. Namun, tenyata enggak! Jadilah Prau sebagai gunung pertama di 2016 ini yang saya pijaki.

Jumat, 12 Agustus 2016, Ayub mengabari saya bahwa pendakian kami ke Gunung Papandayan berubah haluan menjadi ke Gunung Guntur. Seketika itu juga yang terbesit dan yang saya rasakan tiba-tiba deg-degan. Entah mengapa saya deg-degan dan agak khawatir. Namun, tetap dengan senang hati, saya menerima tawaran Ayub untuk mendaki ke Gunung Guntur walau entah apa yang terjadi nanti.

* * *

Siapkan Amunisi!

Persiapan yang matang adalah obat dan faktor utama sebelum saya berangkat ke medan perang. Banyak hal yang selalu saya lakukan dan menjadi kebiasaan saya menjelang pendakian. Karena kali ini saya ke Gunung Guntur, yang saya lakukan sebelumnya yaitu: membuka blog orang-orang atau blogwalking dan melihat catatan perjalanan mereka, membaca berkali-kali soal berapa lama perjalanan dari bawah hingga ke puncak dan jalur serta rintangan apa saja yang terjadi di Guntur, kemudian menonton vlog di youtube mengenai Gunung Guntur, membuka website mengenai ramalan cuaca selama sepekan di gunung (di sini), mengunduh peta topografi Gunung Guntur dari website Kementerian ESDM, mengunduh video mengenai first aid, hipotermia, survival kit, basic survival skills, dll.

Sempat vakum dua tahun dalam kegiatan mendaki, banyak barang-barang saya yang telah hilang entah kemana. Akhirnya, saya menyempatkan diri untuk membeli dan menyiapkan kembali kebutuhan-kebutuhan penting tersebut yang telah saya list, seperti:

1. Perlengkapan Wajib;
  • Sleeping bag;
  • Jaket fleece/polar;
  • Jaket down/bulu angsa;
  • Celana trekking;
  • Matras;
  • Gaiters; dan
  • Sepatu trekking.
2. Obat-obatan (P3K); dan
3. Survival Kit.


Oiah, selama mencari barang-barang diatas, banyak hal seru yang saya alami ketika mencari itu semua (bisa dibaca di sini, guys!). Susah-senang dalam berburu perlengkapan di atas, terbayar sudah ketika melihat indahnya Gunung Guntur. Sungguh terbayar!

* * *

Bertemu Kawan Baru

Jumat, 26 Agustus 2016 (pukul 21:07), sehari sebelum kami berangkat, Ayub mengabari saya bahwa kami akan meeting point di Pasar Rebo dekat shelter busway sekitar jam sembilan malam. Jadilah saya datang tepat waktu kurang lebih pukul 21:07 malam. Orang yang pertama kali saya lihat adalah wanita muda yang lebih tua dari saya memikul carrier kecil disusul dengan penglihatan saya yang tajam saat melihat pria muda dibelakang wanita tersebut. Erik. Ya, ERIK! Haha, sontak saya berseru memanggil dirinya dan hampir saja saya memeluknya karena terlalu semangat dengan liburan kali ini yang juga liburan bersama kami (saya, Ayub, dan Erik) untuk yang kesekian kalinya.

Sekitar dua jam, saya dan Erik menunggu teman-teman Ayub lainnya yang akan meeting point di tempat ini. Saya dan Erik selalu menduga-duga setiap orang yang lewat memakai carrier dipunggungnya. "Rik, kayaknya yang itu tuh! Bawa carrier tuh doi! Eh, apa yang itu ya?" tanya saya kepadanya. Kami kira mereka adalah salah satu bagian tim kami nantinya. Namun, ternyata bukan. Begitu seterusnya, hanya dugaan yang salah. Hingga akhirnya kami melihat si wanita tadi bertemu dengan rombongan teman-temannya yang juga sesuai dengan dikte-an Ayub bahwa ada seorang wanita kecil berjaket pink (teman sekantor Ayub) dan pria yang merupakan suami dari wanita kecil tersebut. Saya dan Erik pun tak ambil pusing langsung menduga bahwa itu pasti Mbak Nunung yang dimaksud Ayub.

