Latest Posts

Gunung Kerinci via Kayu Aro || Roadtrip Jakarta - Kayu Aro (Kapal + Bus)

By 15:02 , , , , , , ,

Kerinci 2018





       _______________


"Dek, Kerinci, yuuk!" ajakku pada sang adik tanpa banyak berpikir.


Malam itu, sepulang dari rumah keluarga di Bandung, sontak saya mengajak Farisah (adik saya) berlibur ke Gunung Kerinci. Pasalnya, ada "penyebab" yang membuat saya segera memutuskan untuk bisa hiking kesana. Tak perlu berpikir lama untuk memutuskan kapan sekiranya kami bisa ke sana karena saya tinggal mencari event ke gunung tersebut lewat Instagram. Voila! Dapat sudah waktu dan kegiatan yang akan saya ikuti nanti.


H-7 Pendakian

Menjelang hari-H, saya dan adik semakin rajin dan semangat dalam berolahraga. Biasanya, olahraga yang kami rutin jalani jika ingin pergi hiking adalah lari, renang, dan bersepedah. Untuk gunung-gunung tinggi dan/atau gunung-gunung rendah namun menguras tenaga/fisik dan waktu, 3 (tiga) jenis olahraga tersebut wajib kami jalankan. Sebaliknya, jika gunung-gunung dengan trek yang mudah dilalui, kami hanya cukup olahraga lari saja.

Untuk jogging, kami selalu bangun pagi dan keliling komplek 25-45 menit (tidak usah lama-lama asalkan rutin hampir tiap hari). Kemudian setelah lari, kami lanjutkan dengan bersepedah ke luar komplek menyusuri kampung-kampung dan hijrah ke komplek lain (jauh lho mainnya haha). Nahh, untuk renang, saya hanya targetkan sekitar dua sampai tiga kali dalam seminggu. Pokoknya, jangan sekali seminggu, karena menurut saya kegiatan ini penting untuk olah pernapasan kita, di mana bisa diaplikasikan ketika saat ada trek menanjak atau pada saat summit attack.



Road Trip Jakarta - Kayu Aro (Jambi)

Jum'at, 26 Januari 2018, kami segera bergegas menurunkan barang-barang bawaan kami dari kamar ke lantai bawah. Mobil yang kami pesan secara online telah datang dan siap untuk segera berangkat. Pukul 18.00 sore  kami berdua menuju meeting point di daerah bundaran Summarecon Mall Bekasi. Di sana, saya dan teman-teman berkumpul dan kendaraan berupa bus yang akan kami tumpangi start dari tempat tersebut.

Setibanya di meeting point pukul delapan malam, saya segera mendatangi teman-teman yang sedang duduk di pinggiran trotoar tepat samping bus. Bus yang kami pakai adalah bus AC besar dengan seat 3-2 lengkap dengan toiletnya (by the way, saya lupa nama busnya). Kami semuanya saling berbincang-bincang sambil mengecek logistik apa saja yang dibawa, kelengkapan kelompoknya sudah sejauh apa, dan membicarakan perbincangan lainnya seputar gunung mana saja yang telah kami datangi.

Waktu menunjukkan pukul 21.00 malam, dan kami semua dipinta masuk ke dalam bus karena sebentar lagi kami semua akan berangkat menuju pelabuhan penyebrangan Merak, Banten.

"Dek, kita duduknya di depan aja yaaa!" pintaku kepada Farisah saat kami naik ke dalam bus untuk memilih seat selama perjalanan ke depannya.

Saya dan adik duduk di seat bagian kanan (yang berisi 3 kursi) urutan ketiga dari depan. Sementara teman-teman yang lain juga memilih bangku mana yang akan mereka duduki selama 2 (dua) hari ke depan. Yap, 2 (dua) hari! Waktu yang menurut kami semua adalah lama untuk urusan duduk di suatu bangku. Alasannya sepele, "pantat", kaki, dan badan bisa pegal-pegal haha. Sesungguhnya, waktu perjalanan ini lebih lama daripada saat saya naik kereta ekonomi Jakarta - Malang yang mana seat di kereta api ekonomi bangkunya amat tegak. Pegal, bukan?




* * *


Kami berangkat tepat pukul 22.45 menuju pelabuhan Merak. Perjalanan sepanjang jalan Kota Jakarta sangatlah lengang dan amat lancar. Namun, ketika sampai di sekitaran Banten, perjalanan mulai padat, apalagi saat kendaraan-kendaraan yang akan menyebrang ke Pulau Sumatra dimuat masuk ke dalam kapal (loading). Untungnya, kita tidak perlu menunggu lama saat antre kendaraan. Menurut saya, sih, tidak lama yaa untuk waktu 30 sampai dengan 45 menit karena sebelumnya saya pernah antre berjam-jam untuk bisa masuk ke kapal di Pelabuhan Merak ini.

Tentunya, orang-orang yang pernah rmenggunakan kapal pasti tahu kebijakan-kebijakan apa saja yang ada. Salah satunya, tidak boleh berada di bawah (di area parkir kendaraan) karena apabila sewaktu-waktu kita dalam keadaan yang tidak diinginkan (tenggelam atau kecelakaan lainnya), kita masih bisa menolong diri sendiri dan orang lain karena posisi kita berada di tempat yang benar 9di atas). Sebaliknya, apabila kita berada di area parkir, tentunya kita akan terjebak di bawah dan di satu sisi, di area parkir terdapat banyak gas karbon monoksida yang apabila terhirup akan membuat kita sesak dan mungkin akan memicu kematian. So, the points are jangan tinggal di bawah (area parkir kendaraan, naiklah ke atas kapal) untuk menjaga diri apabila sewaktu-waktu kapal bermasalah dan kedua adalah agar tubuh tidak terkena gas karbon monoksida.


Perjalanan menuju Pelabuhan Bakauheni (Lampung) diperkirakan memakan waktu sekitar 2 (dua) jam. Keadaan di atas kapal ramai dan padat. Semua tempat di setiap lantai terisi penuh oleh para penumpang. Saya, Farisah, Fiah, Bang Jeason, dan Bang Tesar mengambil seat di lantai 2 (dua) ruang menonton, tepatnya persis di depan TV. Kami menyimak saja apapun siaran yang diputar. Hitung-hitung menjadi sebuah hiburan tersendiri untuk kami sambil menunggu kapal tiba dengan selamat di Lampung, dan tentunya untuk menenangkan diri kami semua dari ombak laut yang sangat mengguncangkan kapal ini (haha lebay).


