Latest Posts

Road Trip Selama di Sulawesi Selatan (#2 Tana Toraja)

By 18:13 , , , , , , , , , , , , ,

Tana Toraja 2017



Subuh-subuh sekali suara orang di rumah ini sudah terdengar, diikuti suara mesin roti yang sangat keras sehingga keadaan subuh di rumah ini sangatlah ramai. Mereka semua sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Enaknya tinggal di rumah Tante di sini, dia membuat berbagai macam roti dan aneka kue, pastry, dan segala makanan yang enak. Begitulah setiap harinya yang terlihat di rumah ini. Semua karyawan dan Tante saya sudah siap untuk bekerja sesuai jobdesk nya masing-masing. Setiap pagi juga, saya dan adik selalu dibuatkan masakan berbagai makanan lezat dan jus (ini yang selalu ada) untuk disantap sebelum pergi ke luar rumah.

Pagi hari sekitar jam 8 (delapan), saya dan adik berangkat menuju Bandar Udara Sultan Hasanuddin untuk menjemput keluarga kami. Minggu, 10 Desember 2017, keluarga kami datang menyusul kami ke Makassar untuk menghadiri acara pernikahan paman dan tentunya berkesempatan untuk bisa pulang kampung ke Tana Toraja di tahun ini. Masih ingat betul seperti apa suasana Tana Toraja hingga saat ini. I was very excited coming to Tana Toraja. Pasalnya, saya bukanlah orang yang baru tahu seperti apa itu Tana Toraja. Saya telah lama mengenal daerah ini sejak pertama kali saya datang ke sana, 24 (dua puluh empat) tahun silam, tepatnya saat saya berumur 1 (satu) tahun.

Tana Toraja adalah kampung halaman Bapak dan keluarga besarnya. Bapak dan saudari-saudarinya lahir dan besar di sana, kemudian hijrah untuk kuliah di Makassar sebelum akhirnya merantau ke Jakarta. Walau hampir seluruh keluarga besarku tinggal di Tana Toraja, kami tetap saja bersuku Bugis. Oma dan Opa kami berasal dari Enrekang, Sulawesi-Selatan.


* * *


"Faireeeeeeellll!!! Iiihh... Nangis, gak, selama di pesawat?" tanyaku pada adik sambil berteriak heboh dari jarak jauh saat mereka semua keluar dari pintu kaca bandara sambil membawa troli. Hari itu, kami langsung road trip menuju Tana Toraja, walau mereka baru saja tiba di Maros. Lelah sudah pasti, terutama Bapak yang akan menjadi driver di mobil yang kami gunakan nanti selama berkeliling di Sulawesi-Selatan (Makassar, Tana Toraja, dan Tanjung Bira). Waaahh, kuat sekali stamina Bapak! Sejujurnya, road trip bukanlah perkara mudah. Sudah tentu akan terasa pegal karena berjam-jam kami duduk di mobil, dan berhari-hari kami akan terus singgah dibeberapa destinasi yang nantinya akan kami kunjungi untuk berlibur.

Mobil melaju dengan kencangnya. Seolah tidak boleh kemalaman untuk bisa sampai di Toraja. Pukul 14.00 WITA kami bertolak dari daerah Maros (bandara). Estimasi waktu tempuh adalah 6 jam perjalanan normal. Namun, apabila ingin singgah-singgah untuk makan, shalat, istirahat, dan sebagainya, mungkin bisa sampai 8-9 jam waktu perjalanan.

Perjalanan panjang setelah 9 (sembilan) jam lebih karena kami sekeluarga banyak berhenti untuk shalat, makan, dan main drone, tibalah kami pada akhirnya di Kota Makale, Tana Toraja. Yang membuat diri ini sangat terkagum adalah keberadaan tata letak alun-alun dan kolam air Makale di mana malam hari sangat cantik karena adanya lampu-lampu yang menghiasi tempat tersebut. Berdiri pula dengan gagahnya patung di kolam air mancur itu. Namun sayangnya, air yang ada di dalam kolam tersebut sedang dikuras. Kesan air mancurnya pun lebih mirip kolam kosong yang mati.