Akhirnya, dugaan kami benar. Itu adalah Mbak Nunung beserta suami dan teman-teman bawaannya. Kami langsung berkenalan dan berjabat tangan satu sama lain. Tiga wanita muda berkerudung, yaitu: Mbak Aan, Mbak Yanti, dan Lena, serta satu pria yaitu Bang Gun (suami Mbak Nunung). Ayub dan teman kantornya, Kiat, sempat terjebak macet. Namun, tak lama mereka berdua akhirnya datang. Terkumpul lah kami semua di tempat itu dengan sempurna. Jam menunjukkan hampir pukul 23:00 malam, itu artinya kami harus segera naik bus agar segera sampai lebih cepat di Garut.

Saya lupa bus apa yang membawa kami menuju Garut malam itu. Namun, saya tidak melupakan hal lainnya mengenai bus dan perjalanan kala itu. Bus ekonomi yang kami naiki dihargai Rp 50.000,- dengan kondisi bus yang sesuai dengan harganya. Bus yang biasa-biasa saja desain dan fasilitasnya. Ada AC dengan seat yang lumayan nyaman saja sudah bersyukur. Bus yang melaju kencang ini membawa kami 1 (satu) jam lebih hemat daripada perjalanan ke Garut pada umumnya. Kami hanya menghabiskan waktu 4 (empat) jam saja tanpa macet, sungguh diluar dugaan saya yang saya kira akan sampai pagi hari. Gila, cepet banget, dah!

Sabtu, 27 Agustus 2016 (pukul 03:00), Bang Gun meminta kenek bus untuk menurunkan kami di SPBU Tanjung, Garut. SPBU Tanjung ini berseberangan langsung dengan Indomaret, tempat di mana para pendaki lainnya istirahat sambil membeli kebutuhan logistik lainnya. Di dalam SPBU Tanjung, nampak aula putih yang besar dari kejauhan. Kami diinstruksikan oleh Bang Gun untuk menaruh barang-barang kami dan segera istirahat sejenak di aula tersebut.

Selama beristirahat, ternyata satu teman Mbak Nunung yang ikut rombongan kami ada di aula ini. Ia sudah lebih dulu datang daripada kami. Bang Handy namanya. Kebetulan, Bang Handy baru berkenalan juga dengan satu orang pria muda yang akan mendaki ke Gunung Guntur. Yap, dia lah Kresna yang sengaja datang dari Jakarta sendirian untuk mendaki yang siapa tau di tengah jalan akan bertemu para pendaki lainnya. Jadilah Kresna bertemu Bang Handy, dan Bang Handy memperkenalkan Kresna pada kami.

Pukul 03:45 subuh, setelah kami beristirahat dengan cukup, kami harus segera move to another place yaitu basecamp Gunung Guntur untuk melakukan registrasi dan mendapatkan simaksi di sana. Untuk sampai di basecamp, kami menyewa mobil pick up (bak) yang dilengkapi terpal besar untuk menutupi tas-tas kami dan juga sebagai dudukan di atas mobil. Kami menyewa mobil bak ini dengan harga Rp 15.000,- saja. Hanya butuh waktu setengah jam untuk bisa sampai di basecamp tersebut.

Pukul 05:50 pagi, setelah kami beres dari sarapan pagi dan juga telah selesai me-packing ulang barang bawaan kami, kemudian kami juga sudah membayar simaksi dengan harga Rp 15.000,- untuk tiap-tiap orang, kami pun segera berangkat dengan berjalan santai tanpa terburu-buru di jalan.