Keadaan kapal seperti yang saya katakan tadi, bergoyang-goyang. Lautnya sedang tidak pas, nih. Airnya kurang tenang sehingga membuat para penumpang pusing alias mabok laut. Malah, seseorang yang duduk 3 (tiga) baris di sebelah kiri saya muntah. Sepertinya ia tidak tahan oleh ombak di luar sana. Sementara saya, saya lebih memilih berbaring di 
sepanjang kursi penumpang (kira-kira 4 seat saya pakai untuk tidur) setelah Fiah, Farisah, Bang Jeason, dan Bang Tesar keluar dari ruangan untuk mencari udara segar di luar.


Selang beberapa waktu berada di laut, klakson kapal ferry pun terdengar. Itu tandanya kapal sebentar lagi akan berlabuh di Pelabuhan Bakauheni (Lampung). Tanggal 27 Januari 2018 kala itu. Saya segera mencari teman-teman saya di lantai atas tempat di mana mereka berkumpul. Di lantai atas, saya mendekatkan diri ke pinggiran kapal, melihat bangunan dan pelabuhan, serta menara Siger dari kapal ini. Lampu-lampu di luar sana terlihat cantik. Aaaahhh, Lampung dini hari ini masih sama indahnya dengan Lampung di 9 (sembilan) tahun lalu.




* * *


Perjalanan dilanjutkan menuju kota Lampung, kemudian Palembang dan Jambi, dengan tujuan akhir Kayu Aro. Setelah sampai di Lampung dini hari, kemudian kami berhenti untuk sarapan di sekitaran daerah Metro (Lampung) di pagi hari. Sepanjang siang ke malam, perjalanan teramat panjang dan jauh. Banyak rumah-rumah panggung milik penduduk di sana. Banyak pula perkebunan kelapa sawit di daerah Lampung dan desa-desa arah ke Kota Palembang. Oiah, lebih tepatnya kami melewati jalan Trans Sumatra yaaa sepanjang perjalanan.

Suasana malam kami habiskan di Kota Palembang, dan bus pun segera "gas" menuju Provinsi Jambi. Terlihat jembatan Ampera dari kejauhan dibalik gorden bus ini. Sayangnya, kami tidak mampir terlebih dahulu di sana. Yaa, anggap saja suatu hari nanti rezeki akan membawa saya dan teman-teman datang kembali untuk melihat jembatan Ampera. Disamping itu, rasanya ingin sekali makan "mpek-mpek Palembang" yang terkenal di kota aslinya langsung. Namun, kami semua harus berjalan sesuai rundown agar waktu hiking nanti pun tidak mundur.

Sudah 12 (dua belas) jam bus ini berada di Pulau Sumatra, dan pagi itu Minggu, 28 Januari 2018 kami telah memasuki sekitaran daerah Jambi. Berbeda dengan Kota Palembang, daerah di sini persis di Provinsi Lampung di mana keadaan kiri dan kanan jalan adalah area perkebunan dengan rumah-rumah warga yang jarak dari satu rumah ke rumah lainnya terbilang berjarak (cukup jauh). Selain itu, hanya sesekali ditemukannya pusat keramaian seperti adanya jejeran toko-toko dan pasar. Entah bus ini melewati Kota Jambi atau tidak, sepertinya saat itu saya tertidur pulas. Jadi, saya tidak memerhatikan bus ini sempat melewati atau tidak ke pusat Kota Jambi.


Sekitar jam sepuluh pagi kala itu, bus berhenti di sebuah mini market, di mana kami harus membeli beberapa barang logistik atau perbekalan lainnya untuk dibawa ke atas gunung nanti. Masih banyak dari kami yang membutuhkan camilan dan makanan/minuman sebagai bekal hiking, dan pastinya kami membutuhkan stock camilan juga untuk di perjalanan karena waktu tempuh kami ke Kayu Aro khususnya ke basecamp masih teramat jauh.


Bus melaju dengan amat hati-hatinya. Jalanan mulai menanjak dan berkelok-kelok. Berbeda dengan di Puncak Bogor, kelokan di sini sedikit membuat pusing kepala dan sesekali kaki ini selalu menahan lantai bus, takut sewaktu-waktu bus akan rem mendadak.




* * *


Terlihat rumah makan dipinggiran punggungan gunung yang kami lewati. Supir bus memberhentikan bus, alih-alih ia dan rekan-rekannya ingin beristirahat sejenak sembari mempersilahkan kami makan siang terlebih dahulu. Di sepanjang jalan, tak banyak rumah makan yang tersedia, yang ada malah banyaknya perbaikan jalan, pelebaran jalan, dan pengerukan tanah dari punggungan tersebut.

Kami diberi waktu sekitar 1.5 jam untuk makan siang dan berkegiatan lainnya. Bagi saya, itu adalah waktu yang cukup lama. Entah mengapa, rasanya ingin cepat-cepat sampai di basecamp daripada harus kebanyakan melipir.

Awal tiba, saya turun membawa kamera mirrorless untuk memotret jalan dan membuat footage video. Selang asyik dengan kamera, saya melihat Devi, Farisah, Kak Meli, dan Lilis tengah mengobrol di depan jejeran rumah makan dan warung-warung. Saya yang sendiri kala itu menghampiri mereka para wanita-wanita tangguh untuk mengajak mereka makan di salah satu rumah makan dipojokan. Terlihat Bang Tesar sedang mer**ok dan dibelakangnya ada Bang Jeason yang sedang makan sendirian di area lesehan. Rumah makan Padang ini cukup besar dan sangat bersih. Area depan untuk yang ingin duduk lesehan dan di dalam untuk yang ingin duduk di kursi pada umumnya.

Melihat mereka para Abang-abang yang sedang ada di rumah makan tersebut, saya pun tak ragu untuk mencoba nasi Padang di sana. Barangkali dapat review bagus dari Bang Jeason. Sayangnya, dia terlalu menikmati hidangannya, sampai tidak ngeuh saya bertanya akan cita rasa makanan tersebut haha.

Setelah ber-road trip ria sejak dari Jakarta, Lampung, Palembang, hingga masuk ke daerah Jambi kali ini, dan setelah berkutat dengan berhentinya bus untuk makan pagi/siang, akhirnya saya tak salah pilih mendapatkan makanan TERENAAAAAAAAAAKKKKK sepanjang road trip hahaha (lebay). Yap, pasalnya dari awal berangkat belum ada makan enak sama sekali. Selalu saja dapat rumah makan yang zonk. Hingga akhirnya, di sinilah jodoh dipertemukan! Yuhuuuuuu, makan enaaakk, yaa walau tetep yeee judulnya nasi Padang-nasi Padang juga hehe. But, I trust you! It was really endaaaaaaaaaanggg dan nendaaaaang, boooooo! Sambel ijo dan merah, juga ayam pop yang kami pesan tiada tanding dan tiada banding. Paru dan sayur (duuuh, lupa sayur apa. Itu dikasih Bang Jeason untuk kami makan) nya pun juga enak banget, lho! Thanks, Bang Jesss...