Mobil terus melaju hingga akhirnya kami mendapati rumah Bapak dan keluarga yang nantinya rumah ini akan menjadi tempat tinggal kami selama di Tator. Rumah yang berada di Jl. Nusantara, tepatnya di pinggir kiri jalan, terlihat masih kokoh sejak tahun 50-an dengan bangunan berupa kayu jati dan ber-desain-kan adat bugis (rumah panggung), menjadikan saya mengingat masa kecil saya yang selalu berlibur dan bermain bersama tetangga dan keluarga di rumah ini. Rumah yang cukup luas dalam dan luar. Dulu lebih luas lagi karena saat ini sudah ada pelebaran jalan. But, overall, tidak ada yang berubah. Semua masih tetap sama seperti terakhir saya datang ke sini. Sama menenangkannya!



* * *


Setelah semalaman kami beristirahat sehabis ber-road trip ria, pagi itu pukul 10.00 WITA tepatnya hari Senin, 11 Desember 2017, kami sekeluarga akan bepergian ke beberapa tempat wisata (yang sebenarnya setiap ke Toraja selalu ke sini sedari saya berumur 1 (satu) tahun itu) yang berada di daerah Tana Toraja.



1. Buntu Lemo, Kabupaten Tana Toraja















2. Buntu Londa, Kabupaten Tana Toraja

Gerbang Masuk Menuju Buntu Londa









  


Selesai dari keluar-masuk goa di Londa, dan mengambil gambar serta footage video di sini, kami menyudahi "napak tilas" di Londa ini. Kami keluar menuju parkiran. Ternyata, di luar sana berjejer toko yang menjualkan berbagai macam barang untuk dijadikan oleh-oleh. Ahhh, kenapa tidak saya masuk saja untuk melihat-lihat. Barangkali ada yang cocok untuk mereka. Kebetulan, saudara-saudara alumni Rinjani ingin sekali oleh-oleh berupa kain ikat kepala, dan beberapa dari mereka juga ada yang ingin sekali ke Tana Toraja. Siapa tahu, dengan saya dan adik membelikannya oleh-oleh menjadi langkah awal mereka untuk bisa datang benaran ke sini, Tana Toraja.


Kaki saya melangkah masuk ke dalam toko yang saya rasa bagus. Sambil menilik-nilik, memegang beberapa barang yang sekiranya saya minat, dan melihat setiap sudut toko ini, akhirnya saya menemukan apa yang mereka mau. Ya, ikat kepala! Senang sekali mendapatkan barang-barang ini. Warna-warna kain yang disajikan di meja juga beragam dan cantik-cantik, sangat menonjolkan corak asli dari Tana Toraja yang khas. Entah mengapa saya suka sekali corak-corak khas Tator. Sangat memukau!


"Bu, maaf, kain yang ini harganya berapa?" tanyaku sambil menunjuk ke kain-kain ikat kepala yang bener banget sangat cantik.


"Rp 20.000 sampai Rp 25.000, Kak. Ambil saja, Kak. Nanti saya pilihkan yang bagus-bagus." jawabnya dengan senyum ramah beliau.


Kebetulan, Bapak juga ada di dalam toko ini. Membeli baju buat adikku Fairel dan beberapa cinderamata dan gelang untuknya. Bapak berbicara dengan bahasa dan logat Torajanya. Ya, karena Bapak memang asli sini, jadilah Ibu itu bertanya di mana Bapak saya tinggal di Toraja ini. Karena Bapak orang Toraja dan memang sangat Toraja banget ngomongnya (yaiyalaaaahh, kan asli sini), Ibu itu pun akhirnya memberi harga murah kepada kami semua. Waaaaaaahh, asyiiiiiikkk!!!


"Rp 15.000 saja kalau gitu, Kak. Bapakmu ini orang sini. Kalau kamu beli di luar bisa lebih mahal. Gak apa-apa, Kak, ambil saja!" tawarnya.


Senyum sumringah sekonyong-konyong terlihat dari wajah saya dan begitu senangnya saat saya bisa membeli banyak kain ikat kepala buat mereka semua. Saya juga membeli banyak gelang untuk menambah koleksi gelang-gelang di tangan. Hahaha, hanya karena Bapak asli sini, ya? Bagus, deh! Itu membantu sekali kalau nanti-nanti belanja oleh-oleh lagi.



Tempat Beli Oleh-oleh di Londa


3. Kete' Kesu, Tana Toraja










Saya (Farah), Naufal, dan Farisah


Karena hari sudah mendekati sore, sekitar pukul 14.00 WITA kami memutuskan untuk pulang ke rumah. Beristirahat kembali setelah seharian ini jalan-jalan. Seru, lho! Pergi ke tempat yang pernah saya datangi dalam masa yang berbeda menjadikan saya bisa melihat persamaan dan perbedaan dari tempat itu semua.