Basecamp s.d. Pos 3

Pagi itu sejuk, udaranya enak banget buat diajak jalan, saya gak mau melewatkan perjalanan ini dengan terburu-buru. Jadi, saya sangat menikmati banget setiap langkah dan suasana pepohonan serta rerumputan di kanan-kiri jalan. Saya juga sempat bertemu seorang Bapak membawa dagangannya. Sebelumnya, saya hanya menatapnya lamat-lamat dan memperhatikan barang bawaannya. Segera saya memecahkan keheningan dengan melontarkan sebuah pertanyaan. "Misi, Pak! Itu apa, Pak?" kataku. "Barang dagangan, Neng," jawabnya singkat. "Posnya setengah jam lagi sampai, Neng, dekat kok!" lanjutnya. Dari situ, kami berbincang-bincang seputar keadaan Gunung Guntur mulai dari warga dan para pendaki serta berita-berita terbaru soal pendaki di Gunung Guntur. Perbincangan singkat kami tersebut cukup memberikan informasi mengenai Gunung Guntur. Gunung ini menurut kesimpulan subjektif saya, bukanlah gunung yang rempong dan berat. Gunung Guntur hampir tidak pernah terdengar kabar adanya korban meninggal dan badai yang berarti di atas sana. Kata Bapak, kalaupun ada kecelakaan, itu karena para pendaki atau orang-orangnya bandel! Tapi, untuk memakan korban jiwa, sejauh ini belum tidak ada.

Berfoto dengan latar belakang Puncak 1 Guntur






Dari basecamp, lalu pos registrasi hingga menuju Pos 3, perjalanan yang dibutuhkan hanya memakan waktu 3 (tiga) jam saja. Saya pikir akan berlama-lama di jalan, eeehh tenyata gak! Kami pun sampai di Pos 3 lebih kuranya jam 9 (sembilan) pagi. Karena Pos 3 adalah area terakhir untuk menginap alias area camping ground, jadi selebihnya tidak diperbolehkan untuk mendirikan tenda di atas sana (Puncak 1, 2, 3, dst). Hal tersebut diberlakukan karena kondisi vegetasi Puncak Guntur yang sangat jarang ditemukannya pepohonan tinggi. It's barely to see high trees there. Tak jarang banyak kabar para pendaki tersambar petir saat hujan tiba karena tidak adanya bangunan/tempat tertinggi sebagai sasaran petir.

Oiah, di tengah perjalanan menuju Pos 3, saya dan tim bertemu dengan dua orang pemuda yang akhirnya bergabung dengan tim kami. Mereka adalah Bang Pujo dan Bang Alfi (Bocin/Joni). Niat awal mereka ingin mendirikan tenda agak jauh dan lebih ke atas sedikit dari area camping ground dan niat mereka pun sama dengan tim kami. Setelah berbincang-bincang, Mbak Ucu (Nunung) mengajak mereka untuk ikut menjadi bagian dari tim.

Sampailah kami di sebuah petakan tanah yang cukup untuk mendirikan beberapa tenda di sana. Kami pun membangun tiga buah tenda yang awalnya empat karena Bang Pujo dan Bang Alfi juga mendirikan tendanya sendiri. Namun, Bang Gun menyuruh mereka untuk membenahi tenda mereka, dan bergabung menginap di dalam tenda bersama tim kami supaya lebih bisa saling mengenal.

Setelah tenda didirikan, Mbak Ucu dan para wanita membuat menu masak siang hari yaitu  nasi dengan sop bakso dan nugget, sementara para pria masih terus membenahi sisa tenda dan semua barang bawaan untuk dimasukkan ke dalam tenda, serta membuka fly sheet dan ponco kalau-kalau terjadi hujan deras kelak.


Summit Attack to 2.249 mdpl

Minggu, 28 Agustus 2016 (pukul 03:45 subuh), saya dan tim kecuali Bang Gun dan Mbak Ucu berangkat untuk melakukan pendakian ke puncak 1 dan 2 Gunung Guntur atau istilah kerennya summit attack. Seriously, it made me fear because the contour was very steep. Ada kali kira-kira kemiringannya 50 s.d. 70 derajat. Sampai saya harus merangkak dan memegang rerumputan supaya gak jatuh dan kudu hati-hati banget kalau sampai kejatuhan batu. Eeeeehh, bener dong saya kejatuhan tiga buah batu yang lumayan besar, tapi gak gede banget. Itu karena Mbak Aan sempat jatuh (katanya sih sampai empat kali gulingan) dan diselamatkan oleh Bang Pujo dan Kak Yanti. Mereka menangkap persis di belakang Mbak Aan agar gak terlalu jauh ngegelindingnya.