*taken by: Bang Jeason


* * *


Saya selalu penasaran dengan segalanya yang ada di depan sana, di balik gunung-gunung yang bus ini akan lewati. Sesekali mencari di mana Gunung Kerinci itu. Apakah yang itu, atau yang itu? Tak juga terlihat puncaknya. Terlalu banyak gunung di daerah sini, pun rumah-rumah yang saya lihat terlihat kembali seperti rumah panggung yang berada di daerah menuju Palembang. Beberapa juga mirip rumah adat Bugis. Atau jangan-jangan, masih ada hubungan darah yang teramat dekat, ya?

Menjelang sore, bus kembali dipinggirkan oleh driver di sebuah masjid yang cukup besar. Awalnya, saya pikir sang driver beserta teman-teman lainnya akan menunaikan ibadah shalat ashar. Saya yang saat itu malah lebih memilih beristirahat di dalam bus daripada harus turun. Setelah sekian menit berlalu, saya melihat keadaan sekitar di dalam bus, banyak dari teman-teman yang justru memilih turun daripada berdiam diri di atas sini. Ternyata, usut punya usut, ada sedikit masalah pada bus kami. Jadilah saya turun dan menyusul para wanita ke masjid, untuk membersihkan wajah yang sangat kumel ini setelah beberapa hari suntuk, dan pastinya untuk shalat ashar.

Basuhan air wudhu setelah mencuci muka dengan facial foam terasa lebih segar. Kubawa kaki ini masuk ke masjid untuk melaksanakan kewajiban. Usai menjalankan shalat, saya keluar masjid sembari memakai sepatu kembali. Dari sekitaran teras masjid, terdengar suara sorak-sorai dan becandanya para anak kecil di sana. Apa itu? Kata saya dalam hati. Karena penasaran dan karena beberapa teman pergi ke arah bawah sana, saya ikut menyusul di belakang mereka. Waaahh, indah banget! Saya dapati kawanan anak-anak yang sedang berenang di sungai (yang cukup besar) dan pastinya mereka semua teman-teman saya yang sedang mmenonton anak-anak tersebut. Beberapa dari mereka pun ada yang tengah berbincang-bincang dan membasuh wajah mereka di pinggiran sungai. Sungguh segar!


Saya yang tak mau ketinggalan, berlari mendekati sungai, melihat, dan menikmati pemandangan yang cantik itu. Berpadu dengan adanya teman-teman yang juga puas menikmati indahnya sungai an pedesaan di sana. Sangking tidak mau tertinggalnya moment, saya balik ke dalam bus untuk mengambil kamera dan turun kembali ke bawah ke arah sungai itu berada. Totalitas!


Dari dulu, saya selalu kagum bila ada anak kecil yang sudah terbiasa bahkan "jago" berenang di sungai dan laut. Hebat, ya! Pikirku, ini moment yang bagus di mana ada dua orang anak kecil yang akan bersiap-siap untuk meloncat ke sungai. Beberapa anak lainnya berada lebih di tengah, sambil bercanda-canda dan menggodai temannya satu sama lain. Saya yang merasa terhibur akan suasana seperti itu, segera mencari posisi yang tepat untuk memotret keadaan sekitar, dengan tema both human interest and landscape photography.









Terdengar perbincangan yang seru dari kawanan pendakian saya, entah apa yang mereka ceritakan. Sepertinya seru! Saya yang sekalinya sudah "autis" dengan kamera, pastilah akan terus asyik mengambil gambar di sana dan sini, juga sesekali berbasa-basi kepada warga lokal di dekat pinggiran sungai. Sesungguhnya, tak banyak gambar yang saya ambil. Hanya beberapa, dan sedikit cuplikan/potongan video untuk saya edit nanti.


Mata ini tak jarang memantau keadaan di atas sana, di sekitaran masjid dan bus. Masih begitu-begitu saja rupanya. Para supir dan teman-temannya masih berkutat dengan mesin-mesin bus. Bolak-balik membetulkan isi mesin dan membawa air secukupnya untuk dimasukkan ke dalam mesin bus. Sementara teman-teman saya lainnya, mereka lebih memilih tidur-tiduran di teras masjid, ada juga yang berbincang-bincang sambil menikmati *ok*k yang mereka bawa, pun ada yang melamun. Entah apa yang ia pikirkan. Saya yang sudah puas memainkan kamera segera kembali ke masjid untuk bergabung bersama mereka semua.




* * *


Bus masih melaju dengan kecepatan normal, terkadang cepat. Padahal kami semua masih berada di gunung yang berkelok-kelok dan naik-turun. Namun, driver dengan santainya memainkan gas di angka yang cukup tinggi untuk ukuran melewati gunung, lho! Masih tak terlihat di mana Gunung Kerinci itu. Jam demi jam, kami pun masuk ke sebuah desa demi desa, dan kota demi kota. Waaaahh, sudah masuk di daerah yang ramai.

Sungai Penuh! Yap, namanya Sungai Penuh. Saya berpikir, pasti tak lama lagi gunung yang akan kami datangi terlihat. Waktu itu pukul 16.30 sore. Suasana kota di Sungai Penuh sangat mencuci otak saya dan membius seketika. Pemandangan di balik kota berjejer pegunungan-pegunungan yang terbentang dengan indah dan besarnya, adapun area persawahan milik warga tersebar di mana-mana.


Driver masih antusias mencari arah ke kabupaten Kayu Aro. Sama seperti yang dipikirkan sang pengemudi, kami semua juga mengira bahwa Kayu Aro tak jauh dari Sungai Penuh, atau malah masih di sekitaran Sungai Penuh, khususnya untuk Taman Nasional Kerinci Seblat.


Matahari tak lama lagi akan menggelincir ke arah barat. Setelah berputar-putar dan bertanya sana-sini ke beberapa warga di sana, akhirnya, bus ini meluncur ke jalan utama tepatnya ke arah barat untuk menemukan di mana TNKS itu berada.