* * *


Suara air dari kamar mandi, langkah kaki orang-orang yang lalu lalang di ruang tengah, dan kesibukan-kesibukan lainnya di subuh itu bada' adzan, membangunkan saya yang sebenarnya dari jam tiga dini hari sudah bangun. Tapi tidak ada juga tanda-tanda mereka yang bergegas untuk siap-siap pergi. Akhirnya, saya memilih untuk berleha-leha kembali hingga tertidur, dan terbangun lagi karena pada akhirnya subuh itu sudah banyak suara-suara rusuh yang sedang berbenah-benah dengan barangnya.

Selasa, 12 Desember 2017 pukul 04.30 WITA, subuh itu kami berangkat menuju suatu daerah yang tinggi yang mana destinasi wisata ini selalu disebut-sebut sebagai "negeri di atas awan" nya Toraja. Lolai, namanya. Ya, subuh itu mobil melaju dengan sangat hati-hatinya karena keadaan jalan memang sangat sepi. Terlihat hanya beberapa kendaraan yang melintas dan anjing-anjing yang berkeliaran di jalan lah yang mengisi ruang.



4. Lolai, Toraja Utara

Negeri di atas awan, begitulah julukan yang diberikan pada kampung Lolai. Di sini, semua orang akan melihat kumpulan awan-awan seperti saat kita sedang naik pesawat. Oiah, untuk bisa ke sini, perjalanan yang ditempuh dari Kota Makale kurang lebihnya 1.5 jam perjalanan, dan keadaan jalan yang dilewati benar-benar mengerikan, lho!

Trek perjalanan ke Lolai sebenarnya ada jalur baru yang dibuat oleh warga sekitar, di mana jalurnya lebih luas daripada jalur sebelumnya (yang kami lewati saat datang ke Lolai). Mengerikan di sini bukan berarti ada setan-nya yaaa, namun lebih ke terjal dan jurang di mana-mana. Apalagi saat kami melewati jalur lama yang mana kata orang itu adalah jalur khusus motor. Tapi, saat kami bertanya ke salah satu Mas-mas apakah mobil bisa melewati jalan tersebut, jawaban beliau adalah "Ya!". Otomatis, kami semua melewati jalur tersebu.


Mobil terus berjalan dan semakin menanjak saja jalurnya. Bukan hanya itu, luas jalan pun menjadi semakin menyempit. See? Semakin menjanjak dan menyempit, di mana sebelah kiri jalan adalah JURANG. Sudah begitu, beberapa kontur jalannya masih berupa tanah, membuat mobil sulit untuk di-gas. Jadilah saat itu kami panik karena mobil sempat merosot, persis mundur ke arah jurang. Untungnya, saya dan adik sepupu (Naufal) segera turun, khawatir beban orang di dalam memperngaruhi. Saya segera menjadi tukang parkir dadakan dan mengatur mobil agar tidak terus mundur. Melihat jarak mobil dengan jurang. Fiuhhh!





Gunung Latimojong (yang paling ujung) Terlihat dari Lolai






Setelah 1.5 jam perjalanan dari rumah di Makale, dan berada di Lolai serta di Pongtorra puncak tertinggi Lolai selama 2-3 jam, kami pun pulang karena merasa sudah cukup dan sudah mendapatkan moment yang bagus. Sanngat bagus! Hasil drone, fotografi, dan videografi dari kamera saya pun didapat. Lengkap sudah, bukan?



* * *


Angin berhembus dengan lembutnya, mengucapkan selamat tinggal pada kami yang telah berkunjung. Alhamdulillah, selama di atas gunung, keadaan angin dan cuacanya cerah. Walau sesekali kabut datang menutupi pemandangan indah di bawah sana, namun bukan berarti cuacanya buruk, kan? Tidak ada hujan pagi itu.

Mempunyai pengalaman yang menegangkan saat kami datang melewati jalur lama, akhirnya kami pulang melewati jalur baru di mana jalannya jauh lebih lebar. Cukup untuk 2 (dua) mobil berlalu-lalang normal. Tidak seperti jalanan yang sebelumnya, satu mobil saja terkadang butuh nyali dan keyakinan yang besar, haha. Nah, di jalur baru ini, nantinya kita akan disuguhi oleh pemandangan yang sangat menjernihkan mata. Perpaduan warna hijau dan kuning, serta adanya sengkedan atau terasiring pada sawah menjadikan perjalanan akan semakin menyenangkan.