Kurang lebih 1 jam 30 menit kami sampai dipuncak 1 Gunung Guntur, dan langit sudah memperlihatkan cahaya paginya, tetapi sunrise tidak kami dapati dikarenakan tertutup oleh kabut. But, I really enjoyed that moment. The most important thing was that we had arrived at the top of the mountain safely, without an accident and rainstorm. After we had arrived and had a break for a while, we continued to the second top named Puncak 2 Guntur. Di sana terdapat tugu triangulasi persembahan dari jurusan Geodesi ITB tahun 1997. Ini adalah titik GPS di mana kita dapat mengetahui letak ketinggian gunung dan posisi kita di puncak gunung. Ketinggian Gunung Guntur itu sendiri adalah 2.249 mdpl. Bukan termasuk gunung tinggi yang mana masih jauh lebih tinggi gunung Papandayan yaitu 2.665 mdpl. Namun, Guntur untuk ukuran perjalanan dan rintangan malah jauh lebih sulit dari Papandayan.

Setelah puas berfoto-foto di puncak 1 Guntur, kami langsung menanjak kembali menuju puncak 2 Guntur. Tanjakan menuju puncak 2 tidak sesulit puncak 1. Masih agak landai dan saya (insyaAllah) masih bisa menangani jalanan itu sendirian. Saya berjalan lebih dulu dari yang lain, dan mereka lumayan jauh di belakang saya. Dari perjalanan menuju puncak 2, melihat ke arah bawah sana, rasanya indah sekali, I couldn't be happier! Akhirnya bisa senyum-senyum sendiri melihat ciptaan Allah SWT. Bagus banget, paraaahh!


Kami tidak berlama-lama di puncak 2 Guntur karena kami harus segera turun untuk brunch di tenda dan segera bersiap-siap untuk meninggalkan area camping ground untuk turun ke kaki gunung. Naaahh, ini nih sesi terseru kedua setelah sesi paling seru subuh tadi. Sesi terseru kedua ini, saya turun melewati jalur berpasir dan juga berkerikil. Saya gak pake gaiters (yang padahal sempat saya pakai dua kali di pagi dan sore hari) karena saya lupa taruh di mana saat tidur di tenda. Karena gak punya waktu lama, saya tinggal saja gaiters tersebut di tenda.

Turun dengan posisi berdiri, laju dipercepat, serta berlari di atas pasir berkerikil itu seru-seru ngeri (tapi harus saya akui lebih banyak serunya ketimbang ngerinya, sih!). Have you ever seen that people go down from the top at Mt. Semeru or Mt. Rinjani? Nah, kira-kira seperti itu lah gaya saya turun di area berpasir Guntur. Posisi pijakan kaki yang tepat adalah bagian belakang telapak kaki sebagai tumpuan. Jadi, jangan sekali-kali pergunakan tumit kaki saat turun, yang ada malah sakit haha.

Hanya butuh waktu 15 menit dari puncak 2 menuju puncak 1. Seperti biasa, kami mengambil pose kembali untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan puncak. Foto-foto kali ini gak kalah seru dengan sesi foto di tugu puncak 2 Guntur. Kami mempunyai dua tempat sebagai latar belakang foto, yaitu perbukitan dan suasana kota Garut dari atas puncak.

Foto dengan latar belakang perbukitan
Kami pun puas berfoto-foto dan segera memutuskan untuk turun menuju tenda. Sekali lagi, jalur turun kami adalah area pasir berkerikil. Seru banget pas turun dan ini the most exciting thing that I had never felt before. Latihan dulu di Guntur sebelum beneran ke Semeru atau Rinjani, hehe.