Hari semakin gelap, dan kami pun kembali melalui jalur yang menanjak dan berkelok-kelok. Udara di luar bisa dikatakan dingin dengan keadaan kami semua ternyata sedang menuju dataran tinggi yang saya kira Sungai Penuh tadi adalah highland, nyatanya masih ada lagi yang lebih tinggi di sini. Kami semua tidak bisa melihat dengan jelas seperti apa penampakkan di depan atau sekitaran bus ini. Hanya jarak yang terdekat saja yang terlihat. Yang kami tahu, kami berada di suatu tempat di mana jalan utama untuk kendaraan yang melintas ini dikelilingi oleh kebun teh yang luuuaaaaaaaasssssss sekali. Jauh lebih luas daripada kebun teh-kebun teh yang pernah saya datangi.


Benar-benar gelap. Sedikit sekali pencahayaan di daerah ini. Ya, inilah Kabupaten Kayu Aro. Daerah yang dingin dan sejuk dengan Gunung Kerincinya yang menjulang. Walau gelap di sana-sini, hanya beberapa sudut saja yang terlihat sekumpulan cahaya dari rumah-rumah warga. Seperti yang saya katakan sebelumnya, dari bawah sana (Sungai Penuh) saya mencari-cari di mana Gunung Kerinci berada. Kukira akan terlihat dari daerah itu. Ternyata, gunung tersebut baru bisa terlihat setibanya kami di daerah Kayu Aro. Gelap memang, sayup-sayup untuk melihat sekitaran. Walau begitu, dengan gagahnya gunung itu menjulang, kami melihat dengan takjub Kerinci tersebut secara jelas, bahkan hingga puncaknya. It's clear without cloud at the top of this mountain. MasyaAllah...!!


Mata para manusia di dalam bus ini seketika terbelalak. Posisi duduk kami sedikit berubah dengan menengok ke arah kiri. Ada yang sampai berdiri ingin melihat sebesar/setinggi apa Gunung Kerinci itu. We're amazed with a beautiful scenery of Mount Kerinci suddenly. Lingkungan yang pas dengan foreground berupa kebun teh, benar-benar menjadi pemandangan tersebut pastinya akan terlihat sangat cantik bila dilihat di siang hari.



Tiba di Basecamp - Kayu Aro

Waktu terus berjalan. Beberapa menit dari moment di mana semuanya merasa tersihir akan gunung tersebut, driver meminggirkan bus di kiri jalan. Tanda bahwa kami semua telah sampai di basecamp yang kami tunggu-tunggu selama 2 (dua) hari ke belakang. Basecamp kami berada di sebrang, di kanan jalan. Semua barang-barang kami satu per satu diturunkan, digendong oleh kami masing-masing untuk dibawa masuk ke dalam rumah. Yeaaaahh, istirahat juga akhirnya!

Rumah singgah tempat kami menginap amatlah nyaman, cukup luas hingga bisa menampung puluhan orang di dalam rumah tersebut. Terdapat 2 (dua) kamar kecil yang cukup besar dan bersih untuk mandi dan buang air. Pintu masuk ke dalam rumah bisa melewati pintu utama dan pintu samping (dari arah kiri). Tersedia dapur dan ruang untuk shalat di dalamnya. Pokoknya enak, deh! Nyaman bisa menempati rumah singgah di sana saat itu.


Pintu utama saya lewati. Segera mengikuti para kawanan yang telah menaruh barang-barang di dalam sana. Ruang tengah pertama terlewat, sudah penuh dengan para pendaki lainnya (bukan teman-teman saya), lurus terus dan masuk ke dalam hingga bertemu dengan ruangan belakang yang luas. Nah, dapurnya terdapat di ruangan ini. Di area ini kita bisa memilih, mau tidur di bale-bale dekat pintu dari arah area tengah pertama, tidur di bale-bale dari pintu samping, mau tidur di tengah (yang terdapat sofa panjang), tidur di kamar (sayangnya, hanya ada 1 kamar saja), atau di bale-bale dekat pintu ke halaman belakang/kamar kecil.


Kak Meli dan beberapa teman wanita sudah menduduki tempat di bale-bale dekat pintu samping. Mata saya tertuju ke sana. Tempatnya nyaman, agak menjorok ke dalam dan tertutup dari pandangan orang, apalagi yang berlalu-lalang. Saya segera menaruh barang-barang dan membereskan beberapa isi dari carrier tersebut untuk kemudian bergegas tidur. Di bagian bale-bale ini ada Lilis dan Devi di sebelah kanan saya. Kemudian ada Farisah, Fiah, Kak Meli, dan Merry di sebelah kiri saya. Yap, kami para srikandi total ada 7 (tujuh) orang yang akan menginjak tempat tertinggi di Pulau Sumatra.


NB:

Oiah, bagi teman-teman yang sekiranya belum lengkap/tidak ada logistik sama sekali, saya yang malam itu masih sempat untuk membeli beberapa kebutuhan pokok seperti minyak, gula, dan beras. Malam itu saya pergi bersama Farisah ke warung tersebut, dan bertemu Bang Tesar, Bang Jeason, Bang Rian, dan Bang Erwin di sana (pada mau ke masjid katanya). Untuk lokasinya warungnya sendiri tidak begitu jauh dari basecamp. Kita hanya perlu berjalan ke arah kiri dari rumah singgah, tepatnya sebelum masjid, ya!



Persiapan Sebelum Hiking

Suara di dalam basecamp masih saja terdengar sedikit rusuh. Masih ada saja rupanya yang belum tidur. Hal ini lebih mendingan daripada semalam di mana rasanya sulit sekali untuk tidur. Kegaduhan dari para pendaki membuat saya terjaga, di samping itu suhu udara yang semakin dingin membuat tidur pun kesusahan. Walau bagaimana pun, saya paksa saja untuk tidur agar saat hiking nanti jauh lebih fresh.

Saya dan beberapa teman lainnya bangun cukup pagi, sekitaran jam setengah 4 subuh. Entah mengapa mata ini rasanya sudah cukup untuk dipejamkan. Hanya 3-4 jam saja waktu tidur saya setelah 2 (dua) hari kurang istirahat yang cukup. Pasalnya, tidur di bus bukanlah pilihan yang tepat untuk mengistirahatkan badan selama perjalanan.

Keadaan perut menjelang subuh sepertinya harus dikeluarkan nih. Ritual pagi seperti biasa. Saya, Kak Meli, Lilis, dan Devi, serta beberapa teman pria lainnya bergegas pergi ke masjid (selain karena untuk shalat berjamaah, kami ingin mandi dan buang air di sana). Pori-pori kulit di tubuh dan tangan terbuka, tanda suhu udara subuh ini benar-benar dingin sekali. Dengan suasana yang benar-benar sunyi, lantunan ayat-ayat Qur'an pun menjadikan sekitaran hidup.