5. Makan Rawon di R. M. Muslim Surabaya, Rantepao

Siapa, sih, yang tidak lelah naik ke atas gunung melihat keindahan ciptaan Allaah dari atas sana (walau kelelahan itu sendiri tidak terasa)? Karena belum sempat sarapan pagi saat mau berangkat subuh tadi, kami pun turun ke kota untuk mencari makanan ke arah Rantepao. Sekalian, Bapak juga ingin melihat-lihat kembali, menapak tilas hasil karyanya dahulu di kota ini, yaitu membangun dan mendesain sekolah/madrasah. Kebetulan, di samping sekolah tersebut ada rumah makan muslim (karena di Tana Toraja dan sekitarnya, susah-susah gampang menemukan makanan yang halal. Kebanyakan B4B1 di daerah sini). Bapak pun memberhentikan mobil di rumah makan ini.

Senyum ramah dari empunya rumah makan dan aroma masakan yang semakin membuat perut kian berbunyi tanda sudah lapar, menyapa kami semua. Disajikannya menu oleh salah satu "mbak" yang ada di pojokan ruangan. Terlihat juga adanya etalase kaca yang berisi sajian berbagai menu masakan yang seperti bersih dan halal. Kami bisa memilih mau menu apa saja di etalase itu. Namun, kami semua lebih memilih memesan 1 (satu) menu yang sama agar kompak, yaitu nasi kuning. Naah, bedanya sama nasi kuning yang biasa saya makan di Jakarta atau di pulau Jawa, nasi kuning di Sulawesi Selatan terdapat berbagai topping di atasnya. Sangat banyak, dan pastinya paraaaahh, jauh lebih enak! Haha.

Menunggu kurang lebihnya 10 menit, kami pun menyantap nasi kuning ini dengan lahapnya. Benar saja, enak sekali. Ini jauh lebih gurih dan enak daripada yang kemarin saya coba di Makassar. Walau yang di Makassar juga enak. Setelah semuanya selesai menghabiskan nasi kuning ini, Bapak  yang sambil berbincang-bincang dengan empunya rumah makan mencoba memesan rawon yang terbuat dari daging kerbau.

Sebelumnya, empunya rumah makan menerka-nerka dan takut salah saat ingin menyapa Bapak karena dulu sekali saat membuat sekolah, Bapak pernah mengobrol dan makan di rumah makan ini. Hanya saja empunya tidak yakin apakah ini seseorang yang dulu biasa ke sini. Begitu juga dengan Bapak, ragu apakah empunya masih ingat dirinya. Pada akhirnya, mereka pun berbincang, bernostalgia tentang keadaan Rantepao dan khususnya sekolah itu dulu dan sekarang.

Saat bengobrol bersama yang punya rumah makan, ditawarilah kami semua apakah mau memesan rawon ata tidak. Karena kami semua merasa sudah kenyang, Bapak pun memesan 2 (dua), untuk dirinya dan untuk tante saya.

Kalian tahu apa yang terjadi setelahnya? Sesaat rawon tersebut disajikan di meja, adik, bunda, dan naufal (adik sepupu) mencoba mencicipi makanan tersebut. Agak penasaran juga, sih, seperti apa rasanya. Karena setau saya dan sepengalaman saya mencoba rawon, rasanya yaaa begitu saja. Tidak membuat perut dan kerongkongan tertarik untuk membeli.

"Iiihh, bener, Teh... Enak, Teh!" ungkap Bunda dengan sunringahnya.
"Teh, coba, deh! Enak tau, Teh, ini!" jelas Naufal kepada saya sambil menyodorkan sendoknya.

Dicobanya rawon itu di mulut, masuk kerongkongan, dan perut, alhasil saya pun berkata, "Enaaaakk banget nih rawon, kuahnya enak banget!" kataku dengan rasa kepuasan memakan rawon yang sangat enak dan gurih. Kami pun semua tertawa dan Bapak masih sekali lagi menawari kami apakah ingin memesan lagi atau tidak.



Sekilas Biasa Saja, ya! Namun, Rasanya Josss!