Setelah sampai di tenda, Mbak Ucu sudah siap dengan menu brunch-nya dan kami tinggal menyantap hidangan tersebut. Baru kali ini mendaki gunung memiliki menu makanan yang ajiiiiib. Biasanya, menu masakan setiap ke gunung yaa standar, seperti: nugget, sosis, telur, kornet, mie instant, dan nasi. Tapi tidak untuk ini! Kali ini, Mbak Ucu selalu menyediakan menu yang mantap-mantap. Dia lah koki terenak saya dan tim yang sebelumnya saya gak pernah makan seenak ini di gunung. Menu makan kali ini adalah nasi dengan ikan sarden, sop bakso, omelette campur mie, dan nugget. Mantab bener, dah!

Pukul 12:50 siang, kami resmi meninggalkan tempat perkemahan kami menuju pos 3 kemudian pos 2 dan pos 1 hingga pos registrasi di kaki gunung. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di kaki gunung. Waktu yang kami peroleh hanyalah 1 jam 30 menit saja. Benar-benar setengah waktu dari pendakian Sabtu kemaren. Seperti biasa, saya gak serta merta turun ke bawah begitu saja. Saya menikmati pemandangan sepanjang jalan. Bahkan, di akhir perjalanan setelah pos 1, saya terus berjalan seorang diri hingga basecamp. Saya sangat menyukai me time saya ini. Melihat para pendaki lainnya yang lalu lalang, warga setempat yang berdagang serta membawa barang dagangannya, dan juga para wisatawan yang hanya berkunjung ke air terjun Citiis. Hingga akhirnya saya berada di bawah dan berbalik badan, sambil melontarkan senyum hangat nun bahagia ke puncak Guntur yang ada di belakang saya. "Suatu hari nanti, saya ke sini lagi, ya!" gumamku.

Pukul 16:15 sore, kami kembali pulang menuju terminal Garut. Kami telah menyewa kembali mobil bak hitam dengan harga Rp 25.000,- per orang. Kami harus segera berangkat karena hujan sebentar lagi akan mengguyur kota Garut dan sekitarnya. Kebetulan, mobil bagian belakang sudah penuh dengan teman-teman. Jadilah saya dan Kak Aan duduk di seat depan bersama sang supir.

Saya selalu suka mengobrol! Bapak supir itu terus-terusan saya ajak ngobrol. Dia seorang Bapak yang gigih, sayang, dan bertanggung jawab sekali kepada keluarganya. Dengan bangganya ia bercerita pada saya mengenai puterinya yang dianugerahi penghargaan dari Bupati Garut atas kemenangannya dalam kegiatan kesehatan yang diadakan oleh pemerintah kota Garut kala itu. Bapak tersebut antusias sekali dan sangat hapal sekali detail setiap kronologi yang telah ia lewati demi menebus uang sekolah puterinya yang sekarang telah bekerja di kota Cirebon, Jawa Barat.

Pukul 17:10 sore, bus Primajasa yang kami naiki menuju Jakarta (Pasar Rebo/Lebak Bulus) berangkat dengan selamat walau diperjalanan kami terjebak kepadatan. Kami membayar Rp 52.000,- per orang dan perjalanan kali ini tidak secepat ketika kami berangkat. Sampai Jakarta sekitar pukul 22:30 malam. Itu artinya, sekitar 5 jam 30 menit kita berada di dalam bus karena kondisi jalanan yang macet namun tetap bergerak.


* * *

Moral Dari Sebuah Perjalanan

Ya, itulah pengalaman pendakian saya dan tim ke Gunung Guntur Jumat, 26 Agustus s.d. Minggu, 28 Agustus 2016. Suatu pengalaman yang teramat seru bagi saya karena saat itu lah saya gak cuma mendaki tetapi banyak pelajaran-pelajaran baru yang saya temui selama liburan ke sana. Mulai dari bertemu teman baru, berbincang-bincang dengan warga sekitar mengenai Guntur, dan mendapat wejangan hangat dari Bapak yang mengendarai mobil bak hitam.

You Might Also Like

0 comments