* * *


Senin, 29 Januari 2018, pukul 09.00 pagi itu. Semua orang tengah sibuk dengan barangnya masing-masing. Ada juga yang masih keluar masuk kamar mandi dan sibuk mengambil makanan di dapur. Senang sekali rasanya semua bisa sampai dengan selamat tadi malam, dan senang bisa melihat mereka semua ceria dan semangat untuk hiking nanti.



*taken by: Bang Jeason


Suara sendok di sana-sini tanda semuanya kelaparan. Menu sarapan pagi ini adalah kentang goreng pedas plus nasi. Air minum bisa ambil sendiri di dapur, atau buat sendiri di sana baik itu teh atau kopi. Sambil menunggu perintah untuk bergegas menuju TNKS, semuanya masih memastikan kembali tas dan barang bawaannya.

Mobil colt hitam sebenarnya sudah terparkir sejak tadi. Tas-tas sudah ditata di atas mobil, sisanya sedang diangkut-angkut. Siapa tahu masih muat beberapa tas lagi karena sisa space-nya akan kami tempati di atas mobil tersebut. Selang beberapa tas sudah dinaikkan, kami dibagi menjadi dua untuk pergi menuju pintu masuk TNKS. Mobil yang tersedia hanya 1 (satu). Jadi, sisanya harus menunggu mobil tersebut balik kembali menjemput kami di basecamp.



Mulai Mendaki

Tiba di TNKS

Melintasi perumahan warga dan jalan utama Kayu Aro menuju perkebunan tehnya, sangatlah mengesankan. Berdiri di atas mobil colt sembari memotret dan merekam cuplikan video menjadi pelengkap pagi itu. Sesekali kaki saya terinjak oleh beberapa teman, karena di atas mobil ini sangat padat akan manusia-manusianya yang excited ingin ke atas sana. Tak jarang, mobil susah untuk di lalui karena jalan yang dilewati terkadang ada yang kurang bagus, membuat pagi itu terasa seru dengan menikmati colt yang "ajluk-ajlukan". Persis seperti perjalanan naik colt di Rinjani. Bercanda dengan teman-teman sembari bergoyang-goyang di atas mobil bak.

MasyaAllah, indah banget di sini! Sayangnya, matahari kian meninggi, terik sekali. Namun begitu, pemandangan yang gagah semalam yang mana terlihat samar-samar, pagi ini bisa kita lihat secara jelas keseluruhan si Gunung Kerinci hingga puncaknya yang sangat bersih tanpa kabut sama sekali.




* * *


"Hati-hati selama pendakian! Angin di atas sangat kencang. Jangan meninggalkan wanita-wanitanya, ya! Karena kegiatan kita ini adalah operasi bersih gunung, apabila tidak memungkinkan untuk mengambil sampah yang sangat banyak, ambil saja yang memang ada di depan mata. Jangan dipaksa, karena yang yang terpenting utamakan keselamatan diri, safety first!" kata seorang Bapak, salah satu perwakilan dari pihak Taman Nasional Kerinci Seblat. 

Kami mendapatkan wejangan dan ucapan selamat datang sekaligus selamat mendaki dari beliau. Posisi kami berada di depan suatu gubuk , tempat para pendaki beristirahat sekaligus tempat antar/jemput mobil bak. Setelahnya, kami berdoa bersama untuk keselamatan kami selama berkegiatan. Walau yang terlihat di atas sana cerah, sesungguhnya hanya Allah yang tahu semenit kemudian, sejam lagi, dan esok hari seperti apa pastinya.






Tosss dulu, coy! Biar sukses kegiatannya


Gubuk TNKS - Pintu Rimba

Pukul 10.47 pagi, kami memulai pendakian agak kesiangan. Semoga tidak terlalu sore hingga di camping ground nantinya. Jalur yang kami lewati masih terbilang landai, dengan struktur jalan berupa batuan-batuan dan agak berdebu. Check point pertama setelah gubuk tadi di mana mobil colt menurunkan kami semua di sana adalah "Pintu Rimba". Hanya jalan sekitar 10 menit, kami semua akan mendapatkan papan bertuliskan welcome to Pintu Rimba. Estimasi 10 menit tadi itu dari gubuk tempat kami di drop ke Pintu Rimba, ya! Jadi, bukan dari gubuk ke gapura yang di bawah ini.




Pintu Rimba


Pintu Rimba - Pos 1 (Bangku Panjang)

Untuk menuju Pos 1 (dengan ketinggian 1.890 meter DPL), waktu yang ditempuh kurang lebih 20-30 menit, malah tidak sampai. Sangat dekat sekali, kok! Pos 1 ini biasa juga disebut dengan Bangku Panjang (entah mengapa dinamakan "Bangku Panjang", mungkin karena ada dudukan panjang berupa batuan-batuan). Di check point ini juga terdapat shelter apabila hujan sekonyong-konyong mengguyur para pendaki. Lokasi ini masih terbilang luas untuk bersantai dan menikmati area sekitar Pos 1.

Ketika teman-teman sudah melewati Pintu Rimba, suasana jungle-nya sudah terasa sekali. Perjalanan teman-teman akan terasa teduh karena treknya terlindung akan sinar matahari yang menyegat. Aman karena semua sudah tertutup dengan pohon-pohon yang besar (namanya juga sudah masuk hutan). Tekstur menuju Pos 1 juga terbilang padat, nyaman untuk dilalui dan treknya pun masih berupa landaian. Bahkan, saya masih bisa berjalan cepat, sedikit berlari seperti orang kesetanan haha. Lumayan, hitung-hitung untuk permulaan hiking.


Selama perjalanan, jujur saja saya selalu melihat kaki dan sepatu saya. Takut-takut jika ada pacet/lintah yang ikut saya hiking a.k.a menempel haha. Terus saja saya memperhatikan ke bawah seperti itu, antara takut dan penasaran juga seperti apa ditempelin oleh pacet/lintah (yiuuuhhh!).





Pos 1/Bangku Panjang (foto diambil saat pulang)


Pos 1 - Pos 2 (Batu Lumut)

Okay, next! Saat dari Pintu Rimba, saya tidak berlama-lama di Pos 1, bahkan hanya melewati saja tanpa berdiam dan beristirahat di sini. Saya segera menuju Pos 2 (Batu Lumut) dari Pos 1.  Pos Batu Lumut ini ketinggiannya sekitar 2.010 meter DPL. Waktu tempuhnya masih sama seperti ke Pos 1, yaitu sekitar 20-30 menit saja. Dekat sekali!