* * *

Ada yang berbeda diliburan kali ini, dan mungkin memang takdir-nya kami semua berangkat ke Toraja sekaligus untuk "merayakan" kekurangan umur dari adik saya Fairel Atharizz Maganta. Tanggal 12 Desember, adik saya berulang tahun yang ke-4, yeaaaaaayyy! Senang sekali akhirnya adik tahu kampung halaman Bapak dan keluarga, sekaligus akan jarang sekali bahkan mungkin entah kapan lagi akan bisa merayakan ulang tahunnya di rumah ini, di kampung halaman Tana Toraja.

Malam itu, kami semua sedang berbincang-bincang, tertawa-tawa, beberapa sibuk dengan aktifitas menonton, makan malam, dan main handphone. Semua berkumpul di ruang tengah menjadi satu. Ramai! Sekonyong-konyong, Oma dan pamanku datang ke ruangan dari pintu utama sambil membawa sesuatu yang spesial untuk adik saya. Voila! Adik saya senang sekali, terlihat dari wajahnya yang kaget sambil meloncat-loncat gembira karena ada yang membawakan dirinya makanan-makanan, sekaligus dinyanyikannya lagu "happy birthday dan selamat ulang tahun" pada dirinya.







Kue Tart dan Salad Buah, Asli Buatan Oma Saya


6. Buntu Burake

Hari terakhir di rumah dan di kampung halaman sebelum akhirnya besok Kamis kami semua kembali lagi ke Makassar untuk datang ke pernikahan paman saya di sana, saya meminta Bapak untuk jalan-jalan dadakan ke tempat baru yang sebelumnya belum ada tempat wisata ini. Saya mengajak Bapak ke Buntu Burake bersama adik dan paman saya.

Pukul 10.00 WITA Rabu, 13 Desember 2017, kami akhirnya berangkat ke Buntu Burake. Perjalanan tidaklah memakan waktu yang lama. Hanya kurang lebihnya 30 menit saja. Jalannya pun menanjak ke atas bukit (yaiyaaalah, namanya juga buntu = bukit). Untuk jalurnya sendiri sangat berbeda dengan pada saat kami ke Lolai. Jalan ke Buntu Burake sangat sangat sangat lebar dan kontur jalannya bagus. Terdapat pos penjaga untuk menjual tiket masuk ke tempat wisata.

















Belum seluruhnya selesai. Masih terdapat pemasangan dibeberapa sudut di tempat ini. Entah sesuatu apa yang akan dibuat di sana. Para mas-mas bangunan pun tengah bekerja di bawah teriknya matahari siang itu. Sungguh, di Buntu Burake amatlah panas dan sinar matahari sangat menyengat. Bahkan, untuk bisa ke bukit sebelah (foto nomor 5) saja sepertinya malas banget. Kita harus turuni anak tangga terlebih dahulu, kemudian menaiki beberapa anak tangga kembali hingga akhirnya bisa ada di atas bukit itu.



7. Alun-alun dan Pasar di Kota Makale, Tana Toraja

Semua orang tengah sibuk mengepak barang-barang yang akan dibawa ke Makassar, dan tentunya pulang ke Jakarta minggu depannya. Seperti biasa, Bapak sedang duduk-duduk di teras depan sambil menyantap kopi, sementara anak-anak kecil berlarian di ruang tengah. Saya yang saat itu sedang tidak melakukan apa-apa datang menghampiri Bapak untuk kembali mengajak beliau seperti pagi kemarin saat ke Buntu Burake. Berbeda dengan hari itu, hari ini saya ingin mengajak Bapak pergi ke alun-alun Kota Makale untuk menemani saya mengambil beberapa footage video dan foto-foto untuk portofolio fotografi saya, sebelum kami pulang ke Makassar pukul 10.30 WITA nantinya.

Mobil yang terparkir segera dikeluarkan dari halaman rumah, membawa saya, Bapak, dan paman saya yang mengendarai mobil tersebut. Hanya butuh waktu 5 menit saja ke alun-alun, atau malah tidak sampai.

Sesampainya di alun-alun Kota Makale, mobil dipinggirkan untuk diparkir, sementara kami keluar untuk melihat-lihat dan mengambil beberapa foto serta video untuk dokumentasi. Alun-alun kota Makale sungguh berbeda daripada saat terakhir saya melihatnya. Tata kotanya pun sangat bagus, kental akan budaya dan khas asli dari Tana Toraja itu sendiri.