Setibanya di Pos 2 pada pukul 12.00 siang, di lokasi ini tidak terdapat shelter atau bangunan berupa pos/pondokan untuk beristirahat. Jadi, teman-teman bisa beristirahat di sekitaran saja. Check point ini berada di tengah-tengah jalur dengan lokasinya berupa tanah datar datar dan cukup lapang. Jalan menuju Pos 2 ini masih bisa dikatakan landai walau agak sedikit naik. Namun, nantinya kita akan terus menanjak menuju Pos 3. Nah, berhubung saya tidak memiliki foto seperti apa itu Pos 2, berikut saya cantumin denah lokasi Pos 2, ya!







Pos 2 - Pos 3 (Pondok Panorama)

Seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa menuju Pos 3 ini seterusnya akan menanjak. Tanah yang masih padat dengan keadaan kering, syukur alhamdulillah untuk memijakinya terasa ringan-ringan saja. Pos 3 atau nama lainnya Pondok Panorama berada di ketinggian 2.225 meter DPL. Butuh waktu kurang lebihnya 1 jam dengan trek yang terus naik (tapi masih bisa dimaklumi treknya, haha). Dari kejauhan menuju Pos 3, suara-suara penghuni hutan sudah terdengar, lho! Yap, penghuni hutan! Maksud saya di sini seperti burung-burung dan binatang primata lainnya.

Semakin mendekat dengan Pos Pondok Panorama, suara-suara tersebut semakin terdengar, terutama suara Lutung Hitamnya. Begitu keras dengan suara-suara canonnya-nya (susul-menyusul) dari para lutung. Mencari-cari entah di mana asal suara tersebut, ternyata setibanya saya di Pos 3, mereka semua berkumpul di atas pohon. Meloncat-loncat, bergerak dan berayun dari satu pohon ke pohon lainnya sambil mengeluarkan suara khasnya. Lutung!

Pondok Panorama ini tempatnya cukup luas (untuk sekadar santai dan beristirahat saja) dan terdapat shelter atau pondokan di sana. Sayangnya, dengan kondisi permukaan yang tidak begitu datar dibandingkan dengan Pos 2 dan banyak akar-akar pohon di mana-mana menjadikan tempat ini sulit untuk di jadikan area camping ground. Di Pos 3 ini juga terdapat sumber mata air yang bersih, lho! Namun, teman-teman harus berjalan sedikit ke arah bawah untuk menemukan sumber mata airnya.

Lutung Hitam






Pukul 13.00 siang. Ngaso dulu di Pondok Panorama
*taken by: Farah dan Bang Erwin



Pos 3 - Shelter 1

Tidak berlama-lama seperti biasa untuk beristirahat, saya kembali melanjutkan perjalanan menuju shelter-1 Kerinci. Woooowww, trek ke lokasi shelter-1 ini terus-terusan menanjak, lho, dengan kontur tanah masih berupa tanah padat. Kemudian banyak akar-akar juga bebatuan dan sesekali melalui jalan yang kecil untuk bisa ke lokasi. Kadang, kita juga berjalan di pinggiran, di mana di bawah sana berupa turunan/jurang kecil yang kalau jatuh yaa lumayan juga tingginya, hehe.

Sejujurnya, menyimpulkan trek dari Pintu Rimba hingga Shelter-1 ini bisa dikatakan tidak sulit. Masih bisa dilalui dengan mood yang menyenangkan, kok! Walau di akhir-akhir akan menanjak, namun tidak begitu menguras tenaga dan napas, sehingga saya tidak begitu terengap-engap. Dibandingkan dengan berjalan dari bawah Sembalun ke Plawangan Sembalun, masih lebih capek itu untuk napas dan energi daripada ini. Trust me!

Yeay, pukul 14.51 siang. Alhamdulillah, sampai juga di camping ground yang akan kami inapi selama 2 hari ke depan. Ketinggian Shelter-1 adalah 2.504 meter DPL. Nah, di lokasi ini muat untuk mendirikan 10-11 tenda (mulai dari tenda kapasitas kecil hingga yang besar). Ketika saya tiba, belum begitu banyak teman-teman yang sampai. Masih beberapa saja di sini. Sekitar 9-10 orang teman-teman saya yang sudah sampai. Sisanya masih berjuang untuk naik ke sini haha. Nah, kalau ditotal-total, saya berangkat pada pukul 10.47 pagi dan tiba pukul 14.51 siang. Kurang lebihnya 4 jam bisa sampai di Shelter-1 ini.


Foto dulu, mumpung yang lainnya masih di bawah



Bulannya terang banget. Akan ada gerhana bulan total pada tanggal 31 Januari

Kayu Aro di bawah sana terlihat dengan indahnya
Nanti malam sekitar jam setengah satu, kami akan melanjutkan perjalanan menuju puncak a.k.a summit attack ke Puncak Indrapura. Nah, sore ini kami masak-masak terlebih dahulu nih membuat makanan "terlezat" khas gunung. Saya, Farisah, Mas Tole, Febri, Tebe, dan Wahyu (Way) akan membuat nasi dengan sambel goreng tempe & kentang. Paraaaahhh, ini enak banget, gak boong! Jadi, saya dan Farisah membawa 7 (tujuh) bungkus sambel kentang dan goreng tempe. Lucunya, bungkus pertama seketika ludesssss, habis begitu saja dimakan oleh teman-teman yang lainnya. Nah, tersisalah 6 (enam) bungkus plastik, deh.


   



*taken by: Febri dan Wahyu



Angin sore begitu menyejukkan sekaligus dingin. Saya memakai sweater soft fleece dari Quechua kala itu. Alhamdulillah, sweater ini mampu menahan dinginnya udara sekitar shelter-1. Setelah sesi masak-memasak, kami melanjutkan dengan kegiatan bebas. Ada yang langsung masuk ke tenda untuk tidur, ada yang masih masak-masak (mungkin membuat sesuatu yang lain), ada yang masih membenahi flysheet tendanya yang sesekali terbang/jatuh karena angin, ada yang hunting foto seperti saya ini, ada juga yang mengobrol dan bercanda satu sama lainnya, dan kegiatan-kegiatan lainnya.


Sore itu, saya lebih memilih mengambil foto dan cuplikan video daripada berdiam diri di dalam tenda. Dingin, sih! Namun, sayang saja kalau momen sore seperti ini dihabiskan dengan hanya berdiam diri di tenda. Saya menikmati lokasi sekitar, bolak-balik, mondar-mandir melihat keadaan alam sekitar, berbincang-bincang, dan hingga waktu maghrib pun datang, barulah saya masuk ke tenda untuk membereskan barang-barang.








*taken by: Bang Jeason dan Nando

Shelter 1 - Shelter 2

"Ayooooo banguunn...banguuunn....banguuuuuuuunnn....!!! Sudah jam berapa ini? Hayooo semuanya siap-siap, makan dulu, baru kita berangkat!" ujar Pak De', porter kami tercinta selama di Kerinci. 

Kami memiliki 5 (lima) porter untuk membawa tenda dan 2 (dua) diantaranya sebagai guide kami saat summit nanti, yaitu Pak De' dan Mas Murdam. Perawakan Pak De' sendiri sekitar umur 50-an, sementara Mas Murdam sepertinya masih muda, mungkin menuju 30-an. Mereka bukan bapak dan anak. Namun, kedekatan mereka benar-benar sangat akrab. Terlihat dari kekompakan mereka membawa dan membimbing kami selama di Kerinci.


Kami dibangunkan sekitar jam setengah 12 malam. Semuanya bersiap-siap dan membenahi barang-barangnya masing-masing. Summit attack kali ini, saya memakai 3 lapis baju. Baju heattech Uniqlo seperti biasa yang selalu saya pakai ketika summit di Semeru dan Rinjani, kemudian ditumpuk lagi dengan sweater soft fleece-nya Quechua, dan terakhir bulu angsa dari Uniqlo juga. Sebenarnya, udara malam ini tidak dingin seperti di gunung-gunung yang saya daki. Hanya saja, karena Kerinci terkenal akan anginnya yang kencang, untuk itu saya menyiapkan ini semua siapa tahu diperjalanan nanti angin akan bertiup sangat kencang. Biasanya sih, angin yang kencang itu ada dari shelter-2 ke atas (hingga puncak).




* * *


Suara panggilan briefing dari Pak De' terdengar. Itu tandanya sebentar lagi kami akan berangkat muncak. Setelah info, saran, dan segalanya disampaikan, briefing ditutup dengan doa dari kami semua. Tanpa perlu berlama-lama dan takut terlambat tiba di Indrapura, waktu telah menujukkan pukul 00.30 dini hari, di mana kita mulai start untuk summit attack.

Perjalanan menuju shelter-2 masih terbilang mudah walau terus-terusan menanjak. Jalurnya masih sama seperti dari Pos 3 menuju shelter-1. Banyak akar-akar dan bebatuan di kiri kanan jalan. Awalnya, saya harus beradaptasi pada udara dan suhu di sekitaran, hingga akhirnya saya bisa mengontrol napas saya selama berjalan. Dingin memang, dan terasa terengap-engap.


Suara angin gunung yang berhembus lumayan kencang dan agak berisik itu membuat adrenalin saya terpacu. Woooww, pasti akan seru sekali di atas sana! Terakhir, merasakan kencangnya angin gunung saat di Rinjani, di mana saya dan Fina sempat berhenti di balik batu besar untuk menghindari hempasan angin gunung (tenang, bukan badai!).


Oiah, jalur dari Shelter-1 ke Shelter-2 ini bisa dibilang panjang, ya! Beneran panjang banget. Saya saja merasa kalau treknya kok tidak sampai-sampai. Tapi, itulah enaknya jalan malam. Semua jadi tidak terasa, tiba-tiba saja sampai di tkp haha. Waktu perjalanan yang ditempuh untuk bisa ke lokasi ini dibutuhkan sekitar 2 jam. Kami semua tiba sekitar pukul 02.30 dini hari. Yaaa, lumayan untuk perjalanan malam dengan pace yang normal (normal?!?!? Wong jalannya sama pria-pria mana bisa normal haha).


Shelter-2 (ketinggian 3.056 meter DPL) adalah area terbuka di mana teman-teman bisa melihat suasana kota/daerah di bawah sana. Sangat cantik! Namun, karena ini adalah area terbuka, angin kencang akan sangat terasa (sekali lagi bukan badai yaaa!). Tempat ini tidak begitu luas, bahkan kecil. Hanya muat untuk tempat bersantai-santai saja, bukan untuk arean menenda.


Yang seru, sih, memang momen di shelter-2 ini. Kami semua beristirahat kurang lebih 1.5 jam untuk menunggu keadaan angin di Shleter-3 hingga di atas sana. Takutnya, semakin ke atas sana, anginnya semakin kencang. Untuk itu, Pak De' menyarankan kepada kami semua untuk beristirahat dulu di sini. Membuat kopi dan makanan/minuman ringan lainnya. Mengemil camilan yang enak-enak karena banyak banget yang bawa camilan. Yaaaa, hitung-hitung sekalian ajang bercanda dan mengakrabkan diri satu sama lainnya.














*taken by: Febri




Shelter 2 - Shelter 3

"Yoooookk, daahh... Ngopinya udah dulu. Ayo, lanjut lagi ke atas!" pinta Pak De' berupa aba-aba.


Cukup bagi kami beristirahat sekitar 1.5 jam di sana. Malah, untuk saya, beristirahat selama itu akan membuat tubuh ini semakin kedinginan. Saya tipe pendaki yang tidak suka beristirahat berlama-lama karena pastinya tidak akan ada panas yang keluar untuk menghangatkan tubuh. Jadi, teruslah berjalan untuk berkeringat supaya tidak terkena gejala hypothermia juga pastinya.

Perjalanan menuju Shleter-3 ini tidak begitu panjang seperti sebelumnya. Namun, untuk gambaran kontur jalan dan suasananya, jalur menuju Shelter-3 ini bisa dikatakan jalur favorit sepanjang masa, lho! Pasalnya terdapat spot kece di sepanjang jalur, yaitu adanya terowongan akar-akar yang menjalar yang bagus banget untuk para "netijennn" buat di post di Instagram. Yaaa, instagramable banget gitu, lho!





Terowongan Akar

Oiah, jalur selama trek ke Shelter-3 ini juga bisa dibilang trek nge-ninja warrior. Sepanjang jalur didominasi oleh akar-akar pohon dan bebatuan di mana-mana. Banyak tanah yang tinggi sehingga teman-teman harus memanjat naik, kemudian turun lagi, dan pikiran akan bermain keras di sini karena teman-teman harus pintar-pintar memilih jalur yang curam sekaligus menanjak. Sudah itu di kiri/kanan jalan sesekali terdapat jurang. Dengan nge-ninja warrior, kaki kita entah ke mana mijaknya dan jari-jari entah ke mana megangnya. Teman-teman akan lebih banyak memanjat/gelantungan dan mengerahkan seluruh tangan serta kaki sebagai tumpuan. Jossss!