Oiah, saya juga mampir ke pasar lokal di Makale. Kata Oma saya, walau ini di Toraja, namun untuk para pedagangnya kebanyakan orang Bugis yang merantau ke sini. Syukur alhamdulillah, tidak susah menemukan bahan pangan yang halal di pasar ini. Nah, ada yang menarik saat saya ke pasar ini. Ikan asin selalu jadi andalan warga sini untuk disantap. Ada juga cabe khas Toraja atau Katokkon yang bentuknya persis paprika merah, dan lucu-lucu (ada di foto kedua dari terakhir di bawah ini). Soal rasa, jangan ditanya. Pedas sekali! Bersama ikan asin, makanan pun terasa nikmat pastinya.


Berbelanja sesuatu dan mencari tahu ke pasar adalah hal menyenangkan bagi saya. Pasar bisa menjadi alternatif yang pas di mana kita dapat mengetahui budaya dan kearifan lokal dari daerah itu sendiri. Saya juga bisa tahu cerita atau informasi yang ter-update dari masyarakat lokal akan perkembangan daerah ini. Selain itu, memotret bertemakan human interest di pasar juga tidak kalah keren-nya. Lumayan, menambah koleksi foto yang tidak melulu mengenai landscape.

















Adik Sepupu (Zaky) dan Adik Saya (Fairel)


8. Mandu Tontonan, Enrekang

Keluar dari Tana Toraja sekitar satu jam dari sana, Bapak berencana ingin mampir terlebih dahulu ke tempat saudaranya di Enrekang. Saat menyisir daerah yang dikehendaki, Bapak tidak juga bertemu di mana rumah saudaranya (mungkin lupa). Alhasil, Bapak bilang pada kami bahwa akan singgah saja di suatu tempat di mana tempat ini bagus banget. Mengalirnya sungai yang indah dan terdapat tebing yang tinggi-tinggi katanya.

Mandu Tontonan. Saat mobil terparkir di dekat pintu masuk ke arah tebing (kebetulan tidak ada biaya masuk untuk ke sungai dan tebing), kami semua dengan antusiasnya turun untuk melihat-lihat keadaan lokasi sekitar. MasyaAllah, sungguh cantik sekali tempat ini! Belum pernah saya melihat adanya tebing yang berhadapan langsung di bawahnya terdapat sungai yang berarus deras. Tanpa ada pesisir, langsung sungai, guys!






Seperti di Londa dan Lemo, Terdapat Peti di Tengah-tengah Tebing








Mandu Tontonan (Kiri Gambar)

Mandu Tontonan ini biasa juga dipakai untuk aktifitas rock climbing bagi organisasi/komunitas pencinta alam di daerah sekitar dan Makassar. Namun, tebing Tontonan ini memang belum ter-expose seperti tebing-tebing untuk climbing lainnya. It's okay, though! Positifnya, dengan belum terdeteksinya lokasi ini karena masih jauh ke dalam kampung/desa, membuat para turis atau explorer mungkin tidak menemukan tempat ini. Saya saja mencari artikel dan taggar di instagram masih sangat jarang. Bahkan, hanya sedikit yang datang untuk mengeksplor ke tebing Tontonan ini.


Bagi teman-teman yang ingin bermain drone untuk meliput area sekitar tebing dan khususnya tebing itu sendiri, harus berhati-hati, ya! Angin sekitaran tebing sangat kencang sehingga bisa membuat drone akan tertarik ke sana-sini apabila tidak pintar-pintar memegang kendali. Jangan juga drone terlalu dekat ke tebing saat mengambil foto/video peti-peti dan tengkorak-tengkorak karena takutnya akan menabrak tebing dan berakibat jatuh ke sungai.


Seperti yang kita lihat di foto yang saya ambil, posisi sungai berada langsung di bawah tebing, tanpa adanya bibir sungai atau pesisir daratan di bawah tebing. Jadi, apabila nantinya drone milik teman-teman terjatuh yang disebabkan oleh angin atau kesalahan dari pilot itu sendiri, drone jatuh ke sungai dan langsung ikut mengalir bersama derasnya aliran sungai. So, be careful!




* * *



Well, teman-teman! Road trip selama di Tana Toraja dan sekitarnya cukup sampai di sini. Sehabis ini, road trip akan dilanjutkan kembali ke Makassar dan setelah itu ke Tanjung Bira sebagai penutup edisi pulang kampung sekaligus liburan kami sekeluarga. Namun, yang di Makassar sudah saya jadikan satu di artikel sebelumnya, ya! Yuuuk, ahh, lanjut lagi ke road trip berikutnya ke Tanjung Bira, Bulukumba.











* * *

















You Might Also Like

0 comments