Tidak berlama-lama berjalan, akhirnya tiba juga di Shelter-3 yang diri ini sampai tidak menyangka bahwa saya bisa berjalan sejauh dan se-enerjik itu. Gilaaaaa! Kerinci, cuy! Tiba di lokasi ini menuju pukul 06.00 pagi dengan backsound suara angin yang berhembus kencang juga udaranya yang menusuk hati (duileeeeehhh). Dari sini, teman-teman dipastikan bisa melihat Danau Gunung Tujuh dari kejauhan. MasyaAllah, indah banget!



Danau Gunung Tujuh dari Shelter-3


Shelter 3 - Tugu Yudha

Naaaahhh, ini nih! Ujian sesungguhnya justru di mulai dari sini. Sejujurnya, beberapa teman-teman saya dari bawah sana yang selalu berkata, "Kak Farah mah kalau jalan cepet banget. Gak bisa pelan yaaa?!" Eiiiiitssss, tunggu dulu! Tidak untuk kali ini, lho! Sayangnya, pace saya yang nyaman dan lumayan bisa digeber saat dari Pintu Rimba hingga ke Shelter-3, cukup sampai di situ saja. Untuk menuju Puncak Indrapura, rasa lelah pun menghampiri.

Perjalanan menuju puncak bisa dibilang yang terlama. Batas vegetasi hanya sampai di Shelter-3 saja. Selepas check point tersebut, teman-teman akan melalui kontur dan jalur bebatuan menuju Puncak Indrapura bukan berupa bebatuan berpasir yang enak untuk di ajak berlari-lari dan main prosotan seperti di Rinjani, Guntur, dan Semeru. Awalnya, teman-teman akan melalui 3x punggungan dari Shelter-3. Trek di sini anggap saja unuk warming up sebelum ke atas. Nah, selepas dari punggungan ke-3, teman-teman langsung disuguhkan dengan bebatuan yang besar dan berkerikil pula. To be honest, benar-benar menguras tenaga, cyiiiiiin!


Harap diperhatikan! Karena kiri-kanan jalur adalah jurang yang menganga, tolong teman-teman harus fokus, ya! Safety first!





Sekiranya sudah melewati area pertama, nantinya teman-teman akan bertemu titik acuan para pendaki, yaitu Tugu Yudha. Tugu Yudha ini adalah check point setelah dari Shelter-3, dan untuk bisa sampai di sini dibutuhkan waktu kurang lebihnya 1.5 - 2 jam. Di samping itu, lokasi ini sudah disarankan oleh pihak TNKS dan para pendaki lainnya bahwa ini adalah titik yang tepat apabila saat teman-teman turun dari puncak menuju ke bawah, kemudian lupa jalan/merasa tersesat atau jalur seketika tertutup kabut/cuaca buruk saat ingin ke Shelter-3, teman-teman bisa berdiam diri dulu di Tugu Yudha. Kemudian, lihat keadaan area sekitar dan berorientasi medan untuk mencari titik temunya.










Tugu Yudha - Puncak Indrapura

Tidak selesai sampai di situ! Selepas Tugu Yudha, nantinya teman-teman akan menemukan bentukan area gunung yang luas dan lebar. Namun, tetap saja hanya ada beberapa jalur untuk bisa naik ke atas, dan kita harus pintar-pintar memilih jalan agar tidak tersesat dan jatuh ke jurang. Walau cuaca kala itu sangat amat cerah sekali, dan perjalanan pun semakin bersemangat, tetap saja angin kencang selalu menggoyahkan kami ketika berjalan. Kami serasa dibawa tiup oleh angin-angin gunung. So far, seru, sih!























Di bawah sana terlihat 3x punggungan dan Tugu Yudha
*taken by: Nando dan Wahyu (Wep)


"Ayoooo Faraaahh, dikit lagi udah puncak ituuuuu!!! Ayooo cuma beberapa langkah lagi, ayoooo!!" kataku menyemangati diri sendiri.


Begitulah yang namanya summit attack. Dorongan dari luar perlu. Tetapi, yang tidak kalah penting bahkan pengaruh paling besar adalah semangat dan kemantapan dari diri sendiri. Mau atau tidak untuk lanjut. Haha, summit di sini selalu mengingatkan saya pada summit-summit sebelumnya saat ke Rinjani dan Semeru.


Lima langkah lagi...


Empat langkah lagi...


Tiga langkah lagi...


Dua dan satu langkah lagi.....



Yeaaaaaaayy, I made it! I was able to reach the peak of this mountain at that time eventually! Walau hidung sudah kotor penuh dengan debu/pasir, bibir sudah kering-kering, tubuh sudah kedinginan, perut lapar, kaki sudah gemetaran, namun hati dan semangat masih berkoar-koar. Inilah Puncak Indrapura (3.805 meter DPL)!! Selamat yaa, Farah!












*taken by: Bang Erwin dan Febri 



Kurang lebihnya pukul 10.00 pagi saya dan teman-teman lainnya tiba di Puncak Indrapura. Saya dan tim tidak berlama-lama di atas puncak. Hanya sekitar setengah jam saja karena pastinya sangat dingin sekali di sini. Keadaan cuaca di luar ekspektasi! Teramat cerah di sini. Angin sudah tidak berhembus kencang seperti subuh tadi. Perpaduan warna antara langit yang biru dengan gumpalan awan-awan putih seolah menyapa kami. Sungguh indah, masyaAllah!




* * *


Suasana sekitar dan gambaran langit begitu cantik membuat saya dan teman-teman terkagum-kagum dengan pemandangan yang indah ini. Tidak menyangka bahwa akan diberi hari yang cerah tanpa hujan, tanpa dingin yang luar biasa, dan tanpa angin yang teramat kencang. Sebagaimana gambaran Gunung Kerinci pada umumnya yang terkenal akan badai angin cuaca yang tidak menentu.



















*taken by: Mas Tole



Perjalanan yang sungguh menyenangkan sekali ke Kerinci. T
iada yang menyangka bahwa saya pernah menginjakan kaki di tempat tertinggi di Pulau Sumatra, tepatnya di Puncak Indrapura, Gunung Kerinci di Taman Nasioanal Kerinci Seblat. Dahulu, rasanya ragu dan bahkan tidak akan menjadi list naik gunung saya karena yaaaa itulah Kerinci, gunung api tertinggi dan treknya yang fantastis. Hingga pada akhirnya, karena adanya "satu penyebab" yang menjadikan saya bisa ke sini, membuat saya sangat-sangat bersyukur bahwa apabila tidak ada "hal" itu, sampai detik ini mungkin saya tidak akan pernah tahu seperti apa itu Puncak Indrapura dan keakraban saya kepada teman-teman lainnya. Alhamdulillahirabbil 'alamiin! Syuqron, Ya Rabbi!










* * *








You Might Also Like

0 